MALANGTIMES - Aksi menyerukan boikot produk dari negara Prancis akhir-akhir ini terus dilakukan oleh berbagai negara. Mulai dari Turki hingga Bangladesh serta dari Yordania hingga Malaysia. Tak terkecuali juga di Indonesia.
Bahkan, hari ini (Senin, 2/11/2020) terdapat 300 masyarakat yang tergabung dalam Aliansi Malang Kondusif melakukan aksi unjuk rasa di depan Gedung DPRD Kota Malang. Tiga tuntutan dituliskan dalam spanduk besar dalam aksi unjuk rasa yang bertajuk Bela Kanjeng Nabi tersebut.
Baca Juga : Menaker Sowan ke UIN Malang Resmikan Gedung Career Center
Tiga tuntutan tersebut yakni untuk memboikot produk-produk Prancis, menuntut permintaan maaf Presiden Prancis, dan menuntut agar mengadili penghina Kanjeng Nabi.
Bukan tanpa alasan boikot ini muncul. Reaksi-reaksi ini merupakan respons dari pernyataan Presiden Prancis, Emmanuel Macron yang menyebutkan bahwa dirinya tidak akan mencegah penerbitan kartun yang menghina Nabi Muhammad SAW, dengan dalih kebebasan berekspresi.
Macron juga dianggap telah menghina Islam atas pernyataannya yang menyebutkan bahwa Islam mengalami krisis di seluruh dunia. Dia juga menyinggung komunitas muslim di negaranya yang dituduh sebagai separatis.
Menanggapi huru-hara ini, Pengamat Komunikasi dari Universitas Brawijaya (UB) Rachmat Kriyantono SSos MSi PhD menyampaikan, negara-negara yang katanya menganut kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan menghargai pendapat individu itu perlu berpikir ulang (rethinking) lagi.
"Karena tidak ada kebebasan yang mutlak, kebebasan mesti terbatas, meskipun tidak ada yang membatasi," ucap Ketua Prodi S2 Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UB tersebut.
Doktor lulusan school of Communication Edith Cowan University, Western Australia itu menyebutkan, peristiwa penghinaan ini bukan pertama kali terjadi. Artinya, selalu berulang di beberapa negara Eropa, seperti Denmark dan Prancis.
Kebebasan dikatakannya ada, tetapi kebebasan mutlak tidak akan pernah ada. Karena kebebasan itu pasti dibatasi sesuatu atau dibatasi kebebasan orang lain.
"Orang tentu bisa berlari, tetapi tentu tidak bisa lari jauh sekali tanpa berhenti, misalnya sampai ratusan km," terangnya.
Dosen Jurusan Komunikasi itu menilai, media massa harus paham makna kebebasan pers. Kebebasan pers bukan bebas sebebas-bebasnya. Tapi, bebas yang bertanggung jawab, yakni tanggung jawab memajukan bangsa, tanggung jawab menjaga harmoni dan keutuhan bangsa dan masyarakat dunia.
Baca Juga : Polemik Pelajaran Sejarah Tidak Wajib Bagi Siswa, Ini Jawaban Kemendikbud RI
"Kebebasan media massa harus dapat mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin timbul dari dimuatnya berita," tegasnya.
Karena itu Rahmat menegaskan, karikatur sebagai bentuk ekspresi individu seharusnya ada batasnya. Yakni, jangan sampai mengganggu kepercayaan umat Islam. Kebebasan pers harus menghormati kebebasan beragama orang lain.
Presiden Perancis Macron, menurut Rahmat, seharusnya meminta maaf karena ada elemen masyarakat Prancis yang melukai hati umat Islam. Dan umat Islam harus bijak meresponnya.
"Saya tidak setuju juga atas aksi pemenggalan itu. Persoalan itu lebih baik diselesaikan melalui jalur hukum," pungkasnya.
Sebagai informasi, sebelumnya terdapat insiden pembunuhan seorang guru di Prancis bernama Samuel Paty. Samuel Paty merupakan guru sejarah di Perancis yang diketahui menampilkan gambar kartun Nabi Muhammad di kelasnya. Kabarnya ia sedang mengajarkan tentang "liberty press".
Peristiwa itu mendapatkan tanggapan dari berbagai pihak. Emmanuel Macron sendiri menganggap hal yang dilakukan Samuel Paty sebagai kebebasan berekspresi.
"Salah satu warga kami dibunuh hari ini karena dia mengajar, dia mengajar murid-muridnya tentang kebebasan berekspresi," kata Presiden Prancis Emmanuel Macron pada, Minggu, 25 Oktober 2020.