Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Damainya Kehidupan di Keraton Kartasura, Ada Pagelaran Musik hingga Teater

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Yunan Helmy

06 - Jun - 2023, 20:07

Placeholder
Tari Bedhaya Daradasih dipentaskan oleh penari dari Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat.(Foto : Instagram @pakdjo)

JATIMTIMES -Sejarah mencatat pusat Kerajaan Mataram Islam berpindah beberapa kali. Keraton Kartasura merupakan istana keempat Mataram Islam setelah Kotagede, Kerto, dan Plered yang terletak di Daerah Istimewa Yogyakarta.

Situs cagar budaya Keraton Kartasura lokasinya berada di Desa Ngadirejo, Kecamatan Kartasura, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Jaraknya sekitar 11 kilometer dari Keraton Surakarta Hadiningrat yang merupakan istana Kerajaan Mataram Islam selanjutnya. 

Baca Juga : Kiai Kaliyah:  Waliyullah Sakti dari Pacitan, Guru Spiritual Bupati Madiun Raden Ronggo III dan Ratu Maduretno

Peninggalan Keraton Kartasura saat ini masih ditemukan dan bisa dikunjungi. Namun demikian, peninggalan yang paling kentara hanyalah bagian benteng keraton bagian dalam atau Benteng Sri Menganti. Sementara bagian lain menjadi kompleks permakaman.

Di dalam Benteng Sri Menganti Keraton Kartasura, ada dua peninggalan yang masih bisa ditemui. Pertama adalah bekas kamar tidur raja. Lokasi itu ditandai dengan dua batu besar yang diberi penutup kain.

Peninggalan kedua dinding tembok jebol. Lokasi tembok jebol ini berada di sisi utara situs kamar tidur raja. Dinding tembok jebol ini merupakan saksi bisu peristiwa Geger Pecinan pada Oktober 1740 yang dipimpin Raden Mas Garendi (cucu Amangkurat III). Geger Pecinan adalah pemberontakan orang-orang Tionghoa dan masyarakat yang anti-VOC dan Raja Mataram Islam saat itu Susuhunan Pakubuwono II.

Keraton ini didirikan oleh Sunan Amangkurat II pada tahun 1680-1742. Berawal dari pemberontakan Trunajaya dari Madura pada tahun 1677, yang menyerbu Keraton Mataram lama yang terletak di Plered. Adipati Anom yang bergelar Amangkurat II melarikan diri ke Hutan Wanakarta dan mendirikan Keraton Kartasura.

Sejak dibangun dan menjadi pusat pemerintahan baru Mataram Islam, Keraton Kartasura perlahan-lahan mencapai puncak kejayaan. Dilansir dari buku Sambernyawa karya M.C Ricklefs, masyarakat di Kartasura digambarkan hidup dalam kedamaian. Kejayaan kerajaan ditampilkan secara terbuka di festival Islam tiga kali dalam setahun bernama Garebeg. Ada Garebeg Mulud yang dilaksanakan untuk merayakan kelahiran Nabi Muhammad pada tanggal 12 bulan Mulud, Garebeg Puasa untuk merayakan akhir bulan puasa pada hari pertama Sawal, dan Garebeg Besar pada 10 Besar untuk memperingati kesediaan Ibrahim mengorbankan putranya (Idul Adha) dan hijrah ke Makkah.

Pada waktu itu, ibu kota Negara Mataram di Kartasura dipenuhi ribuan orang. Semua pangeran dan pejabat tinggi lainnya serta para penguasa daerah dan rombongan tinggal untuk sementara waktu di kora kerajaan. Ada ritual besar, turnamen, para prajurit dalam pertunjukan masslal di lapangan besar di depan istana (alun-alun), parade benda-benda suci, dan pertunjukan musik serta teater di mana masyarakat umum bersama dengan orang-orang terkemuka dapat melihat kemegahan kerajaan ditampilkan.

“Itu juga merupakan waktu untuk pasar malam dan warung makan.  Bagi elite kerajaan, ini adalah kesempatan untuk memberi hormat kepada raja, untuk menunjukkan posisi mereka sendiri dalam pemeragaan yang megah, untuk ikut serta dalam urusan politik yang berat, dan sesuatu yang kurang enak untuk membayar pajak mereka. Kegagalan menghadiri garebeg dianggap sebagai indikasi pemberontakan atau ancaman pemberontakan,” jelas M.C. Ricklefs.

Baca Juga : Angkat Pariwisata Kabupaten Malang, Bupati Malang Minta Pejabat dan Pengusaha Sukseskan Konser KLa Project

Ya, Kerajaan Kartasura di masa waktu yang damai ini adalah surga bagi penikmat budaya dengan harmoni kasusastraan, musik, tarian, keterampilan bela diri, dan hal-hal adikodrati, tetapi hanya sedikit harmoni dalam politik. Sayangnya pula, kehidupan yang damai ini tidak bertahan lama. Pada tahun 1739, kerajaan terpecah menjadi menjadi faksi-faksi yang bermusuhan. Dan kapasitas Sunan Pakubuwono II untuk mengendalikan kelompok yang terpecah-pecah ini sangat lemah. Kerajaan Kartasura berada di ambang kehancuran.

Selanjutnya, perang dan pemberontakan menghiasai kisah dari Keraton Kartasura. Dan yang paling terkenal adalah peristiwa pemberontakan Geger Pecinan yang dipimpin Raden Mas Garendi.  Pada tahun 1742, Garendi dibantu etnis Tionghoa menyerbu dan menghancurkan Keraton Kartasura.

 Pemberontakan kala itu berlangsung panas. Raja Kartarsura saat itu Sunan Pakubuwana II melarikan diri ke Ponorogo.Raja kembali ke Kartasura pada akhir tahun 1743, namun kondisi kota saat itu sudah hancur. Raja kemudian memutuskan membangun ibu kota baru di Desa Sala yang kemudian bernama Surakarta. Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat berdiri dan ditempati sejak tahun 1745. 

“Kartasura menjadi ibu kota Mataram Islam selama 60 tahun. Memang tidak ada banyak kesempatan membangun Kartasura menjadi istana yang megah dan indah. Kenapa? Karena masa itu merupakan periode perang yang panjang,” papar ahli sejarah UGM Yogyakarta Dr Sri Magana. 

 


Topik

Serba Serbi Karaton Kartasura Kerajaan Mataram Islam kisah sejarah



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Yunan Helmy