MALANGTIMES - Ogoh-ogoh Buto dengan baluran cat warna merah, hitam dan coklat diarak oleh warga Desa Slorok Kecamatan Kromengan dalam Hari Jadi dan Bersih Desa ke - 156 sebagai simbol angkara murka masih terus bersikeras muncul dan bertahta dalam kehidupan masyarakat.
Baca Juga : Draft Sudah Final, Besok Pemkot Malang Ajukan PSBB
Berukuran sekitar 3 meter ogoh-ogoh buto yang diusung sekitar 10 orang ini muncul setelah musik drum band ditabuh anak-anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) Slorok sebagai pembuka karnaval yang dilaksanakan hari Minggu, (23/10/2016).
Kegiatan ini diikuti hampir seratus lebih peserta dan ditonton banyak warga yang memadati kiri kanan jalan yang dilewati.
“Ogoh-ogoh buto kita tampilkan dalam karnaval sebagai pengingat bahwa kejahatan akan terus ada dalam kehidupan. Berbentuk besar, buas dan jahat dan selalu menjadi musuh manusia sampai akhir hayat,”kata Misdi, Kepala Desa Slorok saat dijumpai setelah karnaval selesai.
Misdi juga menyampaikan bahwa dalam struktur pemerintahan terkecil, desa, angkara murka juga selalu turut meramaikan dan mengganggu jalannya roda keharmonisan dalam masyarakat warga.
“Kalau di karnaval angkara murka disimbolkan dengan bentuk buto raksasa, dalam kenyataan kejahatan selalu bersembunyi dan kadang tidak tampak, tetapi hasilnya begitu terasa ,”katanya.
Kejahatan sebagai sisi dari mata uang akan terus ada, karena ia bagian dari kebaikan hidup di dunia ini.
Dengan kesadaran diri dan mengaplikasikan kebenaran secara terus menerus dalam kehidupan, angkara akan melemah, lanjut Misdi yang dikenal dengan sebutan Djanggo oleh warga Desa Slorok ini.
Baca Juga : Hari ke 2 Proses Pencarian Pendaki Hilang karena Kesurupan, Puluhan Personel Dikerahkan
“Bersih Desa adalah bagian dari proses melawan angkara murka tersebut, mas. Tentunya melalui jalan budaya seperti karnaval ini. Kita juga nanti akan mengadakan pengajian dalam rangka memperkuat keimanan dalam memerangi angkara murka,” kata Budiono, Panitia Hari jadi dan Bersih Desa Slorok.
Ogoh-ogoh Buto sebagai simbol angkara murko dalam karnaval desa Slorok berjumlah tiga buah dengan ukuran tinggi hampir sama yaitu 3 meter lebih dengan warna merah, hitam dan coklat, menurut Budiono juga sebagai simbol dalam kehidupan di desa Slorok.
“Merah dan hitam adalah warna simbol dari angkara dan kejahatan. Sementara coklat sebagai warna ambigu, ragu-ragu, tidak memiliki prinsip dalam hidup. Ketiga simbol warna ini yang kita coba sampaikan kepada warga untuk pembelajaran menjadi manusia yang waspada,”katanya yang juga menyampaikan di akhir karnaval, warga ramai-ramai mengusung ogoh-ogoh Kera Putih, Hanuman, sebagai simbol kemenangan kebenaran.
Lepas dari simbolisasi ogoh-ogoh Buto tersebut, proses pembuatan ogoh-ogoh menjadi menarik.
Hal ini di sampaikan salah satu pembuat ogoh-ogoh, Mbh Kardjinan, yang menyatakan proses pembuatan ogoh-ogoh bukan sekedar membuat patung biasa.
“Ada hal-hal yang sifatnya kultural dan mistis, mas. Kita buat ogoh-ogoh dalam rangka bersih desa sehingga pembuatannya mellibatkan hal-hal yang berkaitan dengan kultur-mistis tersebut. Ada lelaku yang harus ditempuh, sederhananya. Jadi tidak semua orang dipercaya buat ogoh-ogoh,”katanya.(.)