Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Menelusuri Jejak Keraton Kerto, Istana Megah Sultan Agung yang Hilang Ditelan Bumi

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

09 - Jul - 2023, 01:37

Placeholder
Situs Keraton Kerto di Dusun Kerto, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Yogyakarta.(Foto : Instagram @arif.k.fadholy)

JATIMTIMES - Keraton pertama Kerajaan Mataram Islam di Kotagede akhirnya ditinggalkan setelah Sultan Agung berkuasa. Sultan Agung bergelar Panembahan Hanyakrakusuma saat pertama kali dikukuhkan sebagai penguasa Mataram yang ketiga. Ia membangun Keraton Kerto, istana yang lebih luas dan besar dari Kotagede untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Mataram adalah Negara baru yang besar dan tidak bisa diremehkan.

Keberadaan Istana Kerto Sultan Agung diberitakan dalam Babad Tanah Djawi oleh Meinsma (1874 : 145). Babad itu menceritakan Sultan Agung adalah raja yang memiliki dua istana. Dipilihnya Kerto karena lokasi istana baru ini berada di sekitaran Pantai Selatan. Pantai Selatan adalah tempat tinggal Kanjeng Ratu Kidul, penguasa alam ghoib yang menurut kepercayaan diambil permaisuri oleh Sultan Agung.

Baca Juga : Dirjen Imigrasi Buka Suara Soal Dugaan Bocornya 34 Juta Data Paspor WNI : Tidak Ada yang Bocor

Dilansir dari buku Puncak Kekuasaan Mataram karya H.J De Graaf, Kerto adalah istana yang luas dan terbuka. Salah seorang bangsa Belanda bernama Jan Vos dalam laporannya menyampaikan, pada tahun-tahun pertama pembangunan istana Kerto, Sultan Agung sementara waktu harus tetap tinggal di Kotagede, istana lama warisan dari kakeknya Panembahan Senopati dan ayahnya Panembahan Hanyarawati. Pembangunan tempat tinggal Sultan Agung di Kerto baru dikerjakan pembangunannya pada 1621.

Sultan Agung diangkat menjadi raja ketiga Mataram pada 1613 dan baru menempati Keraton Kerto pada 1622. Oleh sebab itu diduga keraton baru itu baru dibangun di masa awal pemerintahannya antara tahun 1613 hingga 1622.  Skesta denah istana Kerto terdapat pada peta R. Van Goens di Algemeen Rijksarchief (Arsip Kerajaan Belanda). Namun peta ini hanya memberikan sedikit pengetahuan saja tentang keraton, karena gambarannya hanya berupa skesta saja.

Babad Momana mengabarkan secara rinci proses pemindahan ibukota Mataram dari Kotagede ke Kerto. Dalam kabar itu disampaikan Sri Baginda sudah mulai bertempat tinggal di Kerto (Ingkang Sinuhun awit ngadaton ing Karta), tetapi Ibu Suri masih tetap tinggal di Kotagede (Ibu Dalem taksih wonten ing Kuta Agung). Ibu Suri pindah ke Kerto pada tahun Jawa 1543 (1621) setelah istana Kerto diselesaikan pembangunannya.

Setelah Sultan Agung dan permaisuri boyongan dari Kotagede ke Kerto, barulah istana baru ini benar-benar disempurnakan kemegahannya. Pada tahun 1622, didatangkan seperangkat gamelan dan wayang kulit ke Keraton Kerto. Keraton baru semakin lengkap setelah putera mahkota kerajaan Kanjeng Pangeran Arya Mataram menempati kediamannya di Kerto pada 1622.

Gambaran kemegahan Keraton Kerto ini bisa ditemukan dari laporan utusan-utusan Belanda. Jan Vos mengabarkan ia pada Rabu 9 September 1624 datang ke lapangan yang sangat luas di Kerto. Lapangan itu adalah Alun-alun yang dikelilingi pagar kayu yang disusun dalam bentuk-bentuk wajik. Alun-alun itu juga terlihat sangat bersih dan tidak ada satupun tunas rumput yang tumbuh. Di kedua sisi terdapat suatu bangsal atau balai panjang yang sangat ramping dan terang, di sana orang-orang duduk di tanah.

Jan Vos dalam laporannya juga menceritakan di dekat Alun-alun Keraton Kerto banyak ditanami pohon-pohon besar yang indah. Pohon itu adalah pohon beringin yang dipangkas dalam bentuk payung. Pohon-pohon itu mengelilingi empat sisi sebidang Alun-alun.

