Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Ruang Sastra

Disleksia

Penulis : Nyaris Penulis - Editor : Sri Kurnia Mahiruni

24 - Feb - 2025, 17:12

Placeholder
Saat sosok penulis ketiduran di kelas ketika jam pelajaran jelang ujian sekolah yang pada akhirnya jadi ajang bercandaan satu sekolahan. (Foto: File dokumen Nyaris Penulis)

JATIMTIMES - Sebuah cerita tentangnya. Sosok yang dulu ku panggil dengan sebutan ayah, sebelum beberapa tahun belakangan ku memanggilmu kakung.

Kakung ialah kata dari bahasa jawa yang artinya kakek. Panggilan yang ku tujukan untuk membahasakan diriku kepada anakku yang kini membuatku menjadi seorang ayah. Di mana, anakku adalah cucumu.

Baca Juga : Belajar dari Jambret

Mungkin ini hanya akan menjadi sepenggal dari sekian banyaknya cerita yang sulit ku kiaskan dalam barisan kata. Namun setidaknya, kakung tahu bahwa kita pernah ada cerita. Meski, selamanya cerita yang tertulis dalam untaian kata ini "mungkin" tidak akan pernah kakung "baca". Kenapa?, karena kakung sudah tiada di dunia.

Singkatnya, 14 Februari 1992. Aku, terlahir ke dunia. Sekitar delapan tahun kemudian, aku duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Di tahun itu aku kelas 2 SD. Seingatku, saat itu tahun 2000.

Tuntutan pekerjaan kedua orang tuaku yang merupakan seorang guru mengharuskan kami sekeluarga pindah domisili. Dari perkampungan ke perkotaan.

Alhasil, prestasiku saat itu bisa dikatakan jeblok. Maaf ku ralat, sangat jeblok. Bagaimana tidak, dari yang semula, di sekolah kampung, aku meraih ranking 1. Kemudian pindah ke sekolah di kota, aku ranking 2. Ranking 2 dari bawah. Rapotku peringkat 38 dari sekitar 40 siswa.

Tak tahu kenapa. Tapi yang jelas, saat pindah ke sekolah di kota, waktu itu aku belum bisa baca-tulis. Di mana, teman satu kelasku mayoritas saat itu semuanya bisa baca-tulis. Termasuk, mereka yang ranking di bawahku.

Miris memang. Kenapa?. Karena pelajaran membaca dan menulis harusnya rampung di maksimal kelas 1 SD. Bahkan di kota, lazim anak kecil sudah bisa baca tulis sejak Taman Kanak-kanak (TK).

Alhasil, guruku di sekolah waktu itu tak punya banyak waktu untuk mengajariku membaca dan menulis. Wajar, karena itu seolah membuat guruku harus mengulang pelajaran yang seharusnya sudah rampung di maksimal kelas 1 SD dulu.

Mau tidak mau, orang tuaku harus meluangkan waktu ekstra. Setidaknya, hanya untuk aku bisa baca dan tulis sekedar agar bisa mengikuti pelajaran di sekolahan.

Basic yang orang tuaku ajarkan, termasuk ayah atau kakung waktu itu ku jadikan pedoman. Akhirnya, aku bisa baca. Namun tak lancar. Alias masih terbata-bata.

Hingga kemudian, aku menemukan segepok surat kabar. Tempatnya di bawah kolong meja ruang tamu. Koran itu bacaan setiap hari orang tuaku, terutama ayahku.

Koran itulah yang pada akhirnya aku jadikan "buku pelajaran" untukku belajar membaca. Hingga akhirnya aku lancar membaca. Namun pada saat itu, di koran aku sempat membaca rubrik khusus. Ukurannya sangat kecil. Mungkin hanya sekitar 2 x 5 sentimeter.

Akupun saat itu heran. "Ini berita apa?". Isinya menawarkan jual beli. Kadangkala berisi tulisan orang jualan tanah.

Siang menjelang sore. Saat ayahku pulang mengajar, akupun bertanya. "Yah, ini berita apa?," kataku. "Itu bukan berita, itu iklan," ujar ayah.

Pada saat itu ayahku mengatakan, mereka yang pasang iklan di surat kabar harus bayar. Katanya, nominalnya bervariasi, yang jika di rata-rata berkisar paling murah ratusan ribu. Wajar, karena memang itu salah satu surat kabar paling ternama di Jawa Timur kala itu.

Saat itu, seingatku, bangsa ini baru saja pulih dari krisis moneter. Logikaku kemudian berkata, kalau 2 x 5 sentimeter saja ratusan ribu, berapa banyak cuan yang akan aku dapatkan jika kelak aku setidaknya bisa bekerja atau memiliki perusahaan di media massa.

Semenjak saat itu, saat teman sebayaku rata-rata bercita-cita sebagai empat profesi yakni kalau tidak guru, ya dokter, polisi, atau TNI. Namun, aku saat itu sudah bercita-cita, "Suatu saat aku harus jadi wartawan,".

Cita-cita itu kemudian aku "selipkan" di saku celanaku. Bukan di saku depan yang bisa aku rogoh sewaktu-waktu. Melainkan di saku belakang, yang jarang aku rogoh kalau tidak kepepet untuk ambil dompet.

Istilah itu ku pegang sejak masih belia agar cita-citaku tak membebaniku. "Ya kali, anak tak berprestasi di sekolah suatu saat nanti bisa jadi wartawan," benakku saat itu.

