Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Ruang Sastra

Surat-Surat Penentu Takdir: Saat Sentot Alibasyah Prawirodirdjo Memilih Mengakhiri Perang

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Nurlayla Ratri

13 - Jun - 2025, 10:28

Placeholder
Lukisan realis Sentot Alibasyah Prawirodirdjo sedang membaca surat dari saudaranya, Raden Ronggo Prawirodiningrat, Bupati Madiun. (Foto: JatimTIMES)

JATIMTIMES - Nama Sentot Alibasyah Prawirodirdjo identik dengan perlawanan, keberanian, dan kegetiran sejarah pasca-Perang Jawa (1825–1830). Sebagai salah satu tokoh sentral di barisan Pangeran Diponegoro, ia tidak hanya memegang komando militer, tetapi juga menjadi simbol semangat jihad melawan kolonialisme Belanda. Namun, sejarah mencatat pula sebuah bab yang mengguncang persepsi banyak pihak: keputusan Sentot untuk menghentikan perang. 

Adakah ini bentuk pengkhianatan, atau justru bentuk kepahlawanan dalam konteks yang lebih luas? Artikel yang merangkum berbagai sumber ini berusaha mengurai pertanyaan tersebut melalui pendekatan historiografi, dengan membedah sumber primer: surat-surat yang menjadi saksi peristiwa dan penentu arah sejarah.

Baca Juga : Kalender Jawa Weton Jumat Legi 13 Juni 2025: Karakter, Rezeki, hingga Jodoh

Tertanggal 13 Juli 1829 (12 Sura Jimawal 1757), surat Raden Tumenggung Pontjoatmodjo memberikan testimoni langka dari jantung perlawanan. Dalam kesaksiannya, ia menegaskan bahwa niat Panembahan Mangkubumi (pemasehat Pangeran Diponegoro) untuk menyerah terhalang oleh sikap Sentot yang masih kukuh. Ia menulis:

 “Ik veronderstel, dat de Panembahan zich wil onderwerpen, doch wordt daarin door den Basah Prawirodirdjo verhinderd...”

Surat Pontjoatmodjo menggambarkan kondisi rakyat yang telah terpuruk akibat blokade ekonomi dan dominasi militer kolonial:

"Levensmiddelen zijn bij de muitelingen schaars... Geld bezitten de muitelingen ook niet veel..."

Belanda menjalankan taktik bentengstelsel, memperluas kontrol wilayah secara perlahan tetapi pasti. Ini menyebabkan para pemimpin lokal, termasuk para bupati, kembali ke tempat asal mereka. Mereka meninggalkan perlawanan dan bahkan memilih menyelamatkan keluarga di wilayah yang telah tunduk.

Pontjoatmodjo juga menegaskan bahwa di antara para panglima, hanya Sentot yang masih menunjukkan semangat tempur, sementara yang lain telah kehilangan nyali. Surat ini penting karena menjadi indikator kondisi mental dan operasional kekuatan sisa-sisa perlawanan. Jelas bahwa Sentot berdiri di antara dua dunia: keinginan untuk terus melawan, dan kenyataan bahwa lingkungan sekitarnya telah runtuh.

Hal ini memperparah tekanan psikologis terhadap Sentot. Ia menyadari rakyatnya sudah tidak mampu bertahan. Dalam kondisi seperti itu, pilihan menyerah menjadi satu-satunya jalan rasional, bukan karena kehendaknya, tetapi karena desakan realitas.

Surat tertanggal 23 Juli 1829 dari Sentot kepada Prawirodiningrat menandai titik balik. Dalam surat tersebut, Sentot menyatakan kesediaannya untuk menghentikan perang dengan syarat:

 “Ik ben bereid om mij te onderwerpen, doch het zij mij toegestaan om alle mijne Pradjoerits met mij mede te brengen...”

Permintaan ini bukan sekadar syarat teknis. Ini adalah bentuk tawar-menawar yang strategis. Sentot ingin memastikan keselamatan pasukannya dan menjaga harga dirinya sebagai pemimpin militer. Surat ini menandakan bahwa keputusan Sentot bukan karena kehendaknya sendiri, melainkan akibat tekanan realitas yang tak dapat dielakkan.

