MALANGTIMES - Raden Mas Mustahar atau Raden Mas Ontowiryo cucu Sultan Hamengkubuwono II, yang lebih dikenal sebagai Pangeran Diponegoro bukan nama asing di telinga kita semua.
Sosok pahlawan nasional sekaligus pengobar perang jawa yang membuat penjajah Belanda kelimpungan, telah menjadi bagian ingatan kolektif bangsa. Baik yang diserap melalui berbagai buku pelajaran sejarah, tulisan-tulisan maupun hal lain terkait sosok Pangeran Diponegoro.
Baca Juga : KITAB INGATAN 100
Tapi, dimungkinkan ada satu peninggalan Diponegoro yang mungkin tidak terlalu familiar. Yakni karya tulisnya saat Diponegoro diasingkan ke Manado oleh Belanda, tahun 1831 sampai 1832.
Karya yang dikenal sebagai Babad Diponegoro dengan ketebalan 1.170 halaman folio (saat ini).
Babad Diponegoro ditulis dalam huruf pegon (arab gundul tanpa tanda baca) dan berupa macapat atau tembang/puisi tradisional Jawa.
Begitulah menurut sejarawan asal Inggris, Peter Brian Ramsey Carey yang 40 tahun lamanya melakukan penelitian atas karya tutur Diponegoro yang ditulis oleh juru tulisnya selama pengasingannya.
Ia juga menuliskan penelitiannya dalam buku berjudul "Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1985-1855".
Naskah Diponegoro tersebut, menjadi terdengar asing bagi khalayak umum. Walau pun UNESCO telah mengakuinya sebagai “Memory of the World” pada tahun 2013.
Tapi, naskah asli Babad Diponegoro yang menurut Carey merupakan otobiografi sang pangeran ibarat bahtera Nuh.
"Isinya ada sejarah nabi, pulau jawa dari zaman Majapahit hingga perjanjian Giyanti (Mataram). Babad Diponegoro menampung semua budaya Jawa. Ibaratnya bahtera Nuh," kata Carey dalam berbagai wawancara dan catatannya.
Walau naskah asli dimungkinkah telah hilang, dan Unesco saat menetapkan Babad Diponegoro sebagai memory of the world hanya melalui naskah kopian otentik tapi ghirah untuk terus menghidupkan dan membumikan sosok Diponegoro terus dilakukan.
Bukan dengan cara menyebarluaskan babad Diponegoro yang kini 1 kopi naskahnya ada di Perpustakaan Nasional dan 1 kopi Rotterdam saja tapi, juga dengan cara "merupa-kan" Babad Diponegoro.
Diponegoro dengan berbagai peristiwa yang dituturkan dan tertulis di Babad, akan di lukis oleh sekitar 51 pelukis dalam pameran Sastra Rupa Gambar Babad Diponegoro, 1-24 Februari 2019 di Jogja Gallery Jl. Pekapalan No. 7 Alun-alun Yogyakarta.
Dari berbagai lansiran digroup WA, tujuan membumikan Babad Diponegoro adalah menyosialisasikannya di era saat ini.
Seni rupa yang dipilih dalam tujuan besar tersebut karena mudah dicerna oleh banyak orang. Maupun sebagai sarana untuk “bertemu langsung” secara visual dengan sang tokoh, meskipun melalui imajinasi para pelukis.
Baca Juga : KITAB INGATAN 99
Begitulah kalimat yang disampaikan pihak Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (Patrapadi) dan Jogja Gallery sebagai penyelenggara. Dengan kurator Mikke Susanto dan Sri Margana.
"Pameran ini menyediakan diri sebagai sarana untuk mengingat, mempelajari, mengidentifikasi serta mengimajinasikan segala hal yang terkait dengan Diponegoro. Jadi dapat dikatakan bahwa pameran ini menyajikan lukisan-lukisan “nyata”, berdasarkan biografi sang pangeran," tulis penyelenggara.
Ada 50 kisah nantinya yang akan dirupakan dan diambil dari Babad Diponegoro oleh para perupa kontemporer Indonesia ternama. Dimana 51 perupa tersebut telah melakukan riset lapangan, mengunjungi lokasi dan berdiskusi dengan pihak-pihak terkait.
Tujuan besar menghidupkan dan membumikan Babad Diponegoro di masa kini melalui seni rupa, sebenarnya telah dimulai. Walau tentunya berbeda tujuan dengan gelaran pameran di bulan depan tersebut.
Lukisan legendaris Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh, tahun 1857, adalah salah satunya.
Lukisan yang menggambarkan ditangkapnya Pangeran Diponegoro oleh Letnan Jenderal Hendrik Merkus de Kock pada 28 Maret 1830.
Nicolaas Pieneman, pelukis dan litografer asal Belanda Utara yang hidup pada abad ke-19, juga membuat lukisan tentang peristiwa yang sama dengan judul Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jenderal De Kock pada sekitar tahun 1835.
Walau banyak pro kontra dalam lukisan tersebut, Raden Saleh telah memulainya dan kini hal tersebut akan dimassifkan lagi melalui Babad Diponegoro yang akan dirupakan secara berseri.
Tentunya ada harapan besar, dengan gelaran tersebut masyarakat umum akan mengalami pengalaman rasa dan tentunya pemahaman lebih lengkap mengenai sosok Diponegoro.
Seperti yang terjadi pada penyair Taufiq Ismail, setelah melihat lukisan Raden Saleh, 1995.
"Aku termangu melihat lukisan itu...
Kau beri adegan abad ke 19 yang begitu tegang...
seorang Pangeran, pangeran, ditangkap dengan khianat Wahai Raden Saleh Syarif Bustaman, betapa padat dan kaya isyarat lukisan Tuan.".