JATIMTIMES - Derap langkah wisatawan yang menyusuri lorong Kampung Heritage Kajoetangan kerap terhenti di sebuah rumah lawas yang tampil sederhana, namun memancarkan daya tarik kuat. Bukan papan nama besar yang memikat perhatian, melainkan suasana tempo dulu yang masih terasa utuh di setiap sudut bangunan.
Rumah itu kini dikenal sebagai Kopi Hamur Mbah Ndut. Bangunan tersebut merupakan rumah keluarga yang telah berdiri sejak awal abad ke-20. Hingga kini, wujud aslinya nyaris tak berubah.
Baca Juga : Tak Sekadar Pesta, Ini Makanan dan Minuman Pembawa Keberuntungan Saat Tahun Baru di Berbagai Negara
Daun pintu, jendela, lantai, hingga susunan dindingnya masih mempertahankan karakter rumah tinggal khas era kolonial, menjadikannya salah satu penanda sejarah hidup di kawasan Kajoetangan.
Pemilik rumah, Rudi, mengatakan bahwa rumah tersebut dibangun sekitar tahun 1923 dan diwariskan secara turun-temurun. Ketahanan bangunan menjadi bukti kualitas teknik konstruksi masa lalu yang mengandalkan material alam dan perhitungan matang. “Strukturnya masih sama sejak dulu. Yang diganti hanya atap karena sudah dimakan usia, tapi bentuknya tetap mengikuti aslinya,” ungkap Rudi saat ditemui, Sabtu (27/12/2025).
Arsitektur atap pelana kuda yang digunakan menjadi ciri kuat bangunan era 1920-an. Fondasi rumah tersusun dari batu kali yang dipadatkan dengan campuran semen merah dan gamping, sementara bata merah disusun berdiri melingkar, teknik yang membuat bangunan tetap kokoh meski telah melewati berbagai perubahan zaman.
Menariknya, tembok rumah yang tampak lembap hingga ketinggian sekitar satu meter justru menjadi penanda keunggulan material tradisional. Air yang terserap dari bagian bawah bangunan tidak membuat struktur rapuh, melainkan tetap stabil hingga kini.

Seiring penetapan Kajoetangan sebagai Kampung Heritage pada 2018, Rudi melihat peluang untuk menjadikan rumahnya sebagai ruang singgah bagi wisatawan. Awalnya, rumah tersebut hanya difungsikan sebagai tempat beristirahat sederhana bagi pengunjung yang lelah berkeliling. “Kami sediakan tempat duduk dan minum saja. Konsepnya lebih ke tempat mampir,” imbuh Rudi.
Baca Juga : Angkutan Penyeberangan Masih Longgar, ASDP Dorong Perencanaan Arus Balik Sejak Dini
Dari konsep itulah Kopi Hamur Mbah Ndut lahir. Nama tersebut diambil dari panggilan akrab ibunya di lingkungan kampung, sekaligus menjadi identitas yang lekat dengan sejarah keluarga.
Kini, rumah tua itu tak hanya menjadi tempat menikmati kopi tanpa gula, tetapi juga ruang pengalaman. Gelas-gelas lawas peninggalan keluarga sengaja digunakan untuk menyajikan minuman, menghadirkan nuansa autentik yang justru dicari wisatawan masa kini.
Di tengah geliat wisata heritage, Kopi Hamur Mbah Ndut menjadi rumah tua tak sekadar disimpan sebagai artefak, tetapi dihidupkan kembali sebagai ruang perjumpaan antara sejarah, budaya, dan wisata.
