Oleh: Ditri Ayu R.A.L*
MENYAMBUT Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), yang mulai diberlakukan akhir tahun ini, pemerintah Indonesia mengadakan impor tenaga kerja asing secara massif. Alih-alih menguatkan ekonomi dalam negeri dengan meningkatkan partisipasi masyarakat lokal di dunia kerja, pemerintah justru mengimpor tenaga kerja asing besar-besaran dengan alasan untuk meningkatkan iklim investasi di Indonesia.
Tidak hanya itu, pemerintah pun memberikan keringanan terhadap para tenaga kerja asing tersebut dalam hal penggunaan bahasa. Presiden secara khusus meminta agar syarat bisa berbahasa Indonesia dihapuskan.
Penghapusan syarat ini tentu meresahkan, khususnya bagi masyarakat lokal. Tanpa tenaga kerja asing saja, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan sangat ketat. Apalagi dengan keberadaan tenaga kerja asing yang tidak harus menggunakan bahasa Indonesia di lingkungan kerja? Hal ini pasti akan menimbulkan masalah lain di kemudian hari. Dan jika ditilik lebih dalam, penghapusan syarat berbahasa Indonesia ini justru menjadi bukti ketergantungan pemerintah terhadap asing.
Terbukti dengan keberpihakan pemerintah terhadap segala sesuatu yang berasal dari asing dalam bentuk kebijakan. Alih-alih peduli pada masyarakat sebagaimana janji-janji yang diumbar saat kampanye, pemerintah justru memupus harapan rakyat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak di negeri mereka sendiri.
Maka jelaslah ini adalah bukti ketidakseriusan pemerintah dalam upayanya menyejahterakan rakyat. Tidak hanya itu, hal ini juga menjadi bukti bahwa sejatinya pemerintah tunduk di bawah pengaruh asing dengan memberikan segenap kemudahan termasuk pada tenaga kerjanya.
Sejatinya, penghapusan syarat bisa berbahasa Indonesia bagi tenaga kerja asing hanyalah salah satu dampak dari ketidakseriusan pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya. Lebih dari itu, pemerintah justru menggunakan sistem yang justru digunakan untuk membuat rakyat ini semakin menderita baik secara ekonomi maupun sosial, yakni sistem Kapitalisme.
Maka, sudah saatnya sistem ini diganti dengan sistem yang mampu menyejahterakan. Bukan sekedar mengganti kebijakan namun dalam bingkai yang sama. (*)
*Penulis adalah Mahasiswa di Malang