Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Hiburan, Budaya dan Seni

Patil Lele : Antara Dua Bilah Bambu dan Dua Sisi Kecerdasan

Penulis : Nurlayla Ratri - Editor : Heryanto

17 - Dec - 2017, 17:44

Placeholder
Ilustrasi permainan tradisional patil lele. (Foto: rumahbacagm.wordpress.com)

Hom pim pah alaihom gambreng…

Nah, sebagian dari pembaca pasti ingat mantra sakti di atas. Mantra yang sangat ampuh. Mantra yang dapat mengubah hari: dari cerah menjadi semakin cerah. 

Mantra sakti yang efeknya tidak bisa diramalkan. Kadang menjadi tawa berkepanjangan atau tangisan yang memilukan. Efek yang secara tidak sadar mengendap di bawah sadar, menuliskan jalan kepribadian seorang anak manusia. Menjadi apa dia ketika nanti dewasa.

Baca Juga : Didi Kempot Gelar Konser Amal dari Rumah, Hanya 3 Jam Donasi Capai Rp 5,3 Milliar

Seperti sore itu, sore yang cerah di penghujung pekan beberapa waktu lalu. Enam orang anak, lima lelaki satu wanita, sedang melakukan hompimpah di lapangan kecil dekat pangkalan ojek di daerah Kelurahan Cemorokandang. Atau sekitar 15 kilometer arah timur pusat Kota Malang.

Di tangan masing-masing terdapat sebilah bambu sepanjang kurang lebih 75 centimeter. Mereka membagi diri menjadi dua kelompok, masing-masing tiga orang. Sedang saya, asyik memperhatikan mereka dari tepi jalan.

Dua Bilah Bambu

Rupanya kelompok si wanita mendapat kesempatan pertama. Kedua kelompok menempat diri pada posisi berhadapan. Perempuan kecil itu bersemangat sekali, nampaknya ia yang akan langsung mengambil giliran. 

Ditancapkannya sebilah bambu kecil di tanah yang lembab. Panjang bilah bambu itu kurang lebih satu jengkal. Hup! Tanpa ragu-ragu dipukulnya bilah kecil itu hingga terlontar sekitar 30 centimeter dari tanah. 

Tongkat panjangnya kembali berayun dalam kecepatan tinggi mengenai bilah bambu kecil. Cukup keras, sampai bilah itu melambung tinggi melampaui ketiga lawan yang berjaga di depannya. Pluk! Jatuh ke tanah.

Kedua temannya bersorak, kemudian mengambil alih posisi menyerang. Rupanya penyerang kedua kurang gesit sehingga bilah kecil itu dapat ditangkap lawan. Posisi pun berpindah. Kaki-kaki kecil mereka telanjang, telapaknya cokelat berlari-larian. 

Melompat, saling dorong, bercanda, saling beradu strategi permainan. Begitu seterusnya, hingga kelompok kedualah yang berhasil memenangkan permainan. Senja turun, seorang ibu datang dengan daster batik abu-abu.

"Nat, muleh!" Nat, pulang.

"Iyo buk." Iya, Bu.

Seperti persekutuan kecil, mereka mulai menyusun rencana untuk esok hari.

"Mene maneh yo!" Besok lagi ya.

"Oyi. Tapi koen ojok sore-sore tekane, cek iso suwe." Iya, tapi kamu jangan terlampau sore datang kesini. Agar bisa bermain lebih lama.

Demikianlah permainan Patil Lele. Pun ada yang menyebutnya Cutat, Jentik, Gatrik, dan Sawatan. Permainan sederhana, yang tidak kalah menyenangkan dibanding game software.

Dua Sisi Kecerdasan

Permainan ini bisa dilakukan secara individu (minimal dua orang) atau berkelompok. Jika ingin menang, maka perlu banyak berlatih. Meski sederhana, permainan ini membutuhkan ketangkasan, ketelitian, kecermatan, dan keakuratan. Hal tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan fisik dan psikologi anak.

Demikian pula strategi yang diperlukan saat bermain dalam kelompok. Membentuk anak menjadi manusia yang peduli, bukan individualistis seperti yang diajarkan oleh game software yang ada saat ini. Dua sisi kecerdasan: fisik dan psikis.

