MALANGTIMES - Pernahkah Anda mendengar tentang kisah orang Batak yang makan manusia? Ternyata kisah itu bukan isapan jempol belaka. Sebab, kisah itu bermula di suatu desa di Batak, yakni Desa Ambarita atau Huta Siallagan. Berikut ulasannya yang dirangkum MalangTIMES dari berbagai sumber.
Baca Juga : Akhir Kisah Sahabat Rasulullah yang Mengatakan Zakat Adalah Pungli
Huta Siallagan yang masuk di Desa Ambarita terletak di Pulau Samosir. Untuk mencapai tempat tersebut, dari Medan membutuhkan waktu 5 jam hingga tiba di pelabuhan sebelum menyeberang ke Tomok, Pulau Samosir.
Hampir 400 tahun yang lalu, Raja Siallagan membuat suatu sistem persidangan atau biasa disebut parsidangan oleh masyarakat Batak. Dalam sistem tersebut, raja bermusyawarah memutuskan suatu perkara atau memberikan hukuman terhadap terdakwa.

Tak hanya raja. Sidang tersebut dihadiri oleh raja-raja lain yang mendapatkan undangan, para tetua di kampung sebagai penasihat raja, para dukun, dan hulubalang atau penjaga raja. Lalu, kejahatan apa saja yang diadili di tempat ini?
Jika masih melanggar kejahatan ringan, seperti mencuri, tentu tidak akan mendapat hukuman pancung. Si pencuri hanya diharuskan membayar denda empat kali lipat dari apa yang dicuri.
Lantas bagaimana jika tidak mampu membayarnya? Pencuri tersebut akan menjadi budak raja atau hatobannya raja.
Bagi yang terlibat dalam kasus pembunuhan dan pemerkosaan, keputusan berada di tangan para tua-tua kampung, bukan raja. Raja hanya mengesahkan.
Tetapi, jika ada seseorang yang melakukan kejahatan yang benar-benar tidak dapat dimaafkan oleh raja, seperti pengkhianat kerajaan, panglima perang musuh yang tertangkap, dan orang yang mencoba mengganggu keluarga atau istri raja, hukumannya adalah pancung.
Sebelum dipancung, tersangka akan dipenjarakan terlebih dahulu di penjara warga Batak yang konon terletak di bawah rumah raja. Pada umumnya, di bawah rumah raja adalah tempat para binatang yang dipelihara. Artinya, ketika ada seseorang yang tidak dapat dimaafkan oleh raja, ia dianggap sama seperti binatang.
Setelah orang itu dipancung, raja akan bertanya siapa yang mau memakannya. Sebab, di mata raja, ia bukan lagi manusia. Namun khusus untuk jantung dan hati, biasanya akan dipersembahkan untuk raja dan orang-orang berilmu, seperti para hulubalang dan raja lain yang menginginkannya.
Lalu mengapa mereka mau memakannya?Dipercaya, memakan anggota tubuh manusia akan menambah ilmu kekebalan dan ilmu sihir yang dimiliki. Hukuman mati hingga kanibalisme ini digunakan raja untuk menjaga eksistensi dan kewibawaan kerajaan. Selain itu, jika ada seseorang yang ingin berbuat kejahatan, dia akan berpikir berkali-kali.
Hukuman ini akhirnya berakhir pada awal abad 19 dengan ditandai datangnya para misionaris dari Amerika, Belanda, dan Jerman yang membawa agama dan kemudian diyakini oleh raja Siallagan.
Baca Juga : Pengantin 'Masker', Anak Kapolsek Beji Menyambut Hari Bahagia di Tengah Pandemi Covid-19
Di samping batu parsidangan, terdapat pohon hariara. Pohon hariara merupakan pohon generasi kedua yang telah berusia 100 tahun.

Menurut cerita, jika ingin membangun suatu huta atau istana, biasanya mereka harus menanam pohon ini. Jika dalam waktu tujuh hari pohon ini tumbuh, diperbolehkan kawasan tersebut dibangun sebuah huta.
Konon, orang Batak yang khususnya bermarga Siallagan memiliki kepercayaan tersendiri terhadap pohon hariara. Apabila ada orang meninggal, maka roh-roh orang Siallagan akan tinggal di pohon ini.
Sebelum masuk ke Huta Siallagan, di depan terdapat patung yang disebut pangulubalang. Dahulu patung ini selalu disiram oleh minyak manusia. Apa itu minyak manusia?

Minyak manusia berasal dari bayi yang meninggal. Jika bayi meninggal, dia akan digantung kemudian ditampunglah cairan yang jatuh ke bawah. Cairan itulah yang disiramkan ke patung tersebut. Sehingga dia mempunyai kekuatan apabila orang yang memiliki maksud kejahatan maka akan ditangkal oleh hulubalang itu.
Saat berada di Pulau Samosir, Anda tidak akan asing dengan tiga warna yang banyak menghiasi setiap sudut tempat. Tiga warna tersebut ialah warna merah, putih, dan hitam. Tiga warna ini bukan tanpa alasan karena masyarakat Batak mengenal tiga dunia.
Tiga dunia yang dikenal masyarakat Batak adalah Banua Ginjang atau dunia atas yang diidentikkan dengan warna putih, Banua Tonga atau dunia tengah seperti kehidupan manusia yang dilambangkan dengan warna merah, dan Banua Toru atau dunia kegelapan atau neraka yang digambarkan dengan warna hitam.
Di sana juga terdapat tugu perkumpulan keluarga Raja Siallagan. Tugu itu berisikan tulang-belulang keturunan Siallagan. Bagian paling atas adalah tulang belulang milik raja Laga Siallagan, raja pertama Huta Siallagan. Bagian kedua adalah keturunan raja. Bagian yang ketiga adalah pembusukan.

Banyak orang yang datang ke sini terutama keturunan Siallagan yang tidak mengenal asal-usulnya mengalami kejadian aneh, seperti kemasukan roh nenek moyang.