MALANGTIMES - Nama Jenderal Mayor Imam Soedjai memang belum banyak dikenal masyarakat luas.
Sebagai salah satu tokoh perjuangan di Malang dan Lumajang yang mempertahankan kemerdekaan dari serangan bangsa asing, semestinya pria kelahiran Pohjentrek, Kabupaten Pasuruan pada 25 September 1902 silam itu kembali dikenalkan.
Baca Juga : KH Masjkur Termasuk Pendiri TNI, Khofifah: Perjuangannya Harus Diteladani
Penulis buku serta biografi dan sejarah panjang tokoh Jenderal Mayor Imam Soedjai, Mansur Hidayat menyampaikan, seorang Jenderal Mayor Imam Soedjai merupakan tokoh yang amat luar biasa.
Tak sedikit pemikiran dan perjuangannya dalam melakukan pergerakan dan revolusi Indonesia.
Jenderal Mayor Imam Soedjai menurutnya lahir dari seorang ayah bernama Niti Astro.
Dia merupakan seorang priyayi muslim yang mempunyai kedudukan tinggi pada saat itu.
Ketika ayahnya kemudian pindah ke Lumajang sebagai Penghulu, maka di usia muda R. Imam Soedja’i mengikuti ayah dan ibunya pindah ke Lumajang.
Hiduo di tengah keluarga yang sangat Islami, Ssoedjai muda me dapatkan pendisikan sebagai seorang muslin daei keluarganya.
Sehingga, di masa hidupnya ia dikenal sebagai tokoh muda yang taat dalam keagamaan.
Pada tahun 1910, R. Imam Soedjai’i, lanjutnya, masuk sekolah Holland Inlands School (HIS) sebuah sekolah elit berbahasa Belanda yang hanya boleh dimasuki kalangan ningrat.
Pada tahun 1917, ia kemudian melanjutkan ke B.A.S yang merupakan sebuah sekolah lanjutan pertama tehnik sampai lulus pada tahun 1924.
"putra keluarga penghulu yang notabene adalah pemuka agama Islam, ayah Imam Soedja’i yaitu Raden Niti Astro juga sering berhubungan dan bergaul dengan para aktivis Sarekat Islam yang merupakan sebuah organisasi pergerakan massif pertama di Hindia Belanda," cerita Mansur Hidayat pada MalangTIMES belum lama ini.
Lebih jauh Mansur menyampaikan, Lumajang saat itu masuk dalam Regentschaap Probolinggo, Sarekat Islam sudah berdiri sejak tahun 1914.
Hal ini menyebabkan Imam Soedja’i sering bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan Sarekat Islam sejak usia muda.
Dalam perkembangannya setelah lulus sekolah, Imam Soedja'i kemudian bekerja di sebuah perusahaan pelayaran Belanda.
Namun baru beberapa bulan bekerja, penghinaan orang-orang Belanda dengan menyebutnya 'Inlander' telah menyinggung perasaan kebangsaannya dan menyebabkan Imam Sedja’i muda berhenti dari pekerjaannya.
Setelah meninggalkan pekerjaannya, Imam Soedja’i muda kemudian mendalami ilmu pencak silat dari Eyang Kusumo yang merupakan keluarga besarnya yang tinggal di Bandung.
Setelah banyak belajar dari Eyang Kusumo, Imam Soedja’i muda kemudian melakukan pengembaraan di daerah Garut untuk lebih mendalami ilmu pencak silat dari perguruan-perguruan yang berbeda.
Dalam pengembaraan pencak silat ini, Imam Soedja’i kemudian melihat betapa kekuatan berbagai macam perguruan pencak silat begitu besar.
Namun satu sama lain tidak pernah bersatu, sehingga mudah di adu domba oleh Belanda.
"Kebetulan Garut disamping merupakan gudangnya perguruan pencak silat juga merupakan salah satu basis pergerakan Sarekat Islam yang sempat menjadi isu menggemparkan dengan adanya kasus Cimareme," terangnya.
Oleh karena, lanjut Mansyur, sejak muda Imam Soedja’i telah terbiasa bergaul dengan organisasi pergerakan ini.
Maka tidak mengherankan ia juga banyak berkomunikasi dengan para aktifis Sarekat Islam di wilayah ini.
Setelah beberapa tahun mengembara untuk menempa ilmu pencak silat, Imam Soedja’i muda kemudian kembali ke Lumajang dan mulai aktif dalam Partai Sarekat Islam Lumajang.
Ia kemudian mengorganisir pemuda untuk ikut dalam kancah pergerakan melawan Belanda yang kemudian direkrut dalam suatu wadah pencak silat.
Sejak awal mulai menggagas dan mendirikan perguruan pencak silat, Imam Soedja’i muda tidak mau mengkotakkan perguruan silatnya secara ekslusif.
Namun perguruan pencak silat ini dileburkan dalam sebuah organisasi pergerakan bernama Partai Sarekat Islam Lumajang yang resmi berdiri pada tanggal 1 Agustus 1927 dengan nama “Pencak Organisasi”.