Baca Juga : SBY Persembahkan 'Cahaya Dalam Kegelapan', Lagu Bagi Para Pejuang Covid-19

Dalam perkembangan fisik manusia, fase kanak-kanak memiliki peran penting untuk fase selanjutnya. Selama masa kanak-kanak, jaringan lemak berkembang lebih cepat dibandingkan jaringan otot. Jaringan otot, baru akan berkembang saat masa pubertas. 

Permainan patil lele dan permainan tradisional lainnya, secara umum menuntut pergerakan fisik anak. Dalam berbagai sumber terkait perkembangan anak, aktivitas fisik seperti ini dapat menekan tingkat pertumbuhan jaringan lemak dalam batasan normal.

Berkurangnya pertumbuhan jaringan lemak dapat mencegah obesitas pada anak, dan menurunkan resiko obesitas lanjutan. Selain itu, jaringan otot yang terus terlatih selama masa kanak-kanak, akan mendapat stimulan yang cukup hingga dapat berkembang dengan lebih optimal.

Permainan tradisional juga melatih kebutuhan gerak dasar tubuh manusia. Sebut saja kekuatan (strenght), kecepatan (rapidty), performa (power), keseimbangan (balance), kelentukan (pliability), kelincahan (agility), daya tahan (kardiovaskuler respirasi), koordinasi (coordination), ketepatan (accuracy), dan kekebalan (invulnerability).

Dalam teori Piaget, kanak-kanak digolongkan pada tahap praoperasional (praoperational stage). Pada tahap ini, mulai muncul pemikiran egosentrisme dan intuitif. Egosentrisme dijabarkan sebagai suatu kemampuan untuk membedakan antara perspektif seseorang dan perspektif orang lain. 

Dengan kata lain, anak mulai memiliki pandangan sendiri terhadap hal-hal yang berkaitan dengan dirinya. Kecenderungan yang terjadi, anak-anak melihat sesuatu hanya dari sisi dirinya.

Sementara itu, intuitif adalah kondisi ketika anak-anak mulai menggunakan penalaran primitif dan ingin mengetahui jawaban atas semua pertanyaan. Mereka mengatakan mengetahui sesuatu tetapi pengetahuan itu terbentuk atas dasar intuisi dan mereka-reka, belum didukung oleh pemikiran rasional. 

Peran permainan tradisonal seperti patil lele dan permainan kelompok lainnya dapat memiliki porsi besar dalam tahapan perkembangan psikologi kognitif anak.

Sisi Lain: Budaya

Budaya, jika dikerucutkan dalam kearifan lokal, tidak hanya berkaitan dengan artefak, tetapi juga sikap hidup, kepercayaan, nilai-nilai moral, nilai-nilai sosial manusia di sebuah wilayah. Bagaimana itu semua terbentuk? 

Tentunya bukan sesuatu yang dapat diciptakan dalam semalam. Sebuah proses panjang. Lalu bagaimana pula sebuah permainan tradisional berpengaruh terhadap sikap budaya suatu masyarakat?

Seorang anak, anggap saja tujuh tahun, dihadapkan pada sebuah kelompok kecil: teman bermainnya. Dan proses pembentukan nilai pun dimulai. Situasi bermain, terutama permainan kelompok, menuntut seorang anak belajar memanajemen emosinya. 

Egosentrisme yang sedang kuat dibenturkan pada kebutuhan kelompok, pada egosentris-egosentris lain. Bagaimana mereka berpikir untuk menang, untuk berusaha sekuat tenaga bukan hanya untuk dirinya, melainkan juga untuk kelompoknya. 

Bagaimana dia bersikap sportif dan jujur. Bagaimana mereka mulai menerapkan hidup rukun, seperti falsafah hidup orang Jawa. Dan masih banyak lagi. 

Kearifan lokal dalam beragam permainan daerah merupakan salah satu kekayaan negeri ini yang harus dilestarikan. Tidak cukup dianggap sebagai aset, tetapi sebagai senjata membentuk manusia Indonesia yang lebih baik.

Yah, sayangnya banyak di antara kita yang tidak peduli akan permainan tradisional yang terlupakan. "Dunia ini adalah lapangan bermain. Seperti permainan masa kecil, tapi di tengah permainan semua orang mulai melupakannya," kata Allison (Yes Man, film). What is the answer? No matter how, just play!


Topik

Hiburan, Budaya dan Seni permainan-tradisional patil-lele permainan-anak budaya-dan-seni



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Nurlayla Ratri

Editor

Heryanto