MALANGTIMES - Kecanggihan nenek moyang kita dalam pembangunan di masa lalu tidak lagi diragukan. Baik pembangunan candi sampai permukiman masyarakat saat itu.
Konsep menyatu dengan lingkungan dengan mempertimbangkan berbagai kondisi wilayah telah menjadikan berbagai produk nenek moyang kita ratusan tahun lalu masih berdiri sampai saat ini. Contohnya adalah berbagai rumah kuno yang menyimpan sejarah dan kearifan teknologi masa lalu di berbagai sudut Nusantara.
Baca Juga : Didi Kempot Gelar Konser Amal dari Rumah, Hanya 3 Jam Donasi Capai Rp 5,3 Milliar
Sebagian rumah kuno tersebut ternyata ada di Kabupaten Malang. Sebut saja rumah kuno yang ada di ibu kota Kabupaten Malang, Kepanjen. Setidaknya di wilayah Kepanjen terdapat tujuh rumah kuno peninggalan Belanda yang masih bertahan hingga zaman now. Keberadaannya sampai saat ini masih bertahan dan berfungsi. Bahkan sebagian masih bertahan keasliannya sejak dibangun sampai sekarang.
Rumah kuno yang ada di Kepanjen bisa dilihat misalnya di Jalan Banurejo, Kelurahan/Kecamatan Kepanjen, tepatnya di belakang Pasar Besar Kepanjen. Sebuah rumah kuno bercat hijau dengan tulisan di atasnya Vila Darawati, berdiri sejak tahun 1924 dengan tanggal tertera 10 Desember. Rumah kuno ini sampai saat ini dihuni oleh pemiliknya, yaitu istri dari almarhum H M. Noor Ali, yaitu Hj Sinah.
Di dekat Stasiun Kepanjen, kita juga bisa melihat keberadaan rumah kuno lainnya. Rumah berwarna cokelat dan krem dengan ukuran besar dan tanah yang luas berdiri gagah menghadang waktu. Rumah kuno ini masih berfungsi dan kini disewakan menjadi gudang penyimpanan PT Indomarco.
Kepanjen, menurut beberapa penuturan sesepuh warga di sana, sebenarnya memiliki banyak sekali bangunan bersejarah. Misalnya di Jalan Efendi, Kelurahan Kauman. Di wilayah tersebut, rumah kuno yang keasliannya terjaga dan dirawat dengan baik berjejer dan bertahan sampai kini.
Sayangnya, tanpa adanya campur tangan pemerintah, sejak tahun 2010 jumlah rumah kuno terus berkurang lantaran beralih fungsi menjadi pertokoan dan gudang.
Selain di Kepanjen, rumah kuno yang masih bertahan ada di Desa Sempalwadak, Kecamatan Bululawang. Ada sekitar 20 rumah kuno di sana yang memiliki umur 50 tahun lebih. Atau tepatnya, dibangun sejak zaman kolonial saat Belanda membangun pabrik gula dan rumah karyawan di area tersebut. Sekitar tahun 1920 sampai tahun 1950-an.

Berarsitektur khas kolonial tanpa meninggalkan konsep bangunan Jawa, rumah kuno di Sempalwadak memiliki karakter khas dan unik untuk diteliti. Misalnya, konsep atap rumah di Sempalwadak yang juga mengikuti perkembangan waktu saat itu.
Baca Juga : Duet Dian Sastro dan Yura Yunita Saat di Rumah Saja, Warganet: Awet Mudanya Gak Ada Akhlak
Di era 1920-1930, ciri atap rumah kuno di Sempalwadak didominasi bentuk limasan pacul gowang. Terjadi perubahan di tahun 1940-1950 dengan atap perisai tunggal, atap perisai bervariasi, atap limas dan pelana.

Di Kota Malang, rumah kuno bisa dilihat juga di Jalan Jenderal Basuki Rahmat Nomor 31. Dikenal dengan nama Rumah Namsin merujuk pada nama pemilik rumah pertama, diperkirakan dibangun tahun 1924. Rumah kuno ini masih bertahan sampai saat ini sebagai bagian dari sejarah arstitektur peninggalan kolonial Belanda yang bertebaran juga di Malang Raya.
Berpindah sedikit jauh, yaitu ke Desa Sidetapa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng, Bali. Di permukiman dengan nuansa hutan yang sejuk dan alam yang terkesan masih perawan itu, terdapat rumah-rumah adat penduduk khas Bali Aga yang disebut Bale Gajah Tumpeng Salu.
Rumah kuno yang masih dihuni sampai zaman now ini ternyata berusia ratusan tahun. Terbuat dari tanah liat dan atap seng, rumah kuno ini juga unik secara posisi menghadap. Biasanya rumah menghadap jalan, namun di Sidetapa sebaliknya.
Rumah kuno Sidetapa memiliki tiga sekat ruang. Sekat pertama disebut Nista Ning Mandala dipergunakan sebagai ruang tamu. Ruang kedua disebut Madya Ning Mandala, yaitu tempat memasak, menyiapkan upacara dan menyimpan alat-alat upacara keagamaan. Terakhir disebut ruang Utama Ning Mandala yaitu tempat persembahyangan. (*)