Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba-Serbi

Menguak Fakta Stasiun Pertama di Kota Malang

Penulis : Pipit Anggraeni - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

20 - Jul - 2020, 20:52

Placeholder
Stasiun Kota Lama (Ahmad Nur Amin)

MALANGTIMES - Sebagai daerah pariwisata, Kota Malang tentu dikenal akan transportasi umum yang cukup memadai. Salah satu yang paling dikenal adalah keberadaan stasiun kereta api, yang sejak dulu menjadi salah satu primadona bagi para pelancong saat akan berkunjung ke Kota Malang.

Tapi tahukah Anda, sebelum menjadi transportasi andalan seperti sekarang, jalur kereta api di Kota Pendidikan ini memiliki fungsi lain. Sebelumnya, kereta api lebih banyak dimanfaatkan untuk kepentingan pengiriman hasil bumi dibanding sebagai moda transportasi umum.

Baca Juga : Viral Aksi Polisi Berbicara Pakai Bahasa Thailand, Warganet Auto Ngakak

 

Pemerhati sejarah Kota Malang sekaligus Kepala Seksi Pengembangan Ekonomi Kreatif Bidang Pemasaran Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Dinas Kepemudaan Olahraga dan Pariwisata Kota Malang Raden Agung Harjaya Buana menyampaikan, Malang terkenal akan daerahnya yang kaya akan potensi agrobisnis. "Dan era 1800-an, kolonial Belanda memiliki kebijakan memperkuat keuntungan melalui politik tanam paksa," katanya.

Komiditas yang ditanam saat itu adalah kopi, gula atau tebu dan beberapa rempah lainnya. Ketika hasil panen tanaman itu ada, maka Pemerintah Kolonial Belanda memanfaatkan jalur kereta untuk memindahkan hasil bumi ke pelabuhan yang ada di Surabaya dan Jawa Tengah.

"Khusunya untuk gula, pelabuhan terbesar justru di Semarang. Yntuk kopi di surabaya," kata Agung.

Maka pada 1870, dibangunlah jaringan kereta api yang menghubungkan Surabaya dan Malang. Stasiun pertama saat itu adalah Stasiun Kota Lama. Saat itu, fungsi utama stasiun adalah untuk memudahkan transportasi hasil bumi, baik kopi, gula, dan hasil rempah lainnya.

"Belanda manfaatkan jalur itu untuk kepentingan mereka. Walau ada gerbong untuk penumpang, utamanya komiditas ekonomi," kata Agung.

Stasiun Kota Lama  menjadi pusat transportasi kereta api yang dikhusukan untuk barang, baik bumi maupun minyak. Saat itu juga terdapat depo minyak di kawasan Comboran yang menghidupi industri disekitarnya.

Lebih jauh Agung menyampaikan, kebutuhan mobilitas semakin hari semakin tinggi. Maka kolonial Belanda akhirnya memutuskan membuat satu satu stasiun lagi, yakni Stasiun Kota Malang atau yang juga dikenal dengan nama Stasiun Kota Baru.

Baca Juga : Pekerjaannya Diremehkan, Ini Kisah Marbot yang Begitu Dicintai Rasulullah

 

Pada pembangunan pertama, Stasiun Kota Baru tak menghdap ke barat, melainkan menghadap ke timur yaitu Jalan Panglima Sudirman atau menghadap ke Rampal.

Saat itu stasiun dan jaringan kereta tersebut digunakan untuk mobilitas tentara atau kepentingan militer. Kemudian pada 1930-an, ada keinginan mengubah arah hadap Stasiun Kota Baru dari timur menghadap ke barat seperti yang ada sampai sekarang. "Dan arsitekturnya dibangun dan diselaraskan dengan konsep garden city," terang Agung.

Sehingga area depan stasiun dilengkapi dengan taman sampai area Alun-Alun Bundar (Alun-Alun Tugu). Sehingga penumpang yang baru saja turun di Stasiun Kota Baru akan disuguhkan keindahan alam yang dimiliki Kota Malang

"Akhirnya Malang mempunyai stasiun kereta api yang menghadap ke barat. Peristiwa ini membuat bangunan sisi timur terbengkalai dan tak dimanfaatkan hingga 2020. Dan tahun ini PT KAI sedang membangun stasiun kereta api baru berada di sisi timur untuk angkutan antarkota. Dan sisi barat untuk jarak pendek," pungkas Agung.

 


Topik

Serba-Serbi



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Pipit Anggraeni

Editor

Sri Kurnia Mahiruni