JATIMTIMES - Abad ketujuh belas merupakan masa penuh gejolak dalam sejarah Jawa. Setelah wafatnya Amangkurat I pada Juli 1677 di Tegalarum, kekuasaan Mataram diwariskan kepada putranya, Pangeran Rahmat, yang kelak bergelar Amangkurat II. Namun, warisan itu datang bukan dalam bentuk mahkota gemilang, melainkan abu dan bara pemberontakan.
Di timur Jawa, Trunajaya, bangsawan Madura yang pernah menjadi bawahan Mataram, telah mengobarkan perang besar melawan kerajaan.
Baca Juga : Jelang Nataru, Pembangunan Jembatan dan Trotoar di Depan SMPN 3 Kota Batu Dikebut
Sejak 1674, gelombang pemberontakan menjalar dari pesisir timur menuju jantung kekuasaan. Trunajaya mempersatukan pasukan Madura, Makassar, dan sejumlah bangsawan pesisiran yang kecewa dengan kebijakan Mataram.
Mereka bukan hanya menuntut keadilan sosial dan ekonomi, tetapi juga menantang hegemoni politik raja yang dianggap lalim. Dalam konteks inilah muncul nama besar Karaeng Galesong, seorang panglima Makassar yang menjadi sekutu Trunajaya sekaligus simbol perlawanan maritim terhadap kekuasaan Jawa pedalaman.

Karaeng Galesong: Kesatria Makassar di Tanah Jawa
Galesong, atau Karaeng Galesong, adalah bekas panglima dari Kerajaan Gowa yang kehilangan kedaulatan setelah kekalahan besar melawan Kompeni Belanda pada 1669. Bersama sisa pasukannya, ia meninggalkan tanah kelahirannya dan berlayar ke Jawa.
Dari titik inilah sejarah mencatat pertemuannya dengan Raden Trunajaya, bangsawan Madura yang tengah memimpin perlawanan terhadap Mataram dan Belanda. Aliansi keduanya menandai pertemuan dua arus pemberontakan besar dalam sejarah Nusantara: dendam maritim Makassar terhadap kekuasaan kolonial dan perlawanan agraris Jawa terhadap tirani kerajaan.
Karaeng Galesong, yang nama aslinya I Manindori, adalah putra bangsawan Gowa dari permaisuri I Lo’mo Tobo. Sejak muda, ia tumbuh dalam lingkungan militer dan politik yang sarat dengan semangat juang ayahandanya, Sultan Hasanuddin, yang dikenal luas sebagai Ayam Jantan dari Timur. Gelar Karaeng Galesong dan Karaeng Tojeng disematkan kepadanya sebagai tanda status dan penguasaan atas wilayah Galesong, sebuah daerah subur di selatan Gowa yang menjadi jantung logistik kerajaan. Sejak belia, ia telah memimpin pasukan dalam berbagai ekspedisi militer kerajaan dan dikenal karena keberaniannya di medan perang serta kepiawaiannya memimpin armada laut.
Namun kejayaan itu runtuh seketika setelah Gowa dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya pada 1669. Perjanjian itu menandai tunduknya Gowa pada kekuasaan Belanda dan sekutu-sekutunya, terutama Kerajaan Bone di bawah Arung Palakka. Bagi Karaeng Galesong, perjanjian tersebut adalah penghinaan terhadap kehormatan bangsanya. Ia menolak tunduk dan memilih meninggalkan tanah kelahirannya. Empat tahun kemudian, pada 1671, ia memutuskan berlayar ke barat bersama keluarga dan pengikut setianya. Armada kecilnya menuju Banten bukan dalam rangka pengasingan, melainkan strategi untuk melanjutkan perlawanan terhadap Belanda di tanah rantau.
Kedatangannya di Banten pada Oktober 1671 disambut oleh Sultan Ageng Tirtayasa, penguasa yang pada masa itu masih mempertahankan kedaulatan kerajaan dari tekanan ekonomi dan militer Kompeni Belanda. Sultan Ageng menilai Galesong sebagai sekutu berharga. Selama beberapa tahun, pasukan Makassar di bawah Galesong turut memperkuat pertahanan Banten dari serangan VOC.
Namun, gelombang sejarah bergerak cepat. Situasi politik Jawa berubah drastis ketika muncul utusan dari Raden Kajoran, bangsawan Mataram sekaligus mertua dari Raden Trunajaya, yang datang memohon bantuan kepada Galesong. Raden Kajoran mengabarkan bahwa menantunya tengah bersiap mengguncang kekuasaan Mataram yang dianggap tiran dan telah dikuasai Belanda.
