JATIMTIMES — Balai Kota Koesoema Wicitra, Senin pagi (28/7/2025), tak seperti biasanya. Suasana lebih ramai, ceria, dan penuh warna. Bukan oleh pejabat atau tamu protokoler, melainkan oleh ratusan anak-anak dari berbagai sekolah di Kota Blitar, termasuk anak-anak berkebutuhan khusus.
Mereka duduk di kursi sederhana, menyantap kudapan kecil sembari menyampaikan gagasan besar: harapan untuk kota yang lebih ramah, lebih aman, dan lebih berpihak pada suara mereka
Baca Juga : Lupakan Gadget, Ratusan Anak Ikuti Lomba Permainan Tradisional di Museum Panji
Acara ini bertajuk Sarapan NASTAR 4.0 Bersama Mas Wali, akronim dari Saran dan Harapan Anak Kota Blitar, yang digagas oleh Pemerintah Kota Blitar sebagai bagian dari komitmen membangun kota layak Anak. Digelar dalam rangka memperingati Hari Anak Nasional Ke-41 tahun 2025, forum ini mengundang anak-anak untuk menyampaikan keluh kesah, kritik, dan impian mereka secara langsung kepada pemimpinnya, Wali Kota Blitar H. Syauqul Muhibbin, yang akrab disapa Mas Ibin.
Acara ini juga dihadiri oleh Ketua TP PKK Kota Blitar sekaligus Bunda PAUD Khariza Rizqi Umami Muhibbin serta Sekretaris Daerah Kota Blitar Priyo Suhartono.
“Kami tidak ingin membangun kota hanya untuk anak-anak, tapi bersama anak-anak,” ujar Mas Ibin dalam sambutannya yang penuh semangat.
Menurut dia, seluruh kebijakan Kota Blitar saat ini sedang diarahkan agar berpihak pada empat hak utama anak: hak hidup, tumbuh kembang, perlindungan, dan partisipasi. Bagi Mas Ibin, suara anak adalah bahan baku utama kebijakan yang manusiawi.
Dalam forum itu, Mas Ibin menyampaikan kekhawatirannya terhadap berbagai persoalan yang masih membayangi dunia anak hari ini, mulai dari putus sekolah, bullying di lingkungan pendidikan, hingga minimnya ruang aman dan bahagia untuk tumbuh.
“Anak-anak harus sekolah, tidak boleh ada yang putus sekolah, apalagi karena alasan ekonomi. Kami ingin memastikan tak ada satu pun anak Blitar yang kehilangan masa depan hanya karena sistem yang abai,” kata dia, disambut tepuk tangan meriah.
Mas Ibin juga menekankan pentingnya menjadikan sekolah sebagai tempat yang nyaman dan membahagiakan, bukan tempat yang menakutkan atau mematikan potensi. Ia menyinggung fenomena bullying yang masih marak, yang menurutnya harus diberantas hingga ke akar.
“Sekolah bukan medan tekanan. Itu rumah kedua anak-anak. Harus aman, ramah, dan memberi ruang berkembang,” katanya.
Pemerintah Kota Blitar pun, kata dia, sedang menyiapkan tim pemantau remaja yang akan menyusuri ruang publik, tempat nongkrong, dan titik keramaian anak muda. Bukan untuk membatasi kebebasan mereka, tetapi memastikan bahwa anak-anak tidak terjebak dalam pola hidup yang justru merugikan diri sendiri, seperti keluyuran malam tanpa arah yang mengganggu jam belajar.
Di tengah upaya pemerintah itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Kota Blitar, Parminto, mengatakan bahwa acara ini bukan sekadar seremonial tahunan. Ia menyebut bahwa Sarapan NASTAR adalah medium untuk menjaring aspirasi anak secara nyata dan mengubahnya menjadi rekomendasi kebijakan.
“Kita ingin anak-anak bisa bicara langsung ke pemerintah. Gagasan mereka akan dikaji untuk masuk dalam proses pembangunan kota,” ujarnya.
Baca Juga : Skor IKPA Sempurna, MTsN 2 Kota Malang Tunjukkan Komitmen Transparansi dan Akuntabilitas Anggaran
DP3AP2KB sendiri telah menggulirkan sebuah strategi kolaboratif yang diberi nama Sinergi Berlian, akronim dari Aksi dan Kolaborasi Satukan Energi Bersama Lindungi Anak Kota Blitar. Program ini menyasar pencegahan kekerasan di lingkungan sekolah melalui sosialisasi dan pelibatan aktif guru serta tenaga pendidik.
Menurut Parminto, hingga pertengahan tahun ini, Sinergi Berlian telah menyasar 8 lembaga pendidikan dari target 20 sekolah sepanjang 2025. Sekolah-sekolah yang telah disentuh program ini antara lain SD Klampok, SD Tlumpu, SMP Yos Sudarso, SMP 8 Blitar, hingga SMA Al-Muhafizhoh.
“Kami ingin warga sekolah, khususnya guru, menjadi garda depan pendeteksi kekerasan sejak dini,” kata Parminto.
Di tengah forum, anak-anak tampak antusias menyampaikan unek-unek mereka. Ada yang mengeluhkan kamar mandi sekolah yang tak layak, ada yang mengusulkan lebih banyak ruang terbuka hijau untuk bermain, hingga menyarankan program literasi digital yang sehat. Semua aspirasi itu dicatat, diproses, dan dijanjikan akan dibawa ke forum perencanaan pembangunan daerah.
Mas Ibin menutup pertemuan dengan satu kalimat tegas, “Saya bermimpi tentang Kota Blitar yang aman untuk bermain, nyaman untuk belajar, bebas untuk berpendapat, dan cukup lapang untuk semua mimpi anak-anak.”
Di era ketika pembangunan sering kali dimaknai sebagai tumpukan beton dan aspal, Blitar memberi pesan lain. Bahwa kota yang baik bukan hanya soal infrastruktur, tapi juga tentang bagaimana setiap anak bisa tumbuh dalam cinta, dilindungi oleh sistem, dan didengar oleh pemimpinnya.
Karena masa depan kota sebenarnya sedang duduk berjajar penuh semangat pagi itu, di tengah tawa, nastar, dan cita-cita yang tak boleh kandas.