Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Pendidikan

FKUB Segarkan Kembali Pengetahuan Pendaki soal Bahaya Ketinggian, Pertolongan Pertama dan Teknik Survival

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

31 - Aug - 2025, 14:59

Placeholder
Edukasi bahaya ketinggian, pertolongan pertama pada trauma dan teknik Survival yang digelar Kedokteran Emergency FKUB berkolaborasi dengan beberapa pihak (Anggara Sudiongko/MalangTimes)

JATIMTIMES - Hobi mendaki gunung bukan sekadar mengejar puncak dan menikmati panorama. Di balik itu, ada risiko serius yang kerap luput disadari para pendaki. 

Menjawab tantangan tersebut, Program Studi Kedokteran Emergensi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya (FKUB) berkolaborasi dengan Perhimpunan Dokter Ahli Emergensi (Perdamsi Cabang Malang), Tiket Pendakian dan beberapa pihak lainnya, menggelar program pengabdian masyarakat yang berfokus pada edukasi bahaya akibat ketinggian, pertolongan pertama pada trauma, serta teknik survival di alam, Minggu, (31/8/2025) di Kota Batu.

Baca Juga : Kalender Jawa Minggu Kliwon, 31 Agustus 2025: Watak Weton, Rezeki, Jodoh, dan Hari Baik

 

Program ini menyasar komunitas pencinta alam, khususnya para pendaki berpengalaman. “Kita ingin mengingatkan kembali bahwa hobi mendaki memang menyenangkan, tapi jangan abai dengan risiko yang bisa terjadi, mulai dari yang ringan hingga fatal,” ujar dr. Yuddy Imowanto, Sp.EM, KEC, dari Emergency Care FKUB.

1

Menurutnya, pendaki perlu menyiapkan diri sebaik mungkin. Salah satu langkah nyata adalah pemeriksaan fungsi paru menggunakan alat spirometri, yang dalam kegiatan ini didukung oleh Rumah Sakit La Valette. “Tes ini bisa menjadi tolok ukur awal kesehatan paru. Normalnya, saat menarik dan menghembuskan napas kuat, volume udara bisa mencapai lebih dari 3 liter. Jika hasilnya bagus, itu modal penting untuk lebih aman saat mendaki,” jelasnya.

Yuddy menambahkan, pendaki juga harus mampu mengenali tanda-tanda trauma serius, seperti patah tulang atau luka terbuka. “Kalau korban mengalami nyeri hebat, tidak bisa berjalan, atau bagian tubuhnya kehilangan fungsi, itu kita anggap cedera serius. Biasanya berhubungan dengan patah tulang atau kerusakan sendi,” ungkapnya.

Dalam kondisi demikian, prinsip utama adalah segera evakuasi, idealnya tidak lebih dari satu jam. Namun sambil menunggu bantuan, korban sebaiknya tetap dalam posisi stabil dan tidak dimanipulasi berlebihan. “Kalau ada tulang menonjol keluar, jangan coba-coba memasukkannya kembali. Fokus kita adalah mengontrol perdarahan sebisanya di lapangan. Kehabisan darah sebelum bantuan datang adalah faktor paling mematikan,” tegas Yuddy.

3

Untuk kasus perdarahan hebat di alam bebas, pendaki awam bisa melakukan perban darurat dengan peralatan sederhana. Selain itu, menjaga komunikasi dengan korban sangat penting agar kesadarannya tetap terjaga. “Kalau masih muda, sehat, dan tidak sedang mengonsumsi obat pengencer darah, perdarahan biasanya bisa berhenti sendiri dengan pertolongan awal yang tepat,” tambahnya.

Yuddy juga menekankan perlunya manajemen perjalanan yang baik. Pendaki dianjurkan beristirahat setiap 300-500 meter kenaikan, terlepas dari rasa lelah. “Dengan pola ini, risiko cedera maupun penyakit akibat ketinggian bisa diminimalkan,” katanya.

Terkait perlengkapan, ia menyarankan agar setiap tim pendaki memiliki setidaknya satu atau dua orang dengan kemampuan medis, bisa perawat atau dokter berpengalaman yang mendampingi. Idealnya, pos-pos kesehatan didirikan di setiap interval 500 meter ketinggian. “Ini penting untuk keamanan jangka panjang, apalagi jumlah pendaki dan wisatawan di Malang terus meningkat. Harus ada standar regulasi yang jelas, termasuk batas usia dan kondisi fisik. Misalnya, di atas 65 tahun atau dengan berat badan berlebih, sebaiknya tidak lagi diizinkan mendaki karena evakuasinya sangat sulit,” jelasnya.