Sebagai seorang bangsawan yang pernah menyaksikan kehancuran kerajaannya akibat tipu daya kolonial, Galesong merasakan kesamaan nasib. Ia memahami bahwa persekutuan dengan Trunajaya berarti membuka perang di dua pihak sekaligus, melawan Kompeni dan melawan kerajaan terbesar di Jawa. Namun semangatnya untuk menebus kehormatan Makassar membuatnya menerima ajakan itu. Dengan keputusan tersebut, ia melangkah ke panggung besar sejarah Jawa.
Untuk mempererat aliansi, Trunajaya menikahkan Galesong dengan keponakannya, seorang putri bangsawan Madura. Pernikahan itu bukan sekadar ikatan darah, tetapi juga perjanjian politik dan militer. Galesong memperoleh wilayah kekuasaan di pesisir timur Jawa dan mendapat mandat untuk merebut Gresik serta Surabaya. Dari perkawinan ini lahirlah seorang anak pada Januari 1677, menandai betapa persekutuan mereka telah mengakar, bukan sekadar taktik sesaat.
Pasukan gabungan Madura dan Makassar segera melancarkan serangan ke berbagai kota pelabuhan penting di jalur utara Jawa Timur. Dalam laporan-laporan Belanda dan Melayu, mereka disebut menyerang Pasuruan, Pajarakan, Gombong, dan Gerongan secara brutal dan sistematis. Empat pelabuhan itu dibakar hingga habis. Gresik menjadi sasaran berikutnya.
Penduduknya sempat menyiapkan pagar bambu untuk bertahan, tetapi tak mampu menahan gelombang serangan. Gresik jatuh dan terbakar, disusul Surabaya yang ditinggalkan penduduknya dalam ketakutan. Kota-kota pesisir menjadi kosong, sementara hutan dan pegunungan berubah menjadi tempat pelarian.
Sumber-sumber Eropa mencatat bahwa kekuatan gabungan ini terdiri atas delapan ratus orang Makassar, tiga ratus Bugis, dan seribu orang Melayu di bawah pimpinan Encik Amar. Mereka datang dengan sekitar seratus lima puluh perahu. Para pemimpinnya terdiri dari bangsawan besar seperti Karaeng Bonto Marannu, Karaeng Galesong, Karaeng Panaragang, Daeng Mammangung, Daeng Manggappa, dan Daeng Lomo Tibon. Kehadiran mereka menunjukkan bahwa pemberontakan ini bukan sekadar aksi perampokan, tetapi persekutuan militer antarbangsa yang memiliki visi politik. Bahkan seorang pangeran muda dari Wasya turut serta, menegaskan bahwa perlawanan terhadap Belanda dan Mataram telah menjadi isu kehormatan lintas kerajaan di Nusantara bagian timur.
Faktor lain yang memperkuat legitimasi pemberontakan adalah adanya surat dan cap resmi dari Pangeran Adipati Anom, putra mahkota Mataram yang kelak bergelar Amangkurat II. Dalam sistem politik Jawa, cap kerajaan berarti perintah sah dari pewaris takhta. Karena itu, banyak adipati di Jawa enggan menentang pemberontakan tersebut. Sebagian bahkan bergabung, percaya bahwa mereka berjuang untuk putra mahkota, bukan melawan raja sah. Situasi ini memperparah kekacauan di tubuh Mataram dan mempercepat kejatuhan Amangkurat I.
Dalam catatan Belanda, persekutuan antara Trunajaya dan Galesong terlihat sangat terorganisir. Trunajaya menguasai jalur pedalaman, sementara Galesong menguasai laut dan pesisir. Mereka memadukan dua tradisi perlawanan: agraris dan maritim, Jawa dan Makassar, daratan dan lautan. Di bawah komando keduanya, pemberontakan itu menjelma menjadi gerakan Nusantara pertama yang menentang hegemoni kekuasaan kolonial sekaligus kekuasaan tradisional yang dianggap menindas.
Namun seperti api yang menyala di dua arah, persekutuan itu pada akhirnya terbakar oleh kecurigaan dan ambisi masing-masing.

