Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Peristiwa Menguak Prostitusi; Profesi Purba Sampai Kini (3)

Dulu Disebut Wanita Publik dan Dijuluki Penjahat yang Dibutuhkan

Penulis : Nana - Editor : Lazuardi Firdaus

30 - Apr - 2017, 19:57

Placeholder
Nama bagi pelacur dalam sejarah terus berganti. Di zaman kolonial, mereka disebut wanita publik dan dijuluki penjahat yang dibutuhkan. (Foto. Wanita publik zamab kolonial saat dirazia oleh Polisi Susila Hindia Belanda, Istimewa)

MALANGTIMES - Sejarah mencatat, profesi penjajah seks pernah mengalami berbagai sebutan. Dari pelacur, cabo, balon, sampai pada penghalusan sebutan, yaitu wanita tunasusila (WTS) dan PSK (pekerja seks komersial). 

Di masa kolonial Belanda, para penjaja seks bahkan pernah disebut sebagai ‘wanita publik’. Istilah ini karena mereka bebas dimiliki pria yang membayarnya dan dilegalkan secara aturan di zaman itu.

Baca Juga : Viral Dosen UM Disebut Positif Covid-19 setelah Ikut Pelatihan Petugas Haji di Surabaya

Ruang hidup secara legal prostitusi bermula saat  Hindia Belanda Timur berada dalam kuasa Prancis dengan Gubernur Jenderalnya bernama Herman Willem Daendels (menjabat 1808-1811). Kondisi saat itu, pelacuran begitu marak dan telah menimbulkan penyebaran penyakit kelamin yang memakan banyak korban jiwa, terutama para prajurit Prancis.

Melihat hal tersebut, maka prostitusi dilegalkan dengan berbagai aturan terhadap wanita publik. Misalnya, pengobatan berkala bagi para wanita publik ini.

Sayangnya, aturan itu berumur pendek karena Prancis hengkang dari Hindia Belanda Timur pada 1813. Prostitusi pun merebak tanpa kendali, seperti yang ditulis oleh  Liesbeth Hesselink, dalam “Prostitution: A Necessary Evil,”.

Liesbeth juga menulis, saat Prancis hengkang, sekelompok masyarakat mendesak pemerintah kolonial mengeluarkan aturan perihal prostitusi. Menurut mereka, prostitusi sudah jadi kebutuhan alamiah laki-laki dan mereka menyebut para wanita publik ini sebagai "penjahat yang dibutuhkan".

Pemerintah berpihak pada mereka. Maka tahun 1852, lahirlah  "Reglement tot wering van de schadelijke gevolgen, welke uit de prostitutie voortvloejen "(Aturan untuk melawan dampak buruk prostitusi) yang merupakan pijakan legal para wanita publik.

Dalam naungan aturan 1852 tersebut, wanita publik memiliki berbagai aturan yang wajib dijalaninya. Dalam pasal 2 dinyatakan wanita publik diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi. Selain itu, wanita publik diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit sifilis atau penyakit kelamin lainnya (pasal 8, 9, 10, 11). 

Jika seorang perempuan ternyata berpenyakit kelamin, tulis Liesbeth, harus segera menghentikan praktiknya dan harus diasingkan dalam suatu lembaga (inrigting voor zieke publieke vrouwen) yang didirikan khusus untuk menangani perempuan berpenyakit tersebut. 

Tetapi, harapan pemerintah kolonial ternyata berbanding terbalik. Sebaran penyakit kelamin dan prostitusi liar tetap semarak.  “Suara para penentang aturan prostitusi menguat. Puncaknya pada tahun 1913, ketika pemerintah kolonial memberlakukan Undang-Undang Kesusilaan Publik,” tulis Liesbeth yang juga menyatakan saat itu kembali praktik prostitusi jadi ilegal lagi. 

