MALANGTIMES - Redupnya hasil pertanian kakao di Kabupaten Malang yang sempat menjadi primadona pasar dalam maupun luar negeri dipengaruhi oleh harga pasar yang terbilang rendah. Tahun 2017 harga kakao dengan kualitas tinggi di Malang selatan sebagai sentranya per 1 kilogram hanya dihargai Rp 16 ribu oleh tengkulak.
Kondisi tersebut yang membuat petani kakao di Sumbermanjing Wetan, Dampit, Tirtoyudo, dan Ampelgading banyak yang beralih bercocok tanam lainnya. Lahan kakao pun semakin menyusut dan digantikan dengan tebu maupun kopi.
Baca Juga : Pemkot Batu Bakal Tambah Shelter Isolasi Covid-91 di Tiap Kecamatan
Walau tidak ada data pasti penyusutan lahan kakao seluas 3.831 hektare (ha) seperti tercatat dalam data Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Perkebunan (DTPHP) Kabupaten Malang, produksi rata-rata yang dihasilkan petani kakao sangatlah kecil dibanding dengan kebutuhan pasar di Jawa Timur (Jatim). Rata-rata produksi kakao per ha hanya menghasilkan 2,7 kuintal. Sedangkan kebutuhan setiap tahunnya bisa mencapai 200 ribu ton.
Camat Dampit Bagus Sulistywan menyampaikan, dengan kondisi tersebut, pihaknya berharap banyak kepada Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI) yang menggandeng Uni Eropa untuk bisa mengawal harga kakao masyarakatnya.
"Kita berharap banyak dengan adanya program pengembangan kakao berkelanjutan atau Sustainable Cocoa Development Program (SCDP) di wilayah Dampit. Bisa juga mengawal harga kakao petani kami di pasaran," kata Bagus kepada MalangTIMES, Senin (01/10/2018).
Bagus Sulistyawan Camat Dampit saat meresmikan festival kopi dan kakao (DTPH for MalangTIMES)
Harapan camat Dampit tersebut didasarkan dengan potensi kakao di wilayahnya yang cukup besar. Selain itu, dengan dipilihnya wilayah Dampit sebagai lokasi percontohan (demplot) SCDP, dirinya berharap besar. Petani kakao bisa terdampingi secara menyeluruh dalam berbagai hal terkait perkebunan yang sempat jaya puluhan tahun silam.
"Tentu banyak hal yang kami harapkan. Selain pengawalan harga, adanya SCDP juga bisa mendongkrak produksi serta efek lanjutannya berupa pemberdayaan pemuda dan perempuan dalam olahan kakao paska panen. Dan adanya penambahan demplot juga menjadi harapan kami. Sehingga akan tersebar di berbagai desa di wilayah Dampit," ungkap camat berprestasi skala Jatim ini.
Harapan besar tersebut, menurut Ketua GPEI Jatim Isdarmawan Asrikan, tentunya juga merupakan gol yang diharapkan oleh pihaknya dalam program SCDP. Isdarmawan menyampaikan, potensi produksi kakao rakyat sangat besar di Jatim. Pasarnya pun sangat lebar dan belum bisa dipenuhi oleh petani kakao sampai saat ini.
Baca Juga : Mudik ke Kota Malang di Tengah Wabah Covid-19, Siap-Siap Tinggal di Rumah Karantina
"Karenanya kita meluncurkan SCDP dengan durasi 4 tahun di beberapa wilayah sebagai demplot. Petani, pemuda dan perempuan juga kita latih dengan berbagai hal mengenai kakao. Sehingga goalnya mereka yang nantinya akan menjadi penggerak di wilayahnya masing-masing," ujarnya.
Potensi besar yang disampaikannya, secara data areal kakao di Jatim seluas 63.040 hektare didominasi kebun kakao rakyat seluas 32.010 ha. Sisanya adalah milik PT Perkebunan Nusantara 26.487 ha dan perkebunan swasta seluas 4.543 ha. "Tapi, luas areal perkebunan kakao rakyat tidak sebanding dengan hasil produksinya, yaitu rata-rata di bawah 500 kg/ha per tahun. Ini yang membuat kita luncurkan SCDP dan juga tentunya bekerjasama dengan pemerintah daerah," imbuh Isdarmawan.
Kepala Dinas TPHP Kabupaten Malang Budiar Anwar pun bersiap melakukan berbagai komunikasi dengan Kementerian Pertanian dalam menguatkan petani kakao secara menyeluruh yang ada di wilayahnya. Dirinya menyampaikan akan melakukan koordinasi untuk meminta bantuan alat sarana produksi, bibit dan pelatihan.
"Kita rencanakan hal tersebut untuk lebih menjangkau lebih luas lagi. Sehingga petani kakao di Kabupaten Malang bisa kembali bangkit bersama-sama," ucap Budiar. (*)