Dari Tegal ke Jepara: Kelahiran Kembali Seorang Raja
Musim kemarau tahun 1677 menjadi titik balik sejarah Mataram. Setelah ibu kota Plered direbut oleh pasukan Trunajaya dan orang-orang Makassar di bawah pimpinan Karaeng Galesong, Sunan Amangkurat I melarikan diri ke arah barat. Ia meninggalkan keratonnya yang porak-poranda, membawa serta sebagian keluarga dan perbendaharaan yang tersisa. Pelarian itu menandai akhir kekuasaan mutlaknya sebagai raja yang pernah ditakuti dan disegani. Catatan Residen VOC Pieter van Goens menyebut peristiwa itu sebagai pelarian dalam kehinaan. Sementara dalam Babad Tanah Jawi, kisah itu digambarkan sebagai perjalanan seorang raja yang kehilangan wahyu keprabon.
Dalam perjalanan menuju Tegal, Amangkurat I semakin lemah. Penyakit yang dideritanya semakin parah. Catatan Belanda menyebut gejala muntah darah, sementara Babad Tanah Jawi mengisahkan dengan nuansa spiritual: sang raja bermimpi melihat seekor naga putih keluar dari tubuhnya, pertanda bahwa wahyu ilahi telah beralih kepada putranya, Raden Mas Rahmat.
Raden Mas Rahmat, putra sulung dari Amangkurat I dan Kanjeng Ratu Pangayun, lahir dari dua garis darah besar. Dari ayahnya ia mewarisi trah Mataram dan Majapahit, sedangkan dari ibunya mengalir darah bangsawan dan ulama Surabaya, keturunan langsung Sunan Ampel melalui Pangeran Pekik. Ibunya wafat empat puluh hari setelah melahirkan dan dimakamkan di Giriloyo. Sejak kecil Rahmat tumbuh di lingkungan istana yang keras, menyaksikan bagaimana ayahnya menyingkirkan paman, kakek, dan para pejabat yang dianggap berbahaya. Tragedi paling kelam adalah eksekusi Pangeran Pekik, kakeknya sendiri, yang diperintahkan Amangkurat I sekitar tahun 1670. Dari situlah dendam politik dan moral mulai tumbuh di hati sang putra mahkota.
Hubungan Rahmat dengan ayahnya dipenuhi ketegangan dan diam yang menakutkan. Dalam catatan Babad Tanah Jawi, Rahmat disebut sebagai sosok yang pendiam, licin, dan penuh perhitungan. Ia telah menjalin hubungan rahasia dengan Trunajaya sebelum pemberontakan pecah. Meski keterlibatannya tidak pernah terbukti secara langsung, ia dituduh membiarkan serangan ke Plered terjadi tanpa perlawanan berarti. Dalam pandangan banyak sejarawan, Rahmat adalah raja dalam bayangan yang menanti saat tepat untuk mengambil alih takhta.
Ketika Amangkurat I jatuh sakit di Tegal, Raden Mas Rahmat mulai menunjukkan kendali. Dalam Babad Tanah Jawi digambarkan adegan perpisahan yang penuh isyarat. Sang raja berpesan, “Anakku, engkau kelak menjadi raja. Tetapi ingat, dosa-dosaku adalah warisanmu.” Rahmat menjawab dengan tenang, “Kekuasaan bukan warisan. Aku hanya mengambil yang tidak sanggup lagi engkau pikul.” Kalimat itu menjadi simbol peralihan kekuasaan yang dingin dan penuh bayangan dendam.
Pada 13 Juli 1677, Amangkurat I wafat di desa Tegalarum, selatan Tegal. Jenazahnya tidak dimakamkan di Imogiri, kompleks makam para raja Mataram, melainkan di Pasarean Tegalwangi, Cirebon. Dalam catatan VOC disebutkan bahwa keputusan ini diambil karena situasi keamanan tidak memungkinkan. Namun dalam tafsir tradisi Jawa, pengasingan itu adalah simbol pencabutan restu ilahi atas raja yang telah menumpahkan darah bangsawan dan ulama. Makam Tegalwangi pun menjadi monumen dosa dan penebusan.
Setelah kematian ayahnya, Raden Mas Rahmat memproklamasikan diri sebagai Sunan Amangkurat II. Namun gelar itu belum cukup untuk menjamin legitimasi. Ia harus mencari pengakuan dari dua kekuatan besar: para bangsawan Jawa dan Kompeni Belanda. Dalam langkah awalnya sebagai raja, ia bergerak dari Tegal menuju pesisir utara. Di sinilah lahir kembali Mataram yang baru, kerajaan yang dibangun dari reruntuhan dan persekongkolan.