Baca Juga : Dikukuhkan Jadi Guru Besar, Imam Santoso: Digital Agroindustri Sudah Menjadi Keniscayaan
Disamping pencak silat, Imam Soedja’i menurutnya juga aktif mendirikan wadah kaum muda dengan nama 'Sarekat Islam Afdelling Pandu/ SIAP' atau Pramuka di Lumajang pada tahun 1930-an.
Disamping aktif di Partai Sarekat Islam Indonesia Lumajang, Imam Soedja’i juga bersama-sama tokoh-tokoh yang lain seperti Sastrodikoro dari Parindra dan Nyono Parawoto.
Sehingga ketiganya disebut Tiga Serangkai dan mendirikan Majalah Soeara Desa di Lumajang.
Pada tahun 1933 Imam Soedja’i kemudian menikah dengan seorang gadis cantik bernama Siti Salamah, putri Mantri Polisi Tempeh bernama Darmoredjo yang kemudian dikaruniai delapan orang anak.
Iateri dan anak-anaknya tercinta itu pun senantiasa menemani Imam Soedja’i atau yang kemudian akrab di panggil Pak Dja’i untuk terus berjuang memberi kesadaran bangsanya melawan penjajah Belanda.
Pada tahun 1942 ketika tentara Jepang menduduki Hindia Belanda (Indonesia) banyak tokoh-tokoh pergerakan Indonesia seperti Bung Karno dan Bung Hatta melakukan politik kooperasi atau kerja sama dengan Belanda. Hal ini kemudian diikuti oleh tokoh-tokoh daerah seperti Pak Dja’i yang kemudian menjadi ketua Pusat Tenaga Rakyat/ PUTERA di Lumajang pada tahun 1943.
Setelah itu Pak Dja’i ikut pelatihan sebagai perwira PETA di Bogor dan kemudian ditempatkan sebagai komandan Batalyon (Daidancho) PETA di Malang.
Setelah PETA dibubarkan, Pak Dja’i kemudian memimpin para pejuang di Malang dalam wadah Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan memimpin perlucutan senjata dari tangan Jepang.
Pada 5 Oktober 1945 ketika dibentuk Tentara Keamanan Rakyat, Pak Dja’i diangkat sebagai komandan Divisi VII Untuk Suropati yang membawahi wilayah Karesidenan Malang- Besuki dengan pangkat Jendral Mayor.
Ketika pemilihan Panglima Besar TNI pada 12 Nopember 1945 di Yogyakarta, sebenarnya Pak Dja’i yang merupakan perwira tinggi TKR paling senior dan mempunyai pasukan besar dengan senjata paling lengkap merupakan salah satu calon kuat menjadi Panglima.
"Jadi Pak Djai ini pada dasarnya adalah tokoh yang paling senior dan sangat dihormati," tegas Mansur.
Namun saat itu, lanjut Mansyur, Pak Dja’i mohon izin untuk tidak mengikuti pemilihan yang sangat penting tersebut.
Lantaran ia memilih untuk berperang melawan Inggris di Surabaya yang sejak 10 Nopember di serang dengan membabi buta.
Akhirnya, dalam pemilihan tersebut kelompok PETA lebih menjagokan Kolonel Sudirman karena ketiadaan perwira senior untuk menyaingi kelompok KNIL yang menjagokan Letjen Urip Sumoharjo.
Ketika Agresi Militer Belanda I, Pak Dja’i memimpin perlawanan sebagai Panglima Divisi VII Untung Suropati sehingga mampu menyulitkan posisi Belanda.
Namun karena pertentangan dengan kelompok kiri yang dipimpin oleh Perdana Menteri Amir Syarifuddin dan saat itu ingin menguasai Tentara.
"Pak Dja’i yang merupakan salah satu penglima Divisi yang dikenal sebagai tokoh Islam tiba-tiba di non-aktifkan sebagai tentara pada awal tahun 1948," imbuhnya.
Namun Pak Dja’i menurutnya dengan besar hati menerima penonaktifan tersebut dan tidak mengadakan perlawanan.
Pak Dja’i sadar bahwa kepentingan bangsa yang ia perjuangkan sejak muda lebih besar dari pada kepentingan pribadi dirinya.
Setelah berhenti menjadi tentara, Pak Dja’i menurutnya kembali pulang ke rumah kakaknya di Rejotangan Tulungagung dan bekerja serabutan seperti membuat sabun, jualan makanan dan termasuk sebagai kusir dokar.
"Tidak ada rasa sakit hati meskipun ia kehilangan jabatan karena fitnah," cerita Mansur lagi.
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB), pada tahun 1950 kembali ke Lumajang dan tetap aktif di bidang kemasyarakat terutama membina anak-anak muda dalam wadah “Pencak Organisasi/PO”.
Pada hari Jum’at tanggal 29 Januari 1953, Pak Dja’i kemudian meninggal secara mendadak dan kemudian dimakamkan sebagai rakyat biasa di makam Jogoyudan Lumajang.