2

Selain fisik, aspek medis juga tak kalah penting. dr. Dwi Wardoyo Tri Yuliarto, Sp.EM, konsultan emergensi, menegaskan bahwa penyakit akibat ketinggian mulai muncul pada ketinggian 2.500 meter di atas permukaan laut. Gejalanya terbagi tiga tingkat: ringan, sedang, dan berat.

“Gejala ringan biasanya ditandai menggigil, bingung, atau bicara melantur. Pada tingkat sedang, penderita mulai sulit bergerak dan tidak bisa diajak komunikasi dengan jelas. Kalau sudah parah, pernapasan dan denyut jantung melambat hingga berisiko henti jantung,” terangnya.

Untuk mencegah hal itu, pendaki disarankan melakukan aklimatisasi, naik maksimal 300-500 meter per hari, serta membawa oksigen cadangan. “Pencegahan jauh lebih baik daripada penanganan. Jika gejala muncul, segera hentikan pendakian dan lakukan evakuasi. Ingat, otak hanya punya waktu lima menit bertahan tanpa oksigen sebelum mengalami kerusakan permanen,” tegasnya.

Baca Juga : Semarak HUT ke-80 RI, SMKN 1 Bandung Tulungagung Gelar Aneka Lomba Meriah

 

Selain itu, Dwi juga mengingatkan kelompok berisiko tinggi, seperti mereka yang rutin mengonsumsi alkohol, obat penurun tekanan darah, atau antidepresan. “Orang-orang ini perlu ekstra hati-hati karena kondisi tubuhnya bisa memperburuk dampak ketinggian,” tambahnya.

4

Sementara itu, Singgih Akbar Septiandri, Praktisi Survival, menyoroti pentingnya kesiapan mental dan teknik bertahan hidup di alam bebas. “Kunci utama adalah jangan panik. Dalam kondisi darurat, psikologis dan ego sering jadi musuh terbesar. Kalau dalam tim ada yang kelelahan, jangan biarkan ego membuatnya ditinggal,” pesannya.

Ia menekankan empat keterampilan dasar survival yang wajib dikuasai pendaki: kemampuan membaca peta dan medan, penguasaan teknik navigasi, pemahaman pertolongan pertama, serta kesiapan peralatan pribadi. Dari obat pribadi, pereda nyeri, hingga perlengkapan safety sederhana seperti shoulder pad dan jas hujan.

Singgih juga mengkritisi tren pendakian “tektok” naik dan turun gunung tanpa menginap yang belakangan populer. “Kesadaran pendaki sekarang mulai tumbuh setelah banyak kejadian. Awalnya banyak yang asal berangkat tanpa membawa P3K atau logistik memadai. Padahal pendakian 6-8 jam butuh persiapan serius,” katanya.

6

Fenomena lain yang muncul adalah penggunaan cara-cara instan, seperti “tisu magic” untuk menahan rasa sakit. Singgih menilai praktik ini berbahaya. “Efeknya hanya sementara, setelah itu justru bisa lebih parah. Lebih baik istirahat, pakai hot cream untuk perjalanan naik, dan salep dingin untuk perjalanan turun,” sarannya.

Dari pengamatan tim, sebagian besar pendaki di Jawa Timur berasal dari rentang usia 15-30 tahun. Karena itu, edukasi juga ditujukan pada pelajar yang masih mengandalkan izin orang tua. “Penting untuk meningkatkan kesadaran sejak awal, agar pendakian bukan sekadar ikut-ikutan tren, tapi juga mengutamakan keselamatan,” pungkas Singgih.

Melalui program ini, FKUB maupun berharap para pendaki lebih profesional dalam mempersiapkan perjalanan, sadar akan risiko, dan mampu mengantisipasi kondisi darurat. Sebab, sebagaimana ditegaskan para narasumber, “mencegah selalu lebih baik daripada mengobati.”


Topik

Pendidikan Program Studi Kedokteran Emergency Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya FKUB Perhimpunan Dokter Ahli Emergency Perdamsi keselamatan pendaki



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Anggara Sudiongko

Editor

Sri Kurnia Mahiruni