Tapi prostitusi tidak lantas mati walaupun pemerintah mengerahkan polisi susila Hindia Belanda dalam memberantas prostitusi. Para pelakunya bergerak secara sembunyi-sembunyi. Simons, ahli demartologi Batavia, bahkan menyebut prostitusi di Surabaya berkembang menjadi delapan jenis pada 1939. Para wanita publik yang menjajakan tubuhnya ini dipasok dari Malang sebagai salah satu daerah dari 11 kabupaten yang terkenal sebagai gudangnya wanita cantik.MALANGTIMES - Sejarah mencatat, profesi penjajah seks pernah mengalami berbagai sebutan. Dari pelacur, cabo, balon, sampai pada penghalusan sebutan, yaitu wanita tunasusila (WTS) dan PSK (pekerja seks komersial). 

Di masa kolonial Belanda, para penjaja seks bahkan pernah disebut sebagai ‘wanita publik’. Istilah ini karena mereka bebas dimiliki pria yang membayarnya dan dilegalkan secara aturan di zaman itu.

Ruang hidup secara legal prostitusi bermula saat  Hindia Belanda Timur berada dalam kuasa Prancis dengan Gubernur Jenderalnya bernama Herman Willem Daendels (menjabat 1808-1811). Kondisi saat itu, pelacuran begitu marak dan telah menimbulkan penyebaran penyakit kelamin yang memakan banyak korban jiwa, terutama para prajurit Prancis.

Baca Juga : Kilas Balik Jejak Covid-19 di Kota Malang Hingga Pengajuan Status PSBB

Melihat hal tersebut, maka prostitusi dilegalkan dengan berbagai aturan terhadap wanita publik. Misalnya, pengobatan berkala bagi para wanita publik ini.

Sayangnya, aturan itu berumur pendek karena Prancis hengkang dari Hindia Belanda Timur pada 1813. Prostitusi pun merebak tanpa kendali, seperti yang ditulis oleh  Liesbeth Hesselink, dalam “Prostitution: A Necessary Evil,”.

Liesbeth juga menulis, saat Prancis hengkang, sekelompok masyarakat mendesak pemerintah kolonial mengeluarkan aturan perihal prostitusi. Menurut mereka, prostitusi sudah jadi kebutuhan alamiah laki-laki dan mereka menyebut para wanita publik ini sebagai "penjahat yang dibutuhkan".

Pemerintah berpihak pada mereka. Maka tahun 1852, lahirlah  "Reglement tot wering van de schadelijke gevolgen, welke uit de prostitutie voortvloejen "(Aturan untuk melawan dampak buruk prostitusi) yang merupakan pijakan legal para wanita publik.

Dalam naungan aturan 1852 tersebut, wanita publik memiliki berbagai aturan yang wajib dijalaninya. Dalam pasal 2 dinyatakan wanita publik diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi. Selain itu, wanita publik diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit sifilis atau penyakit kelamin lainnya (pasal 8, 9, 10, 11). 

Jika seorang perempuan ternyata berpenyakit kelamin, tulis Liesbeth, harus segera menghentikan praktiknya dan harus diasingkan dalam suatu lembaga (inrigting voor zieke publieke vrouwen) yang didirikan khusus untuk menangani perempuan berpenyakit tersebut. 

Tetapi, harapan pemerintah kolonial ternyata berbanding terbalik. Sebaran penyakit kelamin dan prostitusi liar tetap semarak.  “Suara para penentang aturan prostitusi menguat. Puncaknya pada tahun 1913, ketika pemerintah kolonial memberlakukan Undang-Undang Kesusilaan Publik,” tulis Liesbeth yang juga menyatakan saat itu kembali praktik prostitusi jadi ilegal lagi. 

Tapi prostitusi tidak lantas mati walaupun pemerintah mengerahkan polisi susila Hindia Belanda dalam memberantas prostitusi. Para pelakunya bergerak secara sembunyi-sembunyi. Simons, ahli demartologi Batavia, bahkan menyebut prostitusi di Surabaya berkembang menjadi delapan jenis pada 1939. Para wanita publik yang menjajakan tubuhnya ini dipasok dari Malang sebagai salah satu daerah dari 11 kabupaten yang terkenal sebagai gudangnya wanita cantik.


Topik

Peristiwa profesi-pelacur menguak-prostitusi sejarah-prostitusi praktik-pelacuran



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Nana

Editor

Lazuardi Firdaus