Menurut Babad Tanah Jawi, Amangkurat II mengumpulkan pasukan pengawal di Tegal. Barisan terdepan dipimpin oleh prajurit Kompeni Belanda, pasukan modern berdisiplin tinggi dengan tambur yang ditabuh serempak. Di belakang mereka berjalan para adipati pengiring, sementara sang prabu menempati posisi paling belakang bersama para permaisuri. Prosesi itu bukan sekadar perjalanan, tetapi pertunjukan simbolik tentang tatanan kekuasaan. Raja baru tampil sebagai poros antara bangsawan Jawa dan kekuatan kolonial Eropa.
Rombongan kemudian berhenti di Pekalongan, tempat Amangkurat II merekrut tiga ratus penduduk lokal sebagai prajurit yang disebut jurit Judipati. Mereka adalah simbol partisipasi rakyat pesisiran dalam kebangkitan kembali Mataram. Dari Pekalongan, perjalanan dilanjutkan lewat laut menuju Jepara, pelabuhan utama di pantai utara Jawa.
Setibanya di muara Jepara, Amangkurat II disambut oleh Amral, perwira Kompeni Belanda yang menjadi sekutunya, serta Ki Wangsa Dipa, pejabat pesisir yang tetap setia. Dentuman meriam dan tembakan kehormatan mengiringi kedatangan sang raja muda. Di antara asap mesiu dan suara tambur, berlangsung sebuah peristiwa simbolik: kebangkitan Mataram dalam wajah yang baru, dengan Belanda sebagai sekutu yang sekaligus penentu arah sejarahnya.
Dari sinilah dimulai babak baru politik Jawa. Amangkurat II bukan hanya pewaris mahkota, tetapi juga pewaris jaringan persekutuan antara raja dan kolonial. Ia mewarisi dosa politik ayahnya sekaligus menciptakan struktur baru yang lebih bergantung pada kekuatan luar. Dalam konteks inilah kemudian muncul misi diplomatik Karaeng Naba untuk membujuk Karaeng Galesong agar tidak melawan Mataram. Kisah itu menjadi bagian dari drama besar abad ketujuh belas, ketika perang, diplomasi, dan keluarga bersilang dalam pusaran sejarah Nusantara.

Politik Pesisiran dan Saudara yang Terpisah
Langkah pertama Amangkurat II sebagai raja adalah menata ulang struktur kekuasaan di pesisir utara. Ia mengangkat Ki Marta Jaya menjadi Tumenggung Endra Nata di Demak, Ki Wangsa Dipa menjadi Adipati Marta Pura di Tuban, dan sejumlah pejabat baru di Surabaya dan Jepara.
Penempatan tokoh-tokoh lokal di jalur perdagangan strategis ini memperlihatkan kecerdikan politik sang raja. Wilayah pesisir utara merupakan simpul ekonomi dan logistik penting, sekaligus jalur perekrutan prajurit dan jaringan perniagaan yang melibatkan pedagang asing. Dengan mengikat para bangsawan pesisiran ke dalam lingkar kekuasaan pusat, Amangkurat II tidak hanya memperkuat basis militernya, tetapi juga meneguhkan legitimasi politiknya yang baru.
Namun, stabilitas yang diupayakan itu segera diuji. Di timur, Trunajaya memperkuat basis kekuasaannya di Kediri, didampingi panglima-panglima kuat seperti Dandang Wacana, Mangku Yuda, Darma Yuda, dan sang menantu sendiri, Karaeng Galesong, yang bahkan diangkat sebagai Prabu Anom. Kediri menjadi ibu kota baru bagi perlawanan, tempat dua kekuatan besar bertemu: api Jawa dan baja Makassar.
Dalam suasana perang yang semakin menajam, Amangkurat II menerima kabar bahwa Karaeng Galesong memiliki kerabat dekat yang kini berpihak kepada Mataram. Ia adalah Karaeng Daeng Naba, seorang mayor dalam pasukan Kompeni yang bertugas mendampingi operasi militer kerajaan. Informasi itu disampaikan oleh Amral, perwira Belanda yang menjadi penghubung utama antara Mataram dan VOC.
Karaeng Daeng Naba berasal dari keluarga bangsawan Bugis-Makassar. Ia adalah ponakan Karaeng Galesong, putra Sultan Hasanuddin dari Kerajaan Gowa. Setelah Gowa jatuh ke tangan Kompeni Belanda pada tahun 1669, Naba meninggalkan tanah kelahirannya dan berkelana ke Jawa. Di sana ia memasuki pusaran politik dan militer Mataram pada masa pemberontakan Trunajaya antara tahun 1670 hingga 1679.
Berbeda dengan saudaranya, Galesong, yang bersekutu dengan Trunajaya dalam perang melawan Mataram dan VOC, Karaeng Naba justru memilih berpihak kepada Amangkurat II. Ia membantu menegakkan kembali wibawa kerajaan dan menjaga keseimbangan hubungan dengan Kompeni. Keputusan ini menunjukkan perbedaan jalan hidup dua bangsawan Makassar yang sama-sama dibentuk oleh luka sejarah dan nasib pengasingan.
Mengetahui hubungan darah antara keduanya, Amangkurat II memutuskan untuk mengirim Karaeng Naba sebagai utusan rahasia ke Kediri guna membujuk pamannya agar menghentikan perlawanan. Ia diperintahkan untuk tidak membawa pengawal dan menyamar sebagai rakyat biasa. Untuk memperkuat misinya, Naba ditemani oleh Adipati Martalaya, Adipati Martapura, dan Mirna Gati, seorang penerjemah yang menguasai lima bahasa.
Perjalanan itu bukan sekadar perjalanan diplomatik, melainkan juga perjalanan batin seorang bangsawan yang terbelah antara kesetiaan dan darah dagingnya sendiri. Dari Jepara, mereka bergerak ke arah selatan, menembus wilayah yang dikuasai pemberontak. Dalam suasana tegang itu, Babad Tanah Jawi menuturkan sebuah peristiwa mengharukan. Di sekitar Kediri, rombongan bertemu seorang emban Makassar, pengawal setia Galesong. Begitu melihat Naba, sang emban langsung berlutut dan merangkul kakinya sambil menangis. Tangisan itu menjadi simbol pengakuan akan darah dan asal-usul yang sama di tengah dunia yang terkoyak oleh perang, dendam, dan kesetiaan yang terpecah.

Pertemuan Dua Darah
Keesokan harinya, Karaeng Naba diantarkan oleh emban itu ke kediaman Karaeng Galesong. Pertemuan dua bersaudara itu berlangsung penuh haru. Mereka telah lama terpisah sejak masa kecil akibat perang Makassar, dan kini dipertemukan kembali di tanah Jawa, tetapi di pihak yang saling berhadapan.
Dalam pertemuan itu, Naba menyampaikan pesan sang raja:
“Adikku, aku datang membawa titah Sang Prabu Mataram. Beliau sangat menyayangkan jika darah Makassar tumpah sesama saudara. Kembalilah, ikutlah aku mengabdi pada raja. Mataram membutuhkan kesetiaanmu, bukan pedangmu.”
Galesong menunduk, lalu menjawab dengan tenang,
Baca Juga : 5 Tempat Terbaik untuk Menyaksikan Kembang Api Tahun Baru 2026 di Surabaya
“Kakang, aku tahu engkau datang dengan niat baik. Tapi Trunajaya telah memperlakukanku seperti saudara. Aku tak mungkin menghianatinya. Jika nanti Mataram dan Kediri bertempur, biarlah aku membantu dari belakang, menyerang musuh dari sisi lain.”
Jawaban itu memperlihatkan dilema yang dalam. Galesong bukan sekadar prajurit bayaran. Ia adalah tokoh yang hidup di antara dua kesetiaan, pada darah Makassar yang berjuang melawan VOC dan pada tatanan Jawa yang menawarkan jalan damai. Namun sejarah tidak memberi ruang bagi mereka yang berdiri di tengah.
Setelah satu malam bermalam di rumah Galesong, rombongan Naba memutuskan kembali ke Jepara. Di perjalanan, mereka disergap oleh dua ratus prajurit Madura. Namun berkat kesaktian dan keberanian mereka, keempat utusan itu berhasil menyeberangi bengawan yang sedang banjir dan selamat tiba di Jepara.

Trunajaya dan Bayang-bayang Pengkhianatan
Sementara itu, di Kediri, benih kecurigaan mulai tumbuh dalam hati Trunajaya. Ia mendengar kabar bahwa Galesong diam-diam menjalin kontak dengan utusan Mataram. Dalam dunia politik Jawa abad ketujuh belas, kecurigaan seperti itu berarti hukuman mati.
Trunajaya marah besar. Babad Tanah Jawi menuturkan bahwa ia memutuskan untuk menghabisi Galesong dengan tangannya sendiri. Ia menyeret panglima Makassar itu ke kebun belakang, membunuhnya secara diam-diam, lalu mengubur jenazahnya di dalam sumur.
Kematian Galesong bukan sekadar akhir seorang prajurit, tetapi juga simbol kehancuran aliansi besar antara Makassar dan Madura. Sejak saat itu, pasukan Trunajaya kehilangan kekuatan maritimnya. Persekutuan yang pernah menaklukkan Surabaya dan mengguncang Mataram itu hancur oleh rasa tidak percaya.

Makam di Ngantang: Jejak yang Tertinggal
Menurut tradisi lisan masyarakat Ngantang, makam Karaeng Galesong berada di Desa Sumberagung, Kecamatan Ngantang, Kabupaten Malang. Bentuknya unik, tidak memanjang seperti makam pada umumnya, melainkan menyerupai sumur kecil. Bentuk ini menguatkan keterangan dalam Babad Tanah Jawi yang menyebut bahwa Galesong dikubur dalam sumur oleh Trunajaya.
Lokasi Ngantang pada abad ketujuh belas masih termasuk wilayah Kediri, pusat kekuasaan Trunajaya. Daerah ini merupakan jalur strategis yang menghubungkan pedalaman dengan pesisir utara. Sejarah lisan menyebut, penduduk sekitar masih menjaga sumur itu sebagai makam keramat, mengenangnya bukan sebagai pengkhianat, tetapi sebagai ksatria Makassar yang gugur di tanah Jawa, jauh dari kampung halamannya.

Antara Kesetiaan dan Politik
Tragedi Karaeng Galesong memperlihatkan wajah lain dari perang Jawa abad ketujuh belas. Perang bukan hanya pertarungan senjata, tetapi juga arena diplomasi, pengkhianatan, dan pilihan moral yang rumit. Galesong terjepit di antara dua kekuasaan: kesetiaan pada Trunajaya yang memberinya tempat dan kehormatan, serta ikatan darah dan perintah yang datang dari Mataram melalui saudaranya.
Dalam konteks politik Mataram, peristiwa ini menunjukkan bagaimana Amangkurat II menggunakan diplomasi dan jaringan personal untuk mengurai simpul pemberontakan. Utusan seperti Kraeng Naba bukan sekadar alat politik, tetapi simbol kebijakan rekonsiliasi yang berakar pada budaya Jawa—mendekati musuh melalui silaturahmi, bukan sekadar kekerasan.
Namun peristiwa ini juga memperlihatkan bahwa kekuasaan pada masa itu berdiri di atas kerapuhan moral. Trunajaya, sang pemberontak yang semula menentang tirani, akhirnya melakukan kekerasan yang sama terhadap sekutunya sendiri. Dalam kematian Galesong, kita melihat cermin dari perang yang kehilangan arah, perang yang awalnya diperjuangkan atas nama keadilan tetapi berakhir dengan dendam dan pengkhianatan.
Setelah pemberontakan Trunajaya berakhir, jejak keluarga Karaeng Galesong tidak lenyap dari panggung sejarah Jawa. Dari darah yang sama, Karaeng Daeng Naba, yang berpihak kepada Amangkurat II, membantu menumpas pemberontakan dan memulihkan kekuasaan Mataram. Atas jasa-jasanya, sang raja menikahkan Karaeng Naba dengan putri Tumenggung Sontoyudo II dan menganugerahinya tanah perdikan di Mlati, Sleman, Yogyakarta.
Setelah perang usai, Karaeng Naba mengganti namanya menjadi Kyai Ageng Sulaiman, sebuah penanda integrasi sosial dan budaya antara bangsawan Bugis-Makassar dan masyarakat Jawa. Dari pernikahan inilah lahir Kyai Honggoyudo, yang kemudian menjadi ayah dari Raden Tumenggung Sosronegoro I. Sosronegoro I menurunkan Raden Tumenggung Sosrokusumo I, yang dikenal dengan gelar Kanjeng Jimat, Bupati Berbek pertama di wilayah Nganjuk.
Kanjeng Jimat menjadi simbol persatuan tiga warisan besar: Gowa (Bima), Majapahit, dan Mataram. Ia bukan sekadar pejabat pemerintahan, tetapi juga tokoh spiritual yang dihormati karena setiap ucapannya diyakini memiliki kekuatan. Di bawah kepemimpinannya, Islam berkembang pesat di Berbek dan Nganjuk, dua wilayah penting dalam lanskap politik Jawa Timur.
Adiknya, Raden Tumenggung Sosrodirejo, kemudian menjabat sebagai Bupati Berbek pada 1832 hingga 1843. Dari garis keturunannya lahir cucunya, Kanjeng Pangeran Harya Warsokusumo, yang lahir dengan nama Raden Mas Sumitro. Ayahnya, Bendara Raden Mas Mayor Aryo Suryoputro, merupakan putra KGPAA Mangkunegara III, sedangkan ibunya, Raden Ayu Condrodiwati, putri Sosrodirejo, mewariskan kearifan lokal Berbek. Perpaduan dua garis keturunan ini, antara tradisi militer dan pemerintahan Mangkunegaran serta aristokrasi Jawa Timur, menegaskan kesinambungan pengaruh keluarga Karaeng Naba dalam sejarah pemerintahan lokal di wilayah tersebut.
Selain garis Berbek, keturunan Karaeng Daeng Naba juga membentuk Dinasti Prawirodirjan, yang memainkan peran penting dalam pembentukan Kesultanan Yogyakarta. Salah satu tokoh sentral dari garis ini adalah Kyai Ageng Derpoyudo, nama lahir Raden Mas Panji Sumaatmadja, putra Kyai Ageng Wiroyudo dan Sureng Rono. Ia memiliki beberapa saudara: Nyai Damis Rembang, Nyai Sontoyudo, dan Nyai Honggoyudo.
Kyai Ageng Derpoyudo merupakan keturunan Mataram dari jalur Ratu Mas Sigit, adik Sultan Agung. Pada masa mudanya ia menjadi prajurit Keraton Surakarta, tetapi kemudian berpihak kepada Pangeran Mangkubumi dalam Perang Suksesi Jawa III (1749–1755). Kesetiaannya membuatnya menjadi salah satu panglima kepercayaan Mangkubumi dan kelak menjadi mertuanya.
Ia menikah dengan Roro Widuri, putri Kyai Ageng Sulaiman alias Karaeng Naba, yang kemudian bergelar Nyai Ageng Derpoyudo. Pernikahan ini menjadi simbol penyatuan dua kebudayaan besar, Bugis Makassar dan Jawa, dalam satu garis keturunan bangsawan.
Dari pernikahan tersebut lahirlah beberapa tokoh penting dalam sejarah sosial dan politik Jawa, salah satunya Roro Sulastri, yang dikenal sebagai Ratu Ageng Tegalrejo. Ia menikah dengan Pangeran Mangkubumi, yang kelak bergelar Sultan Hamengkubuwono I, dan melahirkan Sultan Hamengkubuwono II. Dengan demikian, darah Karaeng Naba mengalir dalam tubuh raja-raja Yogyakarta.
Di masa tuanya, Ratu Ageng Tegalrejo dikenal sebagai sosok spiritual dan pengasuh Pangeran Diponegoro, cucu buyutnya yang kelak memimpin Perang Jawa 1825–1830. Dalam asuhannya, Diponegoro tumbuh dalam tradisi keislaman yang teguh, disiplin moral yang tinggi, dan kesadaran spiritual yang mendalam — semua warisan dari tradisi Bugis-Makassar yang melebur dalam kebijaksanaan Jawa.
Selain Ratu Ageng Tegalrejo, pasangan Derpoyudo dan Roro Widuri juga menurunkan Raden Prawiromantri (bergelar Sedo Perang), Kyai Mas Mertamenggala (atau Raden Kertomenggolo/Kertodirjo I), serta Raden Ronggo Prawirodirjo I, sosok penting dalam sejarah militer Kesultanan Yogyakarta dan wilayah Madiun.
Raden Ronggo Prawirodirjo I, putra Kyai Ageng Derpoyudo dan Nyai Ageng Derpoyudo, dikenal sebagai panglima perang kepercayaan Sultan Hamengkubuwono I. Dalam Perang Suksesi Jawa III, ia dikenal dengan nama Kiai Wirosentiko, panglima tangguh yang bersama Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) memimpin perlawanan terhadap VOC dan pasukan Surakarta.
Ia memimpin penaklukan wilayah strategis seperti Madiun, Ponorogo, dan Magetan. Setelah Perjanjian Giyanti (1755), Raden Ronggo diangkat menjadi Bupati Wedana Mancanegara Timur, berkedudukan di Madiun. Dalam masa jabatannya, ia berperan besar dalam pembangunan Kraton Yogyakarta, Taman Sari, Benteng Baluwarti, serta Bangsal Kamandungan, bangunan tertua di kompleks keraton. Keahliannya dalam strategi perang dan arsitektur menunjukkan kelengkapan dirinya sebagai pemimpin militer sekaligus perancang peradaban.
Raden Ronggo Prawirodirjo I dikenal dekat dengan rakyat. Karismanya membuat banyak warga Madiun ikut bergabung dalam perjuangan Mangkubumi dan Sambernyawa. Dari garis keturunannya lahir tokoh-tokoh penting seperti Raden Ronggo Prawirodirjo III dan Sentot Alibasya Prawirodirjo, dua panglima besar yang kelak berjuang di bawah komando Pangeran Diponegoro.
Ia wafat pada tahun 1784 dan dimakamkan di Makam Taman, Madiun, di sebelah barat Masjid Kuno Taman. Sultan Hamengkubuwono I kemudian menetapkan Desa Taman sebagai desa perdikan, sebagai penghormatan atas jasa besar Raden Ronggo dalam pendirian Kesultanan Yogyakarta. Makamnya menjadi lambang penghargaan bagi leluhur yang berjasa besar, sementara pengaruh trah Derpoyudo terus hidup dalam tradisi politik, spiritual, dan budaya Jawa.
Dari dua putri Kyai Ageng Derpoyudo lainnya, Nyai Bitonggo dan Nyai Ageng Penghulu, garis keturunan keluarga ini terus menyebar ke berbagai daerah Jawa Tengah dan Timur, menandai kelanjutan pengaruh aristokrasi Bugis-Makassar dalam tubuh peradaban Jawa.
Dengan demikian, sejarah Karaeng Naba bukan hanya kisah seorang perantau dari Gowa yang menetap di Mlati, melainkan narasi besar tentang pertemuan dua dunia, maritim dan agraris, Islam Bugis dan Islam Jawa, yang kemudian melahirkan tokoh-tokoh penting dalam sejarah politik, militer, dan spiritual Nusantara.

Catatan Akhir: Sumur Kematian, Sumur Kenangan
Setelah kematian Galesong, perlawanan Trunajaya mulai surut. Pada 1679, pasukannya dipukul mundur oleh gabungan Mataram dan Kompeni Belanda. Trunajaya sendiri tertangkap pada 1680 dan dieksekusi di Payak, Kediri. Dengan itu, berakhirlah satu bab besar dalam sejarah pemberontakan Jawa. Namun bara perlawanan yang mereka nyalakan tak pernah padam sepenuhnya.
Kisah Galesong dan Naba menegaskan bahwa sejarah tidak selalu ditulis oleh pemenang semata. Ia juga lahir dari air mata, dari pilihan yang pahit antara keluarga dan kekuasaan, antara kesetiaan dan hidup.
Hari ini, jika seseorang berziarah ke Desa Sumberagung, ia akan menemukan sebuah lubang kecil berbentuk sumur di tengah kompleks makam sederhana. Tidak banyak tanda yang tersisa, hanya batu nisan polos dan doa yang dilantunkan pelan oleh para peziarah.
Namun, di balik kesunyian itu, tersimpan narasi besar tentang migrasi, perang, dan pertemuan dua dunia: Jawa dan Makassar. Babad Tanah Jawi mungkin menulisnya dalam bingkai moral kekuasaan, tetapi bagi kita hari ini, kisah itu berbicara tentang kemanusiaan yang terjebak di antara politik dan kesetiaan.
Karaeng Galesong bukan sekadar tokoh dalam babad. Ia adalah representasi manusia perbatasan, seorang pelaut yang terdampar di daratan kekuasaan, seorang prajurit yang tersesat di antara dua kerajaan, dan seorang ksatria yang dikubur dalam sumur, bukan karena kalah perang, tetapi karena kalah oleh kecurigaan.
Sumur kematian itu, di Ngantang, bukan sekadar liang. Ia adalah metafora tentang sejarah yang menelan anak-anaknya sendiri.

