JATIMTIMES - Gebyar Festival Tari (GFT) XXXI Universitas Brawijaya (UB) kembali menyulut antusiasme pencinta seni pada 29-30 September 2025. Bertempat di Gedung Samantha Krida, festival yang diprakarsai Unit Aktivitas Karawitan dan Tari (Unitantri) ini menampilkan keragaman tarian tradisional dari berbagai daerah, mulai dari gerak dinamis Ratoh Jaroe asal Aceh, tari kreasi Jawa, hingga ragam tari kontemporer bernuansa Nusantara.
Sejak kirab kontingen fakultas membuka acara, suasana terasa penuh warna. Penampilan tari tradisi silih berganti hadir di panggung, ada yang menekankan kelembutan gerak, ada pula yang menonjolkan semangat kolektif. Ratoh Jaroe, misalnya, dengan pola gerakan serempak yang energik, membuat penonton larut dalam kekuatan kebersamaan.
Baca Juga : Kejuaraan Bola Basket 3 X 3 FIKKIA Cup Tahun 2025 Tingkat Pelajar Banyuwangi Berjalan Sukses
Ketua Pelaksana, Dwi Susanti, menilai pengalaman seperti ini tak sekadar kompetisi. “GFT XXXI semoga bisa menjadi pengalaman berharga sekaligus perekat antar peserta,” ujarnya.
Ketua Unitantri, Tiffania Vanessa, menekankan bahwa festival ini membuka peluang untuk menghidupkan kembali tradisi tari yang mungkin mulai jarang ditemui di ruang publik. “GFT hadir untuk menyalurkan bakat, baik bagi mahasiswa maupun sanggar di tingkat nasional,” ungkapnya.
Komposisi peserta tahun ini turut memperkaya ragam tarian. Dari internal kampus, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Fakultas Teknik (FT), serta Fakultas Kedokteran (FK) membawa interpretasi khas mereka dalam Kategori A. Sementara itu, Kategori B mempertemukan sanggar tari dari luar UB, seperti Wiragasama, Nritya Wibawa, Natya Samahita Lakshita, Nritya Nusantara Surabaya, Pamsagaca Dance, Tunas Jaya, dan Jatinuswantaram yang masing-masing menampilkan tarian dengan corak budaya berbeda, dari gerakan berakar tradisi Jawa, Bali, hingga Sumatra.
Menurut Wakil Rektor III UB, Dr. Setiawan, hadirnya banyak ragam tarian di satu panggung sekaligus menunjukkan bagaimana seni mampu menjembatani generasi. Baginya, keberagaman tarian yang tampil bukan hanya soal estetika, tetapi juga simbol bahwa warisan budaya dapat terus diteruskan oleh anak muda dengan cara mereka sendiri.
Baca Juga : Kolaborasi 18 Seniman Penuhi Dinding Galeri Raos dengan Karya Goresan Arang
“Festival ini penting untuk menjaga budaya sekaligus menyiapkan bibit unggul UB agar siap bersaing di berbagai kompetisi,” jelasnya. Ia menambahkan, dari ruang semacam ini, mahasiswa tak hanya belajar teknik tari, tetapi juga nilai disiplin, kerja sama, dan kebanggaan terhadap identitas budaya yang mereka bawa ke pentas.
GFT XXXI pada akhirnya tak hanya menghadirkan persaingan, tetapi juga memperlihatkan kekayaan seni tari Nusantara yang masih hidup dan dekat dengan generasi muda. Dari setiap gerakan, tersirat pesan bahwa budaya tak berhenti di masa lalu, melainkan terus menemukan bentuk baru di tangan para penari muda yang menjadikan panggung sebagai ruang dialog lintas tradisi.