JATIMTIMES - Belakangan ini aksi demonstrasi kerap muncul mewarnai kehidupan sosial dan politik. Pertanyaan juga kerap muncul, apakah demonstrasi pernah terjadi di masa Rasulullah Muhammad SAW?
Jika ditarik ke sejarah, bentuk demonstrasi modern memang belum dikenal kala itu. Namun, catatan klasik menunjukkan adanya ekspresi publik yang menyerupai unjuk rasa atau pawai kolektif untuk menyuarakan keyakinan dan pendapat.
Baca Juga : PCNU Surabaya Bagikan Seribu Donat untuk Aparat TNI, Kepolisian dan Elemen Masyarakat
Al-Qur’an menegaskan pentingnya partisipasi masyarakat dalam mengambil keputusan melalui prinsip syura. Dalam surat Asy-Syura ayat 38 ditegaskan, “urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka”.
Nilai musyawarah ini, menurut laporan United States Institute of Peace (2003), sejalan dengan konsep demokrasi karena tercermin dalam Piagam Madinah, dokumen politik awal yang mengatur hak serta kewajiban antar kelompok masyarakat di Madinah.
Sejarah Islam mencatat momen yang kerap dianggap sebagai bentuk awal demonstrasi, yakni ketika Umar bin Khattab memproklamasikan keislamannya. Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyah meriwayatkan bahwa Umar bersama Hamzah bin Abdul Muththalib mengorganisasi barisan kaum Muslimin untuk berjalan menuju Ka’bah dari rumah Arqam bin Abil Arqam.
Aksi long march ini, yang dalam bahasa Arab disebut masîrah, disaksikan langsung oleh kaum Quraisy. Para ulama menafsirkan peristiwa itu sebagai pernyataan publik tentang keimanan, sebuah bentuk “unjuk rasa” damai yang menegaskan identitas umat Islam kala jumlah mereka masih sedikit.
Namun, catatan sejarah juga memperlihatkan sisi lain dari aksi massa yang berubah menjadi tragedi. Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa an-Nihayah menggambarkan bagaimana propaganda Abdullah bin Saba’ melawan Khalifah Utsman bin Affan memicu keresahan luas.
Baca Juga : Acil Bimbo Meninggal Dunia di Usia 82 Tahun, Adhisty Zara Berduka
Gelombang protes itu bermula sebagai penyampaian aspirasi, tetapi berakhir dengan pengepungan dan pembunuhan terhadap sang khalifah. Peristiwa tersebut sering dijadikan dasar oleh ulama bahwa aksi yang menimbulkan kekerasan dan kerusakan tidak dapat dibenarkan dalam Islam karena menimbulkan mafsadat.
Wacana kontemporer turut memperkaya pembahasan soal demonstrasi. Khaled Abou El Fadl, profesor hukum Islam di UCLA, menulis dalam bukunya Islam and the Challenge of Democracy (2004) bahwa Islam mendukung kebebasan berpendapat sepanjang tetap etis dan menjunjung martabat manusia. Asef Bayat dalam karyanya Post-Islamism: The Changing Faces of Political Islam (2013) menambahkan bahwa generasi Muslim modern semakin menerima partisipasi sipil, termasuk demonstrasi damai, sebagai bentuk keterlibatan politik yang sehat.
Sebaliknya, Bassam Tibi lewat tulisannya di Journal of Democracy (2008) mengingatkan bahwa demokrasi bisa kehilangan makna apabila aksi massa dipakai hanya sebagai alat ideologi eksklusif. Ia menegaskan, “Demokrasi memerlukan pluralisme, dan pluralisme hanya bisa hidup jika ada toleransi.”