MALANGTIMES - Mungkin, banyak dari kita yang tidak mengetahui bahwa pada zaman kerajaan dulu sudah ada perundang-undangan yang dipakai dan mengikat pergaulan sosial, politik masyarakat.
Perundang-undangan Majapahit, Demak, Pajang, Mataram adalah sedikit dari banyaknya regulasi pada zaman kerajaan tempo dulu.
Baca Juga : Ini Alasan Kabag Protokoler Pemkot Batu yang Hadir di Polresta Malang Terkait Kasus Tabrak Lari
Sayangnya, kekayaan literature perundang-undangan tersebut sangat sedikit yang menelitinya, terutama di zaman Majapahit.
Prof. Djokosutono Sarjana Hukum Adat pada Universitas Indonesia Jakarta yang diserahi tugas memimpin Lembaga Hukum Nasional (meninggal pada tahun 1965) pernah menyatakan :
'”Seandainya peraturan-peraturan pada jaman Majapahit yang diterapkan oleh Gajah Mada, tercatat dan catatan itu sampai kepada kita, maka kita sudah mempunyai dasar hukum nasional. Tidak seperti sekarang ini," sesalnya.
Penyesalannya yang membuat Djokosutono melakukan penelitian dan menghasilkan buku berjudul Perundang-undangan Majapahit yang diterbitkan penerbit Bhratara tahun 1967.
Menurut Agus Sunyoto, Pakar Sejarah Malang, penyesalan Djokosutono yang memiliki harapan Indonesia saat itu memiliki dasar hukum nasional dengan acuan perundang-undangan Majapahit yang bernama Kutaramanawa Dharmasastra, sebuah Undang-Undang (UU) Pidana dan perdata yang komprehensif zaman itu, bisa berhasil apabila Djokosutono mengetahui bahwa naskah tersebut masih ada.
“Beliau ahli hukum bukan ahli sejarah sehingga tidak mengetahui pada tahun itu UU Kutaramanawa ada dan pernah diteliti sarjana Belanda,”kata Agus Sunyoto, Minggu (14/05) yang menyebut Sarjana belanda itu bernama Dr. J.C.G Jonker yang pada tahun 1885 menerbitkan penelitiannya atas Kutara Manawa atau Agama.
Jonker, menurut Agus, berangkat setidaknya dari dua prasasti yang mencatat nama kitab Undang-Undang Kutara Manawa, yaitu Prasasti Bendasari dan Prasasti Trawulan yang berangka tahun 1358.
Pada Bendasari tertera kalimat "Makatanggwan rasagama ri sang hyang Kutara Manawa adi, manganukara prawettyacara sang pandita wyawaharawiccheda ka ring malama" artinya :"Dengan berpedoman kepada isi kitab yang mulia Kutara Manawa dan lainnya, menurut teladan kebijaksanaan para pendeta dalam memutuskan pertikaian jaman dahulu.
“Prasasti ini dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara (Hayam Wuruk) yang termuat dalam O.J.O LXXXV pada lempengan 6a,”ujar Agus.
Dia juga mengatakan pada Prasasti Trawulan tahun 1358 yang dikeluarkan oleh Sri Rajasanagara, lempengan III baris 5 dan 6 kedapatan juga nama kitab perundang-undangan Kutara Manawa, yang bunyinya seperti berikut ini :
Baca Juga : Pelaku Tabrak Lari Masih Misterius, Pemkot Batu dan Polisi Lindungi Nama Penabrak
" .... Ika ta kabeh Kutara Manawa adisastra wicecana tatpara kapwa sama-sama sakte kawiwek saning sastra makadi Kutara Manawa ...."artinya : "Semua ahli tersebut bertujuan hendak menafsirkan kitab undang-undang Kutara Manawa dan lain-lainnya. Mereka itu cakap menafsirkan kitab-kitab undang-undang seperti Kutara Manawa".
UU Kutara Manawa Majapahit berisikan aturan pidana dan perdata dengan sanksi-sanksi yang berat dan keras.
Hal ini masih menurut Agus dikarenakan wong lndonesia terutama Jawa, punya kecenderungan suka cari jalan pintas jika menghadapi masalah.
“Itu sebab, butuh sanksi keras agar tidak disiasati. Jadi ciri khas hukum lndonesia sejak era Kalingga, Singhasari, Majapahit hingga Demak dan Mataram adalah sanksi-sanksi yang berat dan keras,”terangnya.
Agus mencontohkan masalah Astacorah Pasal 55, jika seorang pencuri tertangkap dalam pencurian, dikenakan pidana mati ; anak isterinya, miliknya dan tanahnya diambil alih oleh raja yang berkuasa.
Jika pencuri itu mempunyai hamba laki-laki dan perempuan, hamba-hamba itu tidak diambil alih oleh raja yang berkuasa, tetapi dibebaskan dari segala utangnya kepada pencuri yang bersangkutan.
Pasal 56 Astacorah juga menyebutkan jika seorang pencuri mengajukan permohonan hidup, maka ia harus menebus pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa kepada raja yang berkuasa, membayar kerugian kepada orang yang kena curi dengan mengembalikan segala milik yang diambilnya dua kali lipat.
“Dalam Bab Paradara atau tindaka mesum, seorang laki-laki yang menggoda perempuan dengan menyentuh tubuhnya di tempat umum sehingga perempuan itu dipermalukan, hukumannya potong tangan,”tutur Agus yang juga menambahkan dalam Kutara Manawa, Pemerkosa dihukum mati, tanah, rumah, hartanya dirampas negara.