Pada 23 Juli 1829, Sentot menulis surat kepada saudaranya dari lain ibu, Raden Ronggo Prawirodiningrat— bupati Madiun dan juga bupati wedana Mancanegara timur Kesultanan Yogyakarta. Surat ini menjadi titik balik dalam karier militer dan spiritual Sentot. Di dalamnya, ia menyatakan kesediaan untuk menyerah dengan syarat membawa seluruh pasukannya, dan hanya dijemput oleh Patih-Dalem (saudaranya) serta Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Permintaan itu bukan sekadar simbolik. Ia menolak penyerahan yang memalukan atau manipulatif.

Narasi dalam surat ini menunjukkan bahwa Sentot ingin menjaga kehormatan sebagai panglima dan pemimpin spiritual. Penyerahan bukan karena niat mengkhianati perjuangan, tetapi karena keadaan yang memaksa. Strategi kolonial melalui pendekatan psikologis berhasil menaklukkan bukan tubuh perlawanan, tetapi pikirannya.

Berikutnya dalam surat tak bertanggal dari Raden Ronggo Prawirodiningrat kepada Sentot, disampaikan dengan halus permintaan agar sang ‘adinda’ menyerah. Surat itu menyebutkan bahwa jika Sentot mengambil keputusan untuk tunduk, maka dirinya (Prawirodiningrat) dan Gubernur akan menjamin kehormatan dan masa depan Sentot. Kalimat penutupnya menyiratkan tekanan moral: “...gij en ik dan immers de genegenheid van het Gouvernement zullen behalen...”. Artinya, ‘jika engkau dan aku menuruti saran ini, maka kita akan mendapatkan kasih sayang pemerintah’.

Surat dari Prawirodiningrat kepada adiknya, meskipun tanpa tanggal, memberi petunjuk bahwa Belanda menggunakan jalur kekerabatan sebagai instrumen politik. Ia menulis: "wanneer gij mijnen raad zult naar komen, gij en ik dan immers de genegenheid van het Gouvernement zullen behalen." Artinya, jika Alibasah mengikuti sarannya, maka mereka berdua akan mendapat kasih sayang dari pemerintah kolonial.

Ini memperlihatkan manipulasi psikologis: Belanda menyusup melalui kepercayaan darah untuk menjinakkan lawan politik. Sentot berada dalam pusaran antara loyalitas terhadap perlawanan dan tekanan keluarga yang direkayasa kolonial.

Sebaliknya, dalam surat Prawirodirdjo kepada Notoprodjo, tertanggal 11 Agustus 1829, dikatakan:

“Ik Haliebasah Ngabdoolmoestopo Prawirodirdjo... noodig ik U om met Uwen ouden Broeder Z.H. den Sultan mede den (heiligen) oorlog te voeren.”
 
Ajakan ini tampak sebagai propaganda untuk mempertahankan semangat jihad. Namun dalam konteks waktu itu, seruan ini justru tampak kosong, mengingat sebagian besar panglima telah menyerah. Surat ini menunjukkan adanya friksi dalam tubuh perlawanan itu sendiri: antara idealisme yang sudah usang dan pragmatisme yang merajalela.

Dalam surat ini, Sentot Prawirodirjo secara eksplisit mengajak Gusti Pangeran Hario Notoprodjo untuk bergabung dalam perang suci: "mede den (heiligen) oorlog te voeren." Ajakan ini penting sebagai representasi bahwa setidaknya pada Agustus 1829, Sentot masih berniat melanjutkan perang. Artinya, keputusan menyerah yang terjadi kemudian tidak datang dari kehendak ideologis, tetapi dari realitas objektif yang berubah drastis.

Pemerintah kolonial juga memainkan perannya. Surat dari Resident Van Nes melalui tangan Prawirodiningrat adalah tekanan halus namun penuh kalkulasi. Dalam surat tanpa tanggal kepada Sentot, sang Resident menulis:

“...wanneer gij mijnen raad zult naar komen... gij en ik dan immers de genegenheid van het Gouvernement zullen behalen...”

