MALANGTIMES - Belum lama ini, sastrawan Ayu Utami melahirkan novel terbarunya berjudul Anatomi Rasa. Isi dari novel ini adalah khazanah kesadaran Nusantara tanpa memakai referensi dari barat.
Baca Juga : KITAB INGATAN 101
Kendati topiknya yang berat, buku ini dibungkus secara ringan dengan sajian tulisan seolah-olah surat cinta tokoh Parang Jati kepada Marja. Ayu Utami menegaskan, dalam buku ini dirinya berusaha betul untuk tidak memasukkan referensi dari barat.
"Referensi dari barat baru ada di bab akhir karena saya memang berusaha betul agar konsep roso dalam buku ini dari konsep jawa tanpa memakai teori luar. Saya mau betul-betul otentik," ujarnya saat ditemui di Universitas Brawijaya (UB) Malang belum lama ini.
Dalam Anatomi Rasa, Ayu menyajikan konsep rasa batin yang ada dalam struktur kedalaman atau deep structure Nusantara. Struktur tersebut ada dalam kesadaran Jawa dan dimanifestasikan bermacam-macam dalam novel tersebut. "Saya mencoba membuktikan bahwa deep structure ini bekerja di balik pilihan-pilihan budaya Nusantara," tandasnya.
Ayu menegaskan, rasa yang disajikan dalam novel tersebut bukanlah rasa inderawi seperti sakit, panas, dingin, lembut, dan segala macam yang bisa kita rasakan dengan indera kita. Itu adalah satu lapisan rasa yang paling permukaan. Rasa yang disajikan dalam novel itu bukan pula rasa emosi atau afeksi seperti sedih, senang, atau jatuh cinta.
Konsep rasa yang ditemui dalam Anatomi Rasa bukanlah rasa permukaan. Melainkan rasa batin yang rohani atau rasa jati (rasa yang tanpa rasa). Seperti halnya apabila kita membaca teks Suluk Marang Sumirang.
"Buat orang Jawa kebatinan roso ini penting. Tapi ini semua bisa dimodernkan. Orang nggak harus jadi spiritualis. Orang boleh sekular, boleh agnostik, boleh atheis, peta batin ini tetap berlaku," imbuhnya.
Baca Juga : KITAB INGATAN 100
Lantas apa guna konsep rasa batin yang terbentuk dalam deep structure ini? Apa guna dan potensinya bagi dunia akademik, filsafat dan psikologi?
"Saya kira ini sebetulnya bisa menawarkan satu epistemologi lokal yang bisa juga universal dan objektif," ujarnya.
Ilmu pengetahuan kita, dikatakan Ayu, sudah terlalu banyak beban barat. Nah, buku ini sebetulnya merupakan usaha mencari pengetahuan yang basisnya adalah tradisi kita sendiri dan itu bisa objektif dan juga universal. Struktur ini sendiri tidak judgemental.
Apabila dipikirkan, tradisi kita memang kerap dibaca dengan paradigma barat. Padahal, kita sebagai orang Indonesia bisa mempunyai paradigma sendiri untuk membaca dunia luar daripada terus menerus dibaca oleh dunia luar dengan paradigma mereka.
"Struktur ini juga bisa membuat kita membaca tradisi barat atau tradisi lain dengan struktur kita sendiri. Kan sekali-kali kita pakai paradigma kita untuk membaca dunia luar. Artinya kalau kita membaca maka kita tidak tertutup dengan dunia luar. Kita punya suatu kepercayaan diri dengan suatu kemampuan menilai," pungkasnya.