Tepat disebelah kanan Alun-alun Keraton Kerto terdapat bangsal besar. Di bangsal tersebut ada banyak kuda berpelana milik para pembesar istana. Di luar barisan pepohonan juga terdapat bangsal-bangsal lain yang dijadikan tempat orang-orang terkemuka berkumpul sebelum memasuki istana Kerto.

Sultan Agung benar-benar ingin Keraton Kerto menjadi istana yang megah. Ia mungkin juga berharap istana baru ini menjadi warisan peradaban sama seperti Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri. Tiga tahun setelah Keraton Kerto ditempati, tepatnya pada 1625 keraton baru ini diperluas ditandai dengan kelanjutan pembangunan. Kebijakan perluasan keraton ini setelah Sultan Agung beranggapan keratonnya harus mencerminkan kemuliaannya yang semakin besar. Keraton Kerto kemudian dilengkapi dengan sitinggil.

Baca Juga : Istri di Bogor yang Hilang Setelah Sehari Menikah Akhirnya Ditemukan, Ternyata Kabur!

Pembangunan sitinggil di Keraton Kerto diperlukan pengurukan tanah yang agak luas dengan membutuhkan banyak tenaga manusia. Pembangunan ini pada akhirnya harus mengerahkan orang dari berbagai penjuru dan mereka dikerahkan untuk melakukan pekerjaan yang cukup berat. Pembangunan sitinggil pada akhirnya mempersempit Alun-alun. Lapangan Alun-alun yang semula luas menjadi lebih sempit. Namun perluasan keraton yang berlangsung pada 1625 dan 1626 benar-benar menjadikan Keraton Kerto menjadi keraton yang megah.

Lalu apa sebenarnya yang mendorong Sultan Agung mendirikan istana baru Keraton Kerto dan membuat sitinggil?. Terkait hal ini Sejarawan H.J De Graaf berpendapat Sultan Agung ingin meniru Kesultanan Cirebon karena ia menginginkan kehormatan yang sama. Sebagai sebuah kerajaan di tanah  Jawa, Cirebon lebih dulu membangun sitinggil dibanding Mataram. Dan Sultan Cirebon adalah penguasa yang menikmati kehormatan spiritual karena ia merupakan keturunan Sunan Gunung Jati. Jadi, sebagai penguasa yang berhasil menyatukan hampir seluruh Jawa, Sultan Agung menginginkan kehormatan spiritual yang sama dengan Sultan Cirebon.

Pembangunan Keraton Kerto yang megah dan sitinggil ini Sultan Agung juga sekaligus ingin mematahkan pendapat jika Raja Mataram adalah prajurit yang benasib mujur. Pendapat ini mengemuka karena meskipun tercatat masih keturunan Raja Majapahit terakhir Brawijaya V, pendiri Mataram yakni Ki Ageng Pamahanan dulunya hanya seorang pegawai biasa di Keraton Pajang. Nasib Pamanahan menjadi mujur setelah ia bersama putranya Danang Sutawijaya (Panembahan Senopati) ikut serta dalam sayembara membunuh Aryo Penangsang. Berhasil menang dan membunuh Penangsang, Raja Pajang Sultan Hadiwijaya/Joko Tingkir sesuai janjinya kemudian menghadiahi Alas Mentaok untuk Pamanahan. Alas Mentaok kemudian berkembang menjadi semakin besar dan menjadi Negara Mataram dengan ibukotanya di Kotagede.

Sayang, kemegahan Keraton Kerto kini hilang tak berbekas. Dalam perkembangannya, raja penerus Sultan Agung yakni Amangkurat I kemudian memindahkan lagi Keraton Kerto ke keraton baru di Plered. Meski tak berbekas, lokasi berdirinya Keraton Kerto masih ditemui di Dukuh Kerto, Kalurahan Pleret, Kacamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.

Kkini, bangunan istana megah yang digambarkan dengan penuh kebanggaan dalam babad-badad dan laporan Belanda itu sudah tidak ada lagi. Yang ada hanya beberapa situs yang ditemukan sebagai bukti sejarah bahwa daerah Kerto sempat menjadi ibukota Mataram setelah pindah dari Kotagede. Keraton Kerto adalah istana yang hilang.

 


Topik

Serba Serbi Kerajaan Islam Mataram Kotagede babad tanah jawi



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya