JATIMTIMES - Kamu sudah menghitung kalori setiap hari, makan dengan teratur, olahraga pun tak pernah bolong, tapi angka atau jarum di timbangan tetap tak mau bergerak. Fenomena ini ternyata sering terjadi, dan bukan cuma karena kurang niat atau kurang disiplin. Menurut Ahli Gizi Rumah Sakit Islam (RSI) Unisma Malang, Nur Widyaning R., Dietisien, penyebabnya jauh lebih kompleks daripada sekadar kurang defisit.
Ia menjelaskan, defisit kalori adalah kondisi ketika kalori yang dikonsumsi lebih sedikit dibanding yang dibakar tubuh. Misalnya kebutuhan kalori harian seseorang 2.000 kalori, namun yang masuk hanya sekitar 1.600-1.700 kalori. Dalam kondisi itu, tubuh akan memanfaatkan cadangan energi berupa lemak untuk menutupi kekurangannya. Tujuan utamanya jelas: menurunkan berat badan, mengurangi lemak tubuh, dan memperbaiki komposisi tubuh.
Baca Juga : Jalan Pasar Induk Gadang Rusak Parah, DPUPRPKP Kota Malang Pusing Anggaran Perbaikan Kena Efisiensi
Namun Nur Widyaning menegaskan, banyak orang salah kaprah. Mereka berpikir semakin besar defisit, semakin cepat kurus. Padahal, tubuh tidak bekerja sesederhana itu. Defisit yang terlalu ekstrem justru membuat tubuh stres, metabolisme melambat, dan rasa lapar meningkat. Akibatnya, proses penurunan berat badan pun terhenti di tengah jalan. “Banyak yang salah mindsetnya. Kuncinya adalah defisit yang realistis dan berkelanjutan,” ujarnya.
Defisit yang realistis dan berkelanjutan jauh lebih aman. Menurutnya, mengurangi 300-500 kalori per hari dari kebutuhan total sudah cukup untuk menurunkan 0,5 hingga 1 kilogram per minggu secara sehat. Tapi ketika semua sudah dilakukan dan berat badan tetap tak turun, tubuh sebenarnya sedang beradaptasi. “Metabolisme adaptif” adalah salah satu alasan utamanya. Semakin lama seseorang defisit, tubuh akan menyesuaikan diri dengan cara memperlambat pembakaran energi untuk bertahan.
Selain itu, banyak orang tanpa sadar mengonsumsi lebih banyak dari yang mereka kira. Sering kali, kalori dari saus, minyak, atau camilan kecil terabaikan. “Kita merasa sudah makan 1.500 kalori, padahal setelah dihitung bisa sampai 2.000,” tuturnya.
Faktor lain yang sering disepelekan adalah kurang tidur dan stres. Ketika kadar kortisol meningkat, tubuh cenderung menahan air dan muncul rasa ingin mengonsumsi makanan manis. Ditambah lagi, semakin lama diet dijalankan, seseorang biasanya makin enggan bergerak, padahal aktivitas harian berperan penting dalam membakar kalori.
Nur Widyaning menyarankan agar para pejuang diet tidak langsung panik ketika berat badan tidak turun. Ada langkah-langkah sederhana yang bisa dilakukan untuk memulihkan kembali ritme tubuh. Pertama, mencatat makanan dengan lebih jujur dan akurat, misalnya menggunakan timbangan makanan minimal seminggu sekali untuk memvalidasi jumlah asupan. Kedua, menaikkan kalori sedikit demi sedikit agar metabolisme kembali aktif. Kenaikan 50-100 kalori per minggu sudah cukup untuk menyeimbangkan sistem.
Baca Juga : Operasional Dapur Gizi Dihentikan, 8 Siswa Korban Keracunan Makanan MBG Masih Dirawat
Ketiga, memperbanyak aktivitas harian, seperti berjalan kaki 8-10 ribu langkah, naik tangga, atau sekadar beres-beres rumah. Keempat, memperbaiki kualitas tidur menjadi 7-9 jam setiap malam, agar hormon lapar dan kenyang tetap seimbang. Dan terakhir, memvariasikan jenis latihan, tidak hanya kardio, tetapi juga latihan beban untuk menjaga massa otot.
Sebagai panduan, ia juga membagikan contoh meal plan harian dengan total 1.500 kalori dan 90-100 gram protein, cukup seimbang untuk menurunkan berat badan tanpa kehilangan energi. Menu tersebut meliputi sarapan dengan oatmeal, telur rebus, susu rendah lemak, dan pisang; snack pagi berupa teh tawar; makan siang nasi merah dengan ayam panggang dan tumis buncis; snack sore berupa Greek yogurt tanpa gula dengan irisan apel; serta makan malam dengan kentang rebus dan sup telur, tahu, dan wortel. Menurutnya, “Yang penting bukan hanya defisitnya, tapi keseimbangan nutrisinya.” katanya.
Terakhir, Nur Widyaning menutup pesannya dengan pengingat sederhana: diet bukan sekadar menahan lapar, tapi memahami tubuh sendiri. Defisit kalori hanyalah alat, bukan tujuan akhir. “Kalau kamu sudah defisit tapi berat badan tetap, mungkin bukan makanannya yang salah, melainkan strateginya,” pungkasnya.