Waktu begitu cepat berlalu, akupun lulus dari bangku SD. Pertikaian otak dengan otak di mulai. Di saat itu, hanya pelajar pintar yang bisa masuk sekolah negeri favorit. Sampai sini, bagi kalian yang membaca sampai paragraf ini tentunya sudah paham!?.

Iya, aku tak diterima di Sekolah Menengah Pertama (SMP) negeri favorit. Sebagai gambaran, anak remaja di tahun aku mendaftar SMP ada kebijakan rayonisasi.

Gampangannya, jika mendaftar di SMP A, jika lolos ujian masuk tulis, akan diterima sekolah. Sebaliknya, jika tidak lolos ujian masuk di SMP A, otomatis akan direkomendasikan masuk di sekolah pada rayon tersebut.

Mirisnya, aku tidak diterima di SMP A tersebut. Berarti otomatis masuk SMP pada rayon itu kan?. Hahahaha, sayangnya akupun juga tidak layak masuk di sekolah rayon itu.

Saat itu, orang tuaku sangat panik. "Bagaimana masa depan anakku kalau tak ada sekolah negeri yang mau menerimanya!?,". Wajar jika kedua orang tuaku panik. Sebab, saat di zaman itu, sekolah ya harus negeri. Terlebih bagi orang tuaku yang gajinya sebagai guru sangat pas-pasan. Kala itu (dan bahkan mungkin sampai sekarang), gaji guru memang sangat jauh dari kata sejahtera.

Sehingga saat itu mayoritas penduduk di bangsaku mengejar sekolah negeri karena (maaf) relatif lebih murah ketimbang sekolah swasta. Mereka, kedua orang tuaku, pada akhirnya dalam tanda kutip terpaksa harus izin mengajar untuk mencerdaskan anak orang. Sebab, anaknya sendiri terancam tak bisa lanjut studi.

Kala itu, aku naik kendaraan butut bersama kedua orang tuaku. Mereka kemudian "menjajakan" ijazahku dan hasil ujian masuk sekolah di SMP A ke nyaris semua sekolah negeri yang ada di kota.

Kedua orang tuaku kala itu seolah berbagi peran di belakang sepengetahuanku yang meskipun aku tahu. Pertama, Ibuku berperan "menjajakan" ke sekolah-sekolah. Sedangkan ayahku berperan menenangkan diriku yang saat itu sedang terpuruk.

Ayahku berkata, "tenang ae le, oleh-oleh sekolah (tenang saja nak, kamu pasti bisa lanjut sekolah)," celetuknya.

Sayangnya ucapan dari ayahku saat itu tak menggoyahkan diriku yang sedang gundah gulana. Hingga akhirnya, hampir tidak ada satu sekolah negeri di kota yang mau menerimaku.

Orang tuaku saat itu disarankan untuk mendaftarkan putranya, yaitu diriku, ke SMP di desa. Kami pun waktu itu bergegas. Sebab, itu opsi terakhir dan waktu telah siang, saat di mana pendaftaran sekolah negeri akan berakhir. Jika tidak dimaksimalkan, fix, aku hanya bisa sekolah di swasta yang biayanya saat itu lebih mahal.

Opsi sekolah swasta saat itu terpaksa tidak di ambil orang tuaku. Sebab, anaknya ada tiga. Aku anak bungsu, dan kedua kakakku posisi semuanya sekolah dan butuh biaya. Kakak pertamaku saat itu hendak kuliah. Sedangkan kakakku nomor dua, persiapan mau ke Sekolah Menengah Atas (SMA).

Kakakku yang hendak kuliah itu sebelumnya menimba ilmu di SMA favorit di kota. Dia langganan juara, bahkan jadi duta atau ikon di kotaku. Yakni sebagai Kakang Senduk. Ibaratnya kalau di Malang ialah Joko Roro, kalau di Jakarta, Abang None.

Jadi waktu aku daftar sekolah SMP, kakakku yang pertama itu sedang mendaftar kuliah. Otomatis konsentrasi kedua orang tuaku terpecah. Setelah sukses mengantarkan kakakku mendapatkan kampus favorit di kota besar. Namun, ketika di rumah mendapati kabar anak bungsunya tak diterima sekolah.

Aku merasa kasihan, tapi bagaimana lagi, itu kenyataan. Di tengah perjalanan mengendarai kendaraan butut saat orang tuaku menuju ke SMP di desa, aku berkata. "Bagaimana kalau ke pondok pesantren saja, aku ingin belajar agama," celetukku lirih.

"Neng pondok iku abot lo le, sok nek wes wayah'e ae. (belajar agama itu berat, ada saatnya nanti kamu harus belajar di pondok pesantren. Tapi jangan sekarang)," ujar ayahku.

Akupun sempat meyakinkan kedua orang tuaku kalau aku bakal kuat di pondok, meskipun akhirnya aku memilih ikut saran orang tuaku. Hingga akhirnya, kami tiba di SMP yang ada di desa itu.

Benar saja, setibanya di sana, waktu sudah siang. Panitia pendaftaran telah berkemas mau pulang. Ibuku dengan kerendahan hatinya meminta agar aku masih bisa diterima mendaftar. Setelah drama lumayan panjang, menjelang sore ibuku kembali ke parkiran. 

Sebelumnya, ayahku juga sempat mondar-mandir parkiran ke ruang pendaftaran. Yakni untuk menemui ku di parkiran guna menenangkan diriku, dan ke ruang pendaftaran agar aku bisa mendaftar.

Hingga akhirnya, kedua orang tuaku menemui ku. Ibuku saat itu terlihat menenteng satu kresek berisi kain bahan. Kain itu yang pada akhirnya menjadi seragamku sekolah. Alhamdulillah.

Singkatnya, karena di SMP kampung, aku bisa menjadi diriku sendiri. Waktunya sekolah, ya belajar. Waktunya belajar, ya disempatkan bermain. Hahahaha.

Wajar, saat itu aku sedang gemar-gemarnya bermain sepak bola. Kala itu, pemain Eropa yang sedang naik daun adalah Cristiano Ronaldo. Sama seperti anak remaja pada umumnya, aku ingin menjadi atlet sepak bola sebelum akhirnya pensiun dan tetap. Yakni menjadi wartawan.

Pada saat sekolah SMP di desa itu, nilai pelajaran ku tak lagi jeblok. Tapi aku juga tidak terlalu pintar, ya mungkin hanya sekedar menengah ke atas sedikit secara nilai rapot.

Pada akhirnya, aku duduk di bangku kelas III SMP (saat ini kelas IX). Masa itu sangat genting bagiku. Aku takut, prestasiku jeblok. Pasalnya, bagiku pendidikan saat itu tidak adil. Bagaimana bisa, belajar tiga tahun hanya ditentukan tiga hari. Yakni melalui Ujian Akhir Nasional (UAN).

Di zamanku waktu itu, bagi pelajar yang tidak lulus UAN otomatis dinyatakan tidak lulus SMP dan harus kejar paket B. Artinya, ijazahnya akan berbeda, tanda kalau tak lulus UAN. Miris, tapi bagaimana lagi, saat itu, itulah regulasi pendidikan di negeriku.

Praktis, sekitar satu tahun di bangku kelas III SMP, hobi bermain bola perlahan aku tinggalkan. Sempat jadi pertanyaan di kalangan teman sebayaku, aku yang biasanya main bola minimal sehari dua kali, siang di bawah terik matahari sepulang sekolah dan sore menjelang magrib, mendadak jarang bermain sepak bola.

Akupun dengan berat hati berkata kepada teman sebaya. "Persiapan UAN, aku harus belajar,".

Bukannya di support, temanku justru merundungku. "UAN ditinggal merem ae mesti lulus. (Mengerjakan ujian sambil memejamkan mata saja pasti lulus.)," kata mereka. "Hai bung, kamu pintar, di sekolah negeri di kota, lha aku," gumamku dalam hati.

Memasuki semester kedua, aku semakin jarang bermain bola. Saat itu, di setiap sekolah lazimnya memang mengadakan try out. Para siswa diminta mengerjakan soal UAN yang diadakan pada tahun-tahun sebelumnya.

Rasanya jenuh. Bagaimana tidak, dari yang biasanya sebulan sekali, mendekati UAN, hampir setiap minggu ada try out. Hasil dari try out itu, ada kalanya aku lulus, ada kalanya tidak.

Orang tuaku, terutama ibu saat mengetahui aku tidak lulus try out sangat panik. Selain mendampingi belajarku, ibuku juga tak henti-hentinya memberiku suplemen dan vitamin. Kenapa?, sekedar diketahui, aku yang remaja dulu, selalu dan selalu jatuh sakit. Mendadak demam, batuk, pilek, terutama saat menjelang ujian meskipun hanya try out.

Hingga akhirnya, waktu UAN tiba. Adik kelasku saat itu libur sekolah. Pada momen itu, saat di mana aku mengenal istilah, "Harap tenang, sedang ada ujian. Bagi yang sudah selesai, boleh pulang".

Kalimat yang bagiku dulu sederhana, ternyata saat aku "ditinggal" ayahku baru memahami. Ternyata kalimat itu bisa jadi memang untaian kata religi.

Lanjut, UAN berakhir. Aku akhirnya dibebaskan orang tuaku kembali bermain sepak bola. Namun aku tidak melakukannya. Sebaliknya, aku merenung. Merundung diriku sendiri. "Kenapa aku sekonyol itu waktu UAN," ujarku.

Jadi ceritanya begini, saat itu UAN ada tiga mata pelajaran (mapel). Hari pertama, ujian mapel bahasa indonesia. Hari kedua, kalau tidak salah matematika. Dan hari ketiga bahasa inggris.

Ibuku berpesan, "kalau ujian, dikerjakan yang mudah dulu,". Itu aku pedomani. Hari kedua dan ketiga lancar. Entah kenapa, kalau saat ujian, yang sebelum-sebelumnya berteman, makin akrab. Sebaliknya, yang sebelumnya tak akur, mendadak bersahabat. Para siswa waktu itu sepertinya sepakat, UAN adalah momok. Jadi bagaimana caranya, semua harus lulus.

Seperti pelajar pada umumnya, aku dan teman-teman kala itu "saling membantu". Tentunya kalian akan paham apa yang aku maksud tentang apa itu saling membantu.

Namun petaka terjadi di hari ketiga UAN. Saat itu, belajar dari dua hari sebelumnya yang lancar, akupun mulai terlena. Belajar mulai asal-asalan.

Tepat sebelum memasuki ruang kelas ujian, seperti dua hari sebelumnya. Aku dan teman-temanku saling kode mata. Tanda kerjasama "saling membantu" akan direalisasikan kembali.

Waktu pertengahan ujian berjalan. Aku menemukan soal yang sulit. Tak ada pilihan, aku akhirnya minta "bantuan" teman. Sayang seribu sayang, waktu minta "bantuan" aku ketahuan.

Pada akhirnya, kartu pengenal agar aku bisa ikut ujian ditahan oleh guru dari sekolah lain yang saat itu bertugas menjaga ujian. Percayalah, waktu itu rasanya panik bukan main. Kepala mendadak pusing, jantung berdebar kencang, dan rasanya mendadak perut mulas padahal tidak terasa ingin buang air besar.

Tak ada pilihan, aku akhirnya tidak minta bantuan kepada siapapun. Suasana kelas ujian saat itu mendadak semakin hening paska aku ketahuan minta "bantuan".

Akupun teringat pesan ibuku "Kalau menemukan soal sulit, jangan menghitung kancing. Bahasa inggris itu, cari saja jawaban yang paling panjang. Biasanya itu jawaban yang paling benar, karena paling lengkap," tutur ibuku setiap menemaniku belajar bahasa inggris yang tak kunjung paham.

Otomatis wejangan itu yang aku pakai saat UAN mapel bahasa inggris. Namun celakanya, ada puluhan soal waktu itu. Di mana, hampir separuhnya ku anggap sulit atau setidaknya membuatku tak yakin kalau jawabanku benar.

Semakin gundah lah aku. "Ini bagaimana Tuhan, teman tolong aku," teriakku dalam batin. Tak ada pilihan, karena waktu semakin mendekati akhir ujian, pesan dari ibuku lah yang aku pakai. Iya, jawaban pilihan ganda yang paling panjang yang aku lingkari pakai pensil di lembar jawabanku.

Usai ujian, teman-teman menanyakan apa kabarku. Kurang ajarnya, sebagian dari mereka mengatakan "kalau sampai nomor ujian disita, bisa-bisa tidak lulus UAN," ujar mereka dengan nada serius. Semakin gundah lah aku.

Sepulang ujian ku kayuh sepeda. Sepanjang perjalanan dalam batinku berujar, "bagaimana kalau tidak lulus, bagiamana namaku jika terpampang sebagai siswa yang tak lulus,". Percayalah, saat itu rasanya ingin nangis.

Setibanya di rumah, aku hanya bisa termenung. Ayah dan ibuku saat itu tak menyangka, dua hari sebelumnya yang aku ceria kini bermuram durja.

Dengan berat hati, akupun bercerita kalau aku ketahuan meminta "bantuan". Perlu diketahui, orang tua zaman dulu mendidik anaknya dengan keras, bukan kasar. Apa itu?, memarahi anak terlebih gara-gara bermasalah dengan guru adalah hal yang lumrah selagi tak main fisik.

Tidak seperti sekarang, guru tak dihargai oleh para orang tua atau wali siswa. Bahkan dipolisikan jika ada guru yang berani mendisiplinkan anaknya. Mirisnya.

Tapi meski begitu, rasanya ternyata sakit. Psikis ku juga terguncang saat mendengar ibuku menasihatiku yang bagiku memarahiku.

Tak lama kemudian, ayahku pulang. Diceritakanlah kisahku oleh ibuku ke ayahku. Mendengar ceritaku, Ayahku hanya diam termenung beberapa saat. Melihat aku yang sepertinya kenyang telah menerima nasihat dari ibuku, ayahku pun menenangkanku.

"Tidak ada ceritanya siswa tidak lulus gara-gara kartu ujian di sita," ujar ayahku. Namun aku tak percaya kata itu. Akhirnya, dengan mengendarai kendaraan butut, aku dibonceng ayahku.

Kami ke sekolah ku waktu itu. Setibanya di sana, beberapa saat kemudian, ayahku kembali dengan senyum di wajahnya. "Ini kartu ujianmu, wes tenang'o (sudah tenaglah)," tuturnya.

Akupun sedikit bernafas lega. Terlebih ayahku mengatakan, aku tetap dianggap ikut ujian. "Tapi sesok maneh ojo dibaleni. (Jangan mengulangi kesalahan yang sama)," timpal ayahku.

Kami pulang. Setibanya di rumah aku masih gundah. Pengumuman hasil UAN masih sekitar dua bulan lagi. Bagaimana nilai ujianku?, terutama bahasa inggris.

Baca Juga : Ngobrol Buku Brantas, Sang Pembawa Berkah: Jelajahi Sejarah, Arkeologi dan Konservasi di Malang

Takutnya bukan main. Malunya tak karuan. Aku takut, bagaimana kalau anak seorang guru bahasa inggris tak lulus ujian pada pelajaran yang diajarkan ibuku setiap hari di sekolah. Iya, ibuku memang merupakan guru bahasa asing itu sejak awal mengajar SMA, sebab ibuku memang lulusan dari perguruan tinggi dengan jurusan pendidikan bahasa inggris.

Melihat aku yang tak lagi ceria dan bermain sepak bola. Ibuku akhirnya dengan relasinya sesama guru mencoba untuk meminta soal ujian bahasa inggris. Beberapa hari kemudian, ibuku dapat.

Soal itulah yang kami kaji bersama. Habis ujian aku belajar lagi. Ibuku tanya, soal nomor satu kamu pilih mana?. A, b,c atau d?. Sambil kuingat-ingat, akupun menjawab satu persatu jawabanku waktu UAN dulu.

Hasilnya, ketika jawabku benar, ibuku senang. Ketika jawabanku salah, ibuku berujar "lhoo, kudune jawabane iki!. (seharusnya pilih jawaban yang ini!),". Setiap kata itu terucap dari mulut mulia ibuku, rasanya hati ini tersayat. Mungkin rasanya seperti para koruptor saat di interogasi penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mendadak keringat dingin meski di ruangan AC.

Beruntung, dari hasil kajian itu, aku seharusnya kalau tidak salah mengingat jawabanku, akan dapat nilai minimal 7,0. Tapi namanya remaja labil, aku masih tak yakin dengan ingatanku. "Wes to, lulus-lulus," tegas ibuku saat aku terus menerus merengek takut tak lulus UAN.

Singkat cerita, aku akhirnya kembali merumput. Bermain sepak bola di lapangan yang sejatinya tanah tegalan. Bukan rerumputan, tapi tanah tandus dengan batu kerikil dan pasir.

Di sana, tempat aku dan anak di kampungku bermain sepak bola. Sandal japit sebagai gawangnya, setiap pemain sebagai wasitnya, dan azan magrib sebagi peluit panjang tanda berakhirnya permainan sepak bola meski kadang masih di tawar ketika skor masih selisih 1 gol. Wajar, tak ada yang mau kalah, karena setiap kalah akan dirundung seharian.

Namun, peringatan takmir masjid saat aku remaja meski bisa ditawar, itu tidak berlaku jika ada ibu-ibu yang berteriak anaknya suruh pulang sambil menenteng sandal. Tanda siap kapanpun dilempar kalau masih nekat bermain sepak bola saat magrib tiba.

Untungnya, Tuhan mempertemukan diriku dengan teman yang sebandel-bandelnya tidak berani melawan dengan orang tua. Kami pada akhirnya selalu menjawab, "inggih buk. (siap gerak)," sebelum akhirnya bergegas pulang sebelum sandal itu melayang.

Tradisi anak di kampungku saat itu, sebagian akan berkumpul di pertigaan jalan sebelum pulang ke rumah. Tempat di mana, kami selalu mengelap keringat sembari merundung tim yang kalah bermain sepak bola.

Setelahnya kami pulang. Setiap pulang aku selalu kepikiran, kira-kira lulus UAN tidak ya?.

Sembari bercucuran keringat, kebiasaanku dan kawan-kawan saat itu bergegas mandi kemudian lanjut ke masjid. Jadwal selanjutnya adalah salat magrib berjamaah dan jadi santri kampung.

Rutinitas itu semakin ku tingkatkan. Jika pada umumnya setelah ujian temanku mulai berguguran jadi santri di kampung, aku justru makin giat. Bukan karena saleh, tapi lebih karena takut kalau tak lulus UAN. Jadi aku merasa hanya doa yang bisa kulakukan atas apa yang sudah aku kerjakan.

Orang tuaku juga demikian. Setiap hari mendoakan agar aku lulus ujian. Hingga akhirnya, aku sempat bermimpi saat tidur, lulus dengan nilai ujian 23 koma sekian dan menjadi lulusan terbaik di sekolah.

Mimpi itu jadi kenyataan. Aku lulus dengan nilai yang sama persis dengan yang ada di bunga tidurku. Bedanya, aku tak menjadi lulusan terbaik. Hanya lima besar dari ratusan siswa saat itu.

Tapi tenang, aku tak sepintar itu. Sebab, nilai itu hanya tengah-tengah saja. Apalagi kalau pada sekolah di kota. Nilaiku tak ada apa-apanya. Bahkan, temanku satu kampung ada yang sekolah di SMP kota favorit dan mendapat nilai ujian 28 koma sekian dari maksimal nilai sempurna 30.

Pada zaman itu, hasil UAN menentukan di mana bisa lanjut sekolah SMA sederajat. Nilaiku itu pada akhirnya mengantarkan diriku kembali ke sekolah negeri yang ada di kota.

Ada banyak cerita ketika sebelum, atau saat SMA yang kalau diceritakan bisa panjang. Mungkin kalau ada kesempatan, akan ku tulis lewat buku.

Namun pada intinya, saat SMA nilaiku kembali anjlok. Wajar, anak dari sekolah kampung ke kota. Ibarat ikan dari kolam dilepas ke lautan. Dari semula ketemu ikan hias, kini bertemu ikan buas saat di lautan.

Semua teman kelasku di SMA dulu pintar semua. Kecuali aku yang hanya suka bermain bola dan gonta-ganti berorganisasi sebelum akhirnya menetap di keorganisasian pecinta alam. Bedanya, saat aku SMA sedang booming futsal. Dan olahraga itu yang mulai aku tekuni saat SMA hingga di bangku perkuliahan.

Pada saat SMA itu. Aku sempat membuat orang tua marah. Sebab, angket yang berisi IPA atau IPS. Aku isi dengan pilihan IPS. Saat itu, stereotip yang berlaku, anak rajin dan pintar ya di IPA. Anak sepertiku ya di IPS. Kurang bijaksana sebenarnya, tapi ya itulah masyarakat di bangsaku saat itu.

Mirisnya, saat disidang gegara aku memilih IPS itu, lampu di rumah mendadak padam. Kukira aku bakal berhenti dinasihati ibuku yang menurutku sedang marah-marah. Tapi ternyata tidak, ibuku mengambil lilin dan kembali menasihatiku di ruang tamu.

Akupun hanya bisa pasrah saat angket diambil ibuku dan dirubah menjadi pilihan IPA. Akupun kemudian disuruh masuk kamar. Di situ, aku galau. Bagaimana nasibku, aku tak mampu di IPA tapi dipaksa. Gundah lah aku.

Hingga akhirnya, ibuku bercerita ke ayahku kenapa menasihatiku. Awalnya, ayahku juga menyayangkan pilihanku itu. Namun akhirnya beliau menyeletuk dan terdengar dari balik tirai kamarku. "Yaweslah, jeneng'e anak iku warna-warni. Ojo dipekso koyo mas-mbak'e. (Yasudah, anak itu berbeda-beda. --Aku-- jangan dipaksa jadi seperti kakak-kakaknya)," ucap ayahku terdengar samar.

Kata itu ternyata membuat ibuku luluh. Pagi usai adzan subuh, aku dibangunkan ibuku. Dengan nada lembut ibuku berkata apa yang disampaikan ayahku. "Kenapa tidak segera bangun tidur?, apa karena takut kalau disuruh masuk jurusan IPA. Ini lo, angketmu sudah aku tanda tangani, apapun pilihanmu ayah-ibu setuju," ujar ibuku pakai bahasa jawa.

Sontak saja aku bangun dari kasur dan bergegas ke sekolah. Angket ku isi IPS dan kuserahkan ke wali kelasku. Semenjak saat itu, aku memilih untuk tidak mencoba masuk IPA. Aku tidak mau mencoba meski ada kesempatan, karena pertimbangannya dari pada tertekan. Bagiku saat itu, kata sadar diri ada di atas kata percaya diri. Inginku buktikan IPS tak seburuk citra para orang tua pada umumnya, meskipun akhirnya aku sadar di IPS pun belum tentu aku berprestasi. Hahaha.

Semenjak mengisi angket itu, setiap ujian mapel IPA, aku tidur disaat teman-temanku berlomba-lomba masuk IPA. Praktis, lembar jawaban hanya ku isi dengan soal yang aku tulis ulang di lembar jawaban tersebut. Itupun aku lakukan setiap 10 menit jelang waktu berakhir ujian.

Hingga akhirnya, seperti yang diduga. Aku masuk IPS. Dan benar saja, aku ternyata bukan siapa-siapa. Di IPS masih ketemu orang-orang pintar. Percayalah, ternyata di IPS tak selamanya seperti kata orang yang dikabarkan bahwa isinya orang pemalas.

Awal masuk IPS, orang tuaku terutama Ibuku takut akan masa depanku. Merasa gusar, akupun meminta waktu untuk mengobrol hati ke hati bersama kedua orang tuaku. Di akhir diskusi aku berkata. "Pangestune mawon, kelak kalau naudzubillah kulo dados pengemis, saya tidak akan mengemis ke keluarga. Sebaliknya, bilih dalem dados tiang sukses, kulo bakal'e dados tiang gesang ingkang boten supe kalih keluarga,". (Maaf, khusus kalimat itu tidak aku terjemahkan).

Waktu berlalu, aku pada akhirnya lulus SMA. Lagi-lagi, ceritanya panjang dan mungkin hanya muat jika di tulis pada buku novel. Namun yang jelas, aku sempat tak diterima kuliah di mana-mana. Gara-garanya sama, saking bodohnya aku di akademik.

Praktis tujuh tahun waktu yang aku habiskan di bangku perkuliahan. Bedanya, aku dapat tiga ijazah dengan predikat lulus semua dengan nilai rata-rata mahasiswa pada umumnya. Tidak pintar, dan tidak terlalu bodoh secara akademik.

Terakhir, saat menyandang gelar sarjana. "Saku celanaku" meronta-ronta. Cita-cita yang aku simpan sejak kelas 2 SD menagih untuk direalisasikan. Sayangnya, saat itu, tiga ijazahku bukan dari jurusan yang linier dengan yang berbau jurnalistik. Sebaliknya, lebih kental dengan yang berbau praktisi bisnis dan teknologi informasi atau IT.

Background bisnis itulah yang mulai aku geluti disela kuliah dan berorganisasi sebagai mahasiswa. Namun, sembari kuliah dulu, aku masih menyempatkan diri untuk ikut pelatihan jurnalistik. Saat itu idolaku Najwa Shihab sebelum akhirnya menyadari, jadi diri sendiri ternyata lebih menyenangkan.

Akhirnya ketemulah dengan idolaku itu saat ikut pelatihan. Sempat ngobrol dan minta tanda tangannya, sewajarnya mahasiswa yang ikut pelatihan saat itu.

Di situ aku tersadar, ternyata yang suka jurnalistik seabrek. Bukan aku saja. Menciutlah niatku jadi wartawan saat itu. Terlebih, saat pelatihan, syaratnya jadi jurnalis kata sang pemateri ialah lulusan sarjana; IPK minimal 3,00; berasal dari semua jurusan disiplin ilmu; dan nilai TOEFL minimal 500 serta menguasai bahasa inggris.

Berangkat dari situ, persyaratan tersebut perlahan aku penuhi. Dari yang semula hanya lulusan D III, aku lanjut studi disela tujuh tahun aku kuliah tersebut. Ketika lanjut studi program setara sarjana (sebutan saat itu), aku berkesempatan magang mahasiswa di perusahaan pers. Itu adalah kantor perusahaan koran yang aku jadikan "buku pelajaran" agar bisa membaca saat kelas 2 SD dulu.

Rasanya senang sekali, meskipun magang bukan sebagai wartawan. Namun, sebagai marketing. Kesempatan yang hanya beberapa bulan itu aku maksimalkan dengan melihat rutinitas wartawan. Di benakku saat itu, wartawan ternyata penuh tantangan dan risiko. Seolah setelah mengetahui itu, terasa pipiku tertampar agar lekas terbangun dari tidur dan sadar menjadi wartawan kian jadi impian bukan kenyataan.

Pada akhirnya, saat lulus kuliah, aku lanjut bisnis laundry kecil-kecilan yang aku rintis semenjak kuliah. Namun, dua minggu setelah ujian skripsi dan belum sempat menerima ijazah maupun wisuda, aku dihubungi kawanku yang sempat satu kelas saat kuliah Diploma III atau D III.

Dia saat itu mengatakan, ada lowongan jadi wartawan. Namun, dia hanya bisa bantu info bahwa ada lowongan kerja saja, tak bisa bantu lebih. Apalagi membantuku diterima kerja. Dia waktu itu juga baru diterima bekerja di tempatku magang dulu. Sesuai ijazahnya dan perawakannya yang jelita, dia bekerja di perusahaan media massa tersebut pada bagian administrasi.

"Kenapa menghubungiku," kataku melalui Blackberry Messenger kala itu. "Katanya kamu ingin jadi wartawan, wes gak usah kakean polah milih-milih gawean, fresh graduate ae metesek. (sudahlah, tidak usah banyak gaya, baru lulus saja pilih-pilih kerjaan)," jawab temanku sambil bergurau seperti masa kuliah dulu.

Jadi begini, semenjak kelas 2 SD, setiap diminta memperkenalkan diri, aku memang selalu mengatakan jika cita-citaku adalah menjadi wartawan. Dari situlah, temanku yang jelita itu tahu kalau aku ingin menjadi seperti Najwa.

Tanpa berfikir panjang, kata sadar diri aku kesampingkan sementara waktu. Sebaliknya, aku mencoba untuk percaya diri bisa diterima kerja sebagai wartawan yang aku cita-citakan.

Tak disangka, ternyata aku diterima kerja. Kemudian ikut pelatihan seminggu. Sebelum diterima kerja itu, aku sempat tes wawancara. Di sana, aku bertemu dengan Human Resources Development (HRD) dan Pimpinan Redaksi (Pimred).

Pada penutupan sesi wawancara, sang Pimred berkata, "Kenapa mau jadi wartawan?," ujarnya. Pertanyaan basic itu ku jawab dengan cerita singkat satu kalimat. "Karena cita-cita saya sejak kelas 2 SD," ujarku.

Mendengar jawabanku, baik HRD maupun Pimred waktu itu tertawa. Katanya, selama seleksi calon karyawan, hanya kali itu saja tahu ada orang yang bercita-cita jadi wartawan terlebih saat usia di mana anak-anak sebayanya ibaratnya masih bercita-cita ingin jadi Power Rangers (kisah fiksi superhero).

Setelah sekian pertanyaan, di penghujung wawancara aku di tanya oleh HRD. "Mau gaji berapa?,". Di situ ku jawab sesuai Upah Minimum Regional (UMR). Sejatinya itu jawaban aman agar aku diterima kerja.

Sebelum beranjak sesi wawancara, Pimred perusahaan itu kembali mengajakku berbicara. "Kamu yakin mau jadi wartawan?, kenapa tidak kerja sesuai ijazahmu?. Kamu coba daftar di bank!, kenapa baru daftar kerja pertama kok langsung di perusahaan media?. Di perbankan, kamu bisa kaya!. Kalau jadi wartawan, jangan harap!. Kamu tidak akan kaya, tapi hanya akan hidup berkecukupan!," tegasnya.

Penekanan itu aku jawab secara tersirat sesuai obrolanku saat masih remaja kepada ayahku dulu. "Saya tidak ingin hidup kaya, saya cuma ingin hidup pas-pasan. Pas ingin makan-minum, ada. Pas butuh rumah, ada. Pas butuh kendaraan, ada. Pas terpaksa tidak punya uang bisa utang, pas bayar utang punya uang buat bayar," celetukku kala itu secara tersirat.

Katanya, prinsip itu bisa diartikan sebagai menjadi kaya. Padahal maksudku adalah, pas butuh makan-minum bukan berarti harus yang enak, tapi seadanya apa, di makan. Pas butuh rumah, bukan mewah, tapi seadanya, kalau harus kontrak rumah karena belum mampu beli, tak apa. Pas butuh kendaraan, ada, walaupun butut asalkan punya tanpa minta-minta orang tua apalagi menunggu warisan mertua.

Setelahnya, sesi wawancara berakhir. Awal gajian, tak sesuai ekspektasi. Kerja nyaris 24 jam, berangkat usai salat subuh, pulang menjelang salat tahajud yang itu jadi rutinitas saat awal masa kerja dulu. Melihat, seberapa kuat mental wartawan sebelum diangkat karyawan tetap atau sekedar perpanjangan kontrak kerja. Bahkan, hampir tiga bulan tidak dapat jatah libur sama sekali. Apakah itu menyalahi aturan?, wallahu a'lam bishawab.

Sebulan kerja. Akupun menerima gaji perdana sebagai wartawan. Bukan transfer. Melainkan melalui amplop berisi uang.

Pimred ku waktu itu menanyakan agar aku segera memeriksa berapa gajiku. Mungkin niatnya agar aku tidak penasaran dan meninbang-nimbang lanjut atau tidak jadi wartawan, atau mungkin mending balik jadi pengusaha.

Akupun dengan santai tak menghiraukannya. Sepulang kerja, akhirnya ku bukalah amplop gaji itu di parkiran tempat aku bekerja dulu. Saat itu, ibarat kata seperti mengelupas kulit bawang merah. Air mata bercucuran saat tahu berapa gaji pertamaku.

"Waduh, ternyata yang disampaikan Pimred saat seleksi penerimaan karyawan bukan bualan," ujarku.

Seketika, mindset-ku bakal kaya saat kelas 2 SD sirna. Beralih, sesuai apa yang dikatakan Pimred ku dulu. Hidup serba kecukupan.

Setahun bekerja, aku jarang pulang ke kampung halaman. Bahkan, saat lebaran Idul Fitri masih bertugas peliputan. Alhasil, satu keluarga besar ku lebaran di kota besar tempatku bekerja dulu.

Saat itu aku terlihat gusar dan diketahui keluargaku. Kata mereka: "Tenang saja, seadanya jangan berfikir kemana-mana," tutur mereka.

Seolah itu menentramkan benakku yang ingin memberi uang saku ke orang tua dan ponakan namun tak kesampaian. Boro-boro untuk itu, bisa hidup berkecukupan di perantauan saja sudah Alhamdulillah.

Sebelum habis masa libur lebaran, aku dan ayahku berkesempatan berbincang empat mata. Saat itu momen di mana terjadinya "like a man, like a gentleman".

Ayahku sempat menanyakan bagaimana aku dan pekerjaan baruku. Dari bisnis ke wartawan. Momen itu ku jadikan ajang bercerita sisi buruk jurnalis. Mulai risiko kerja yang bahkan dituntut bertaruh nyawa, hingga jam kerja yang tak sesuai kebijakan Kementerian Ketenagakerjaan yang hanya sekitar delapan jam kerja selebihnya dihitung lembur.

Sontak saja, itu membuat Ayahku terguncang. Memintaku resign dan mencoba peluang lainnya atau meneruskan seperti dirinya. Yakni menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

Saat itu aku hanya menjawab. "Ayah, mereka dan mungkin sebagian temanku yang saat ini kaya itu karena tuntutan kehidupan yang akhirnya menjadi pilihan. Bisa jadi itu bukan karena cita-cita mereka. Sedangkan diriku, menjalani kehidupan karena ini cita-citaku. Apa level yang lebih tinggi dibandingkan 'my dream come true'," ujarku dengan seolah sok bijak kala itu.

Mendengar ucapanku, seolah ayah saat itu menepuk bahuku dan berkata. "Yasudah, kalau sudah cocok dan senang. Terpenting hati-hati, pandai-pandailah membawa diri," pintanya.

Ucapan itu disematkan dengan kekhawatiran. Di mana, semasa hidupnya, ayahku memang gemar mengkonsumsi berita dan pernah berkecimpung di kegiatan ke-jurnalistik-an. Sehingga paham betul, apa risiko wartawan termasuk pemberitaan soal banyaknya wartawan yang diduga diintimidasi dan bahkan dihabisi gara-gara berita yang ia produksi.

Seiring berjalannya waktu, meski lumayan menguras pikiran dan waktu, kesejahteraan mulai aku dapatkan. Mulai dari penghasilan, jaminan kesehatan, hingga jaminan hari tua terbaik di kelasnya. Meskipun tidak seberapa dengan yang mungkin didapatkan lewat profesi mulia lainnya, setidaknya keinginanku untuk hidup pas-pasan terealisasi melalui apa yang aku senangi. Bukan melalui apa yang aku kerjakan. Karena wartawan kini menjadi kegemaran dalam rutinitas ku.

Bisa jadi, momen itu berada pada salah satu titik tertinggi karierku. Bukan karena dedikasiku, tapi lebih karena doa-doa orang tuaku, anak-istriku setelah menikah, serta orang baik kepadaku yang kebetulan dikabulkan Tuhan.

Sayangnya, itu aku dapatkan saat orang tuaku telah lansia. Sekitar dua bulan lalu, yakni akhir tahun 2024, aku dan istriku mulai berfikir bagaimana keadaan orang tua kami masing-masing. Aku dan istriku berasal dari daerah yang sama. Kami berasal dari satu kecamatan yang sama, hanya beda desa. Di mana orang tua kami masing-masing sudah sama-sama telah berusia senja.

Kami berpikir, setidaknya orang tua kami bisa menikmati hari tuanya dengan bahagia. Kami pada akhirnya sepakat, kelak, jika memang sudah saatnya, keluarga kecil ku bakal balik kampung. Kembali merintis semuanya dari nol. Meninggalkan apa yang kami dapatkan di perantauan.

Dengan senang hati, istriku yang saat itu bekerja, akhirnya memilih resign. Maklum saja, dia bekerja hanya untuk buang-buang waktu, bukan untuk membantu pemasukan suami. Jadi selama kariernya, sudah sekitar tiga kali pindah-pindah perusahaan. Saat ini, dia memilih untuk menjalani apa itu "my dream come true". Menjadi seorang pengusaha, berdiri di atas kaki sendiri.

Hingga akhirnya, surat pengunduran kerja istriku disetujui perusahaannya. Dia bakal resign pada bulan Mei 2025. Namun, 3 Februari 2025, saat aku bekerja menulis berita, notifikasi getar pada smartphone-ku berdering. Kulihat ada panggilan dari anak tetanggaku, temanku bermain sepak bola waktu remaja dulu.

"Mas, bapak sakit," ujarnya dengan tergesa-gesa. Aku sempat menanyakan, bapak siapa yang sakit?. Meskipun aku sejatinya sudah menduga kabar itu ditujukan kepadaku. Benar saja, yang sakit adalah Ayahku.

Bersambung part II. (Zuhud).


Topik

Ruang Sastra Disleksia ruang sastra siswa sastra



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Nyaris Penulis

Editor

Sri Kurnia Mahiruni