JATIMTIMES - Fenomena penjarahan yang marak diperbincangkan dalam beberapa hari terakhir kembali memantik diskusi publik. Aksi pengambilan paksa barang milik orang lain di tengah keramaian ini memang kerap muncul saat terjadi kekacauan sosial, termasuk demo maupun kerusuhan. Namun, bagaimana sesungguhnya hukum penjarahan dalam Islam?
Dalam literatur fiqih, penjarahan dikenal dengan istilah intihab, mengambil harta milik orang lain secara terang-terangan dengan paksa, ketika pemilik barang mengetahuinya. Praktik ini berbeda dengan pencurian (sariqah) yang biasanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Selain itu, ada istilah serupa seperti ghashab (merampas hak orang lain secara zalim) dan qath‘ut thariq (perampokan di jalanan). Meski berbeda istilah, semuanya memiliki kesamaan: sama-sama tindakan zalim yang dilarang dalam syariat.
Baca Juga : Tersangka Bertambah, Polres Kediri Kota Telusuri Dalang Kerusuhan
Larangan tersebut ditegaskan dalam Al-Qur’an:
“Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil.” (QS. An-Nisa: 29).
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Tidak halal mengambil harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaan dirinya.” (HR Ad-Daraquthni).
Ayat dan hadis ini menegaskan bahwa kepemilikan seseorang dijamin dalam Islam, sehingga merampas tanpa izin adalah bentuk kezaliman.
Imam Ibnu Hajar dalam Fathul Bari menjelaskan, penjarahan berbeda dari pencurian karena dilakukan secara terang-terangan dan sering kali disertai kekerasan. Karena itu, hukum menjarah adalah haram, baik terhadap harta pribadi, barang milik negara, maupun fasilitas umum.
Rasulullah SAW bahkan menegaskan dalam hadis riwayat Al-Bukhari, bahwa siapa pun yang merampas harta orang lain telah mencederai nilai keimanan. Dengan kata lain, tindakan ini bukan sekadar pelanggaran hukum, tetapi juga pengkhianatan terhadap iman yang seharusnya dijaga.
Baca Juga : Info Demo 3 September Berlangsung di Mana Saja? Ini Daftar Titiknya
Ulama besar seperti Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam Az-Zawajir ‘an Iqtiraf al-Kabair menempatkan perbuatan merampas harta orang lain sebagai salah satu dosa besar. Beliau mengutip QS. An-Nisa ayat 29 untuk menegaskan larangan memakan harta dengan cara batil, baik melalui pencurian, perampasan, pengkhianatan, maupun tipu daya.
Menurutnya, segala bentuk pengambilan harta yang tidak sah, baik secara paksa maupun melalui transaksi yang merugikan, masuk dalam kategori keharaman. Artinya, penjarahan dalam situasi apa pun, termasuk saat kerusuhan, tetap dipandang sebagai dosa besar.