Surat ini menawarkan dua hal: amnesti dan kehormatan. Inilah strategi kolonial: menggoda perlawanan dengan janji pengampunan, sambil menghancurkan kohesi moral lawan. Dalam bingkai historiografi kolonial, surat ini adalah bentuk intervensi psikologis terhadap seorang panglima perang yang sedang dalam konflik batin.

Surat dari Resident Mr. J.F.W. van Nes bertanggal 27 Juli 1829 kepada Alibasah adalah titik puncak dari proses penjinakan tokoh perlawanan. Meski surat lengkap tidak dikutip, tetapi bunyi pembukaannya: "Brief en veel groeten..." menunjukkan pendekatan lunak namun manipulatif. Dengan membungkus tekanan politik dalam bahasa kekeluargaan dan penghormatan, Belanda menghindari perang terbuka dan memilih jalur persuasi yang lembut namun efektif.

Keempat surat ini merupakan sumber primer yang sangat berharga. Mereka bukan sekadar dokumen birokratik, melainkan rekaman langsung dari denyut sejarah. Dalam pendekatan historiografi modern, surat-surat seperti ini menjadi pintu masuk untuk memahami agency individu, dinamika kekuasaan, serta struktur ideologi yang melatarbelakangi tindakan. Surat Pontjoatmodjo mencerminkan struktur kekuasaan internal yang terfragmentasi dalam barisan perlawanan. Surat Sentot Alibasyah Prawirodirdjo mengungkap konflik psikologis yang mendalam, memperlihatkan dilema antara kehormatan pribadi dan nasib rakyat yang lebih luas. Sementara itu, surat Resident Van Nes menunjukkan bahwa strategi kolonial Belanda tidak hanya bersifat militer, tetapi juga menekankan pentingnya tekanan mental dan simbolik sebagai sarana pengendalian.

Konteks lain yang turut memaksa Sentot menyerah adalah kondisi rakyat yang menyedihkan. Dalam surat Pontjoatmodjo juga disebutkan bahwa:

Baca Juga : Bianglala Alun-Alun Kota Batu Batal Ganti Baru Tahun Ini

 “Levensmiddelen zijn bij de muitelingen schaars... het geene te verkrijgen is, is duur...”

Kelangkaan pangan, tekanan militer melalui strategi bentengstelsel, dan melemahnya dukungan rakyat mempersempit ruang gerak perlawanan. Dalam konteks ini, keputusan Sentot menjadi rasional. Ia bukan lagi sekadar panglima, tetapi manusia yang menyadari bahwa perjuangan tanpa dukungan logistik akan berubah menjadi tragedi massal.

Pertanyaan besar dalam historiografi adalah: apakah Sentot menyerah? Atau ia menyelamatkan bangsanya dari kehancuran total? Dalam suratnya, tidak ada indikasi ia tunduk karena takut. Justru ia mengajukan syarat-syarat yang menunjukkan posisi tawarnya masih kuat. Ia bahkan meminta dijemput oleh gubernur dan saudaranya sebagai jaminan.

Dengan demikian, keputusan Sentot adalah tindakan politik tingkat tinggi, bukan sekadar keputusan militer. Ia memilih untuk menutup tirai perang demi membuka jalan damai yang terhormat. Dalam kerangka ini, Sentot tidak kalah, ia menyudahi.

Surat-surat ini membuka cakrawala baru dalam memahami sejarah Sentot Alibasyah. Ia bukan hanya seorang panglima perang, melainkan aktor rasional dalam pusaran tekanan geopolitik dan sosial. Dalam historiografi, tindakan Sentot menjadi simbol dari transisi: dari perang terbuka menuju diplomasi tertutup. Harimau Madiun itu tidak jinak, tetapi tahu kapan harus berhenti mengaum.

Melalui surat-surat ini, terlihat bahwa Sentot bukanlah pengkhianat, melainkan seorang pemimpin militer yang dipaksa tunduk oleh kalkulasi realitas dan tekanan multilateral: militer, politik, dan kekerabatan. Surat Van Nes dan para tokoh sekitar Sentot memperlihatkan sebuah strategi kolonial yang sistematis: menguasai hati melalui keluarga, melemahkan logistik melalui isolasi, dan menciptakan ilusi pilihan.

Penyerahan Sentot bukanlah simbol kekalahan, melainkan bukti bahwa dalam perang, kadang bertahan berarti binasa, dan mundur bisa jadi bentuk kemenangan yang lebih tinggi.

Dari sini, historiografi tidak lagi melihat penyerahan Sentot sebagai akhir perjuangan, tetapi sebagai perpindahan bentuk dari perlawanan terbuka menjadi resistensi internal yang kelak akan mewarnai babak baru dalam narasi anti-kolonialisme di tanah Jawa. Surat-surat ini menjadi naskah-naskah penting dalam memahami bagaimana penjajahan bekerja bukan hanya melalui bedil, tetapi juga melalui pena dan jaringan kekeluargaan.

Sentot Alibasyah Prawirodirdjo: Dari Panglima Perang Diponegoro ke Letnan Kolonel Belanda

Dalam gelombang besar Perang Jawa (1825–1830), nama Sentot Alibasyah Prawirodirdjo muncul sebagai senopati utama Pangeran Diponegoro, tetapi perannya melampaui panglima perang biasa. Ia adalah buah dari darah bangsawan revolusioner dan lingkungan politik Jawa yang sarat gejolak sejak abad ke-18. Lahir sebagai Raden Bagus Sentot pada tahun 1808 di Maospati, ia adalah putra Raden Ronggo Prawirodirdjo III—Bupati Madiun sekaligus Wedana Bupati Mancanegara Timur di bawah Kesultanan Yogyakarta—dari seorang selir bernama Nyimas Ageng Genosari. Dari garis ayahnya, Sentot merupakan cucu Raden Ronggo Prawirodirdjo II, menantu Sultan Hamengkubuwono I. Ia juga cicit dari Raden Ronggo Prawirodirdjo I, tangan kanan Pangeran Mangkubumi (kelak bergelar Hamengkubuwono I) dalam Perang Suksesi Jawa III serta tokoh penting dalam pendirian Kesultanan Yogyakarta pada 1755. Garis keturunan ini menunjukkan bahwa leluhur Sentot adalah para pahlawan perang sekaligus pendiri Kesultanan Yogyakarta.

Lingkungan istana Yogyakarta menjadi tempat pendidikan awalnya—di sanalah ia menyerap semangat kejawen, ilmu agama, dan jiwa anti-kolonial. Ayahnya, Raden Ronggo Prawirodirdjo III, terkenal keras kepala terhadap kolonial Belanda dan pernah memicu konflik dengan Surakarta pada 1810, menunjukkan bahwa api perlawanan sudah menyala sejak sebelum Sentot dewasa. Maka ketika Perang Jawa meletus, Sentot tak sekadar turun ke medan tempur; ia menghidupi warisan leluhur yang terus berseteru dengan pemerintah kolonial.

Sebagai senopati, Sentot dikenal cerdas, berani, dan karismatik. Ia memimpin operasi gerilya yang menyulitkan logistik pasukan Belanda, dan tercatat dalam arsip kolonial sebagai salah satu musuh paling berbahaya. Hubungannya dengan Diponegoro diperkuat oleh ikatan keluarga—saudarinya, Raden Ayu Maduretno, menjadi istri sang pangeran. Namun, relasi ini bukan tanpa gesekan. Perbedaan strategi dan pandangan religius memunculkan ketegangan antara keduanya, terutama di masa-masa akhir perang.

Ketika situasi pasukan Jawa kian terdesak, Sentot membuka komunikasi dengan Belanda—langkah yang ditafsirkan sebagai pengkhianatan oleh sebagian pihak, namun dalam perspektif sejarah, lebih tepat dipahami sebagai manuver diplomatik dalam kondisi darurat. 

Sebelum Perang Jawa benar-benar berakhir, Sentot Alibasyah Abdul Mustopo Prawirodirdjo menerima serangkaian surat yang mengguncang keyakinannya. Surat-surat itu bukan hanya berisi tawaran kompromi, tetapi juga janji perlindungan terhadap keluarganya dan kedudukan terhormat bila ia bersedia menghentikan perlawanan. Setelah pergulatan batin yang panjang, dan mungkin karena merasa dikhianati oleh lingkaran internal perlawanan sendiri, Sentot mulai mempertimbangkan arah baru.

Ketika Pangeran Diponegoro ditangkap di Magelang pada 28 Maret 1830, bukan berarti semua bara perlawanan Jawa telah padam. Salah satu tokoh sentral yang masih menyimpan nyala api politik adalah Sentot—panglima muda brilian yang dikenal luas karena taktik gerilya dan semangat jihadnya. Namun setelah memasuki Yogyakarta pada 24 Oktober 1829, Sentot memilih jalan berbeda: bukan menyerah total, melainkan berkompromi dengan Belanda.

De Kock menerima Sentot dengan hormat karena menyadari potensi ancamannya. Dalam suratnya, ia menilai syarat-syarat Sentot “tidak berlebihan” dan jika ditolak, bisa memicu kembalinya perang. Dengan latar kehancuran Jawa dan rakyat yang lelah, Sentot memilih kompromi strategis—masuk ke dalam sistem untuk mengurangi penderitaan rakyat.

Ia disambut bak pahlawan, kemudian diangkat menjadi Letnan Kolonel Belanda pada usia 21 tahun. Ia memimpin lebih dari 600 prajurit pribumi, dan ditempatkan di Yogyakarta. Namun jabatan ini punya sisi lain: kolonialisme hendak “menjinakkan” sang senopati.

Setelah Diponegoro tertangkap, Sentot perlahan dijauhkan dari Jawa Tengah. Ia dipindahkan ke Salatiga, lalu ke Batavia pada 1831. Gubernur Jenderal mengizinkan kenaikan gaji untuknya dan barisan lamanya. Namun delapan anak buahnya dihukum karena pelanggaran militer. Sentot masih punya daya tawar: ia minta mereka tidak dikirim ke Fort Oranje, dan permintaannya dikabulkan.

Drama politik paling tajam terjadi di Sumatera Barat. Tahun 1832, Sentot dikirim untuk meredam sisa Perang Padri. Namun, di balik operasi militer, ia diam-diam membangun jaringan dengan para ulama Minangkabau. Dalam laporan resmi Letnan Kolonel Elout (1833), Sentot—dengan nama barunya Mohamad Ali Bassa—berjanji membantu para penghulu Minang melawan Belanda.

Puncaknya, ia menyebut dirinya “Radja Djawa, Sultan Alam”, mengambil baiat dari para pemimpin lokal, dan menyatakan akan memimpin gerakan perlawanan jika kemerdekaan tak dicapai dalam dua tahun.

Namun sebelum rencananya menjadi kenyataan, laporan Gubernur Jenderal Van den Bosch (8 Maret 1833) memaksanya ditarik dari Sumatera. Dituduh menyalahgunakan wewenang dan menyusun pemberontakan baru, Sentot kembali ke Batavia dalam pengawasan ketat. Tahun 1834, ia wafat secara misterius, dimakamkan di Tanah Abang.

Sentot Alibasyah Prawirodirdjo adalah tokoh dengan identitas ganda: panglima perang jihad, Letnan Kolonel kolonial, dan simbol perlawanan laten. Ia hidup dalam bayang-bayang sejarah yang kompleks, di antara kepatuhan formal dan perlawanan diam-diam terhadap kolonialisme. Dalam dirinya, kita menyaksikan dilema mendalam seorang pejuang yang memilih bertahan, bukan tunduk.


Topik

Ruang Sastra Sentot Alibasyah Prawirodirdjo perang jawa surat



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Nurlayla Ratri