JATIMTIMES - Cinta adalah anugerah yang membuat hidup manusia berdenyut. Ia menumbuhkan kasih, pengorbanan, dan makna keberadaan. Namun di balik kelembutannya, cinta juga bisa menjadi ujian paling berat jika tak diarahkan dengan benar. Dalam pandangan Islam, perasaan ini tak hanya soal hati, tapi juga soal posisi: kepada siapa dan sejauh mana cinta itu ditempatkan.
Ketika cinta kepada makhluk melebihi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, maka cinta itu telah melampaui batas. Al-Qur’an mengingatkan dalam Surah At-Taubah ayat 24, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluarga, harta kekayaan yang kalian usahakan, perniagaan yang kalian takut rugi, dan tempat tinggal yang kalian sukai lebih kalian cintai daripada Allah dan Rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.”
Menurut tafsir Ibnu Katsir, peringatan “tunggulah keputusan Allah” adalah ancaman azab bagi mereka yang menomorduakan cinta kepada-Nya. Cinta, sejatinya, bukan sesuatu yang harus ditakuti. Ia adalah bagian dari fitrah. Tetapi sebagaimana api yang berguna ketika dijaga, cinta pun bisa membakar jika dibiarkan tanpa kendali. Karena itu, para ulama menjelaskan bahwa ada jenis cinta yang justru bisa menjerumuskan manusia dalam dosa.
Jenis cinta pertama adalah mahabbah syirkiyyah, cinta yang menandingi Allah. Ini terjadi ketika seseorang mencintai makhluk sebagaimana ia mencintai Sang Pencipta. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 165 disebutkan, “Dan di antara manusia ada yang menjadikan tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat besar cintanya kepada Allah.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, siapa pun yang menyamakan kecintaannya kepada makhluk dengan kecintaannya kepada Allah, berarti telah mempersekutukan-Nya. Syirik semacam ini tak akan diampuni kecuali dengan taubat, sebagaimana ditegaskan dalam Surah An-Nisa ayat 48.
Jenis cinta kedua dikenal sebagai mahabbah muharromah, cinta yang diharamkan karena diarahkan pada hal-hal yang dibenci Allah. Cinta semacam ini muncul ketika seseorang menaruh kasih pada kekafiran, kemunafikan, bid’ah, atau maksiat. Mencintai perbuatan dosa sama artinya dengan mencintai kedurhakaan. Bahkan jika cinta itu membuat seseorang membela pelaku kemaksiatan dan memusuhi kebenaran, maka ia telah menyeleweng dari jalan yang lurus.
Baca Juga : Kapan Waktu Terbaik Jalan Kaki? Ini Penjelasan Ahli, Ternyata Bukan Selalu Pagi Hari
Sedangkan cinta yang ketiga disebut mahabbah thabi’iyyah atau cinta tabiat. Ini adalah cinta yang lahir secara alami, kepada orang tua, pasangan, anak, atau sahabat. Cinta seperti ini tidak dilarang, bahkan dibolehkan. Ia adalah bagian dari rahmat Allah kepada manusia. Namun, cinta tabiat ini pun bisa berubah menjadi dosa jika berlebihan, hingga menandingi cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika seseorang mencintai manusia sampai melupakan kewajibannya kepada Tuhan, maka cinta yang semula fitrah menjadi penyakit hati.
Pada akhirnya, cinta bukan untuk dimatikan, melainkan untuk diarahkan. Islam tidak memusuhi rasa, justru menuntunnya agar tetap berpijak pada ketaatan. Cinta yang benar adalah cinta yang menumbuhkan kebaikan dan tidak membuat lupa kepada Sang Pemberi cinta. Sebab, di atas segala kasih dan rindu, hanya cinta kepada Allah yang abadi dan menyelamatkan.