Ketika Seorang Sahabat Nabi Pernah Ditolak Lamaran karena Wataknya
Reporter
Anggara Sudiongko
Editor
Sri Kurnia Mahiruni
22 - Dec - 2025, 09:07
JATIMTIMES - Nama Umar bin Khattab sering hadir dengan citra tegas: wajah serius, suara keras, dan keputusan yang tak kenal kompromi. Namun di balik figur baja itu, tersimpan kisah manusiawi yang jarang disorot, tentang cinta, penolakan, dan hati yang terus belajar dilunakkan.
Cerita ini bukan soal kekuasaan, melainkan tentang seorang lelaki yang pernah dua kali ditolak perempuan karena wataknya sendiri.
Baca Juga : Bulan Rajab Tiba, Ini 5 Amalan yang Dilipatgandakan Pahalanya
Pada masa mudanya, Umar bukan sosok yang asing bagi kaum perempuan. Tubuhnya atletis, kuat, piawai bergulat, dan tangguh di pacuan kuda. Ia adalah representasi lelaki idaman di zamannya. Tetapi arah hidupnya berubah drastis ketika Islam datang dan Umar tampil sebagai salah satu pembela paling keras ajaran itu. Ketegasan yang dulu dipuja, pelan-pelan justru membuat sebagian perempuan menjaga jarak. Umar dikenal jarang tersenyum, hidup sederhana sampai terkesan kikir, dan bersikap keras, terutama dalam prinsip.
Seperti lelaki Arab pada umumnya kala itu, Umar pun ingin membangun keluarga besar. Sepanjang hidupnya, ia tercatat menikahi sembilan perempuan dan dikaruniai dua belas anak, terdiri dari delapan putra dan empat putri. Sejarawan Muhammad Husain Haekal, dalam karyanya Umar bin Khattab, mencatat bahwa empat pernikahan terjadi di Makkah, sementara selebihnya setelah hijrah ke Madinah. Namun Umar tak pernah hidup dengan mengumpulkan para istrinya dalam satu rumah. Beberapa pernikahan bahkan berakhir karena Islam menuntut pilihan-pilihan baru. Di antara yang berpisah dengannya adalah Ummu Kulsum binti Jarul, Ummu Hakam binti al-Haris, serta Jamilah yang memberinya seorang putra bernama Ashim.
Haekal bahkan berpendapat, seandainya Umar diberi umur lebih panjang, besar kemungkinan ia masih akan menikah lagi. Dugaan itu bukan tanpa dasar. Menjelang akhir hayatnya, Umar sempat melamar Ummu Kulsum binti Abu Bakar. Lamaran itu disampaikan melalui Aisyah, Ummul Mukminin. Namun jawabannya menohok: Ummu Kulsum menolak. Alasannya sederhana, tapi jujur, Umar dianggap terlalu keras dan kasar terhadap perempuan.
Penolakan serupa datang dari Ummu Aban binti Utbah bin Rabi’ah. Ia menyebut Umar sebagai lelaki yang hidupnya serba ketat, wajahnya sering masam, dan tak leluasa dalam memberi. Dua penolakan ini seolah menjadi cermin yang memantulkan sisi Umar yang jarang ia ucapkan, tetapi ia sadari sepenuhnya. Watak keras itu, kata Haekal, telah melekat sejak muda dan terus terbawa hingga ia menjadi pemimpin umat.
Kesadaran itu tercermin dalam doa pertama Umar saat diangkat sebagai khalifah. Dengan jujur ia bermunajat, “Ya Allah, aku ini keras, maka lembutkanlah hatiku. Ya Allah, aku ini lemah, maka kuatkanlah aku. Ya Allah, aku ini kikir, maka jadikanlah aku orang yang dermawan.” Sebuah doa yang telanjang, tanpa pencitraan, tanpa pembelaan diri.
Menariknya, di ruang paling personal, Umar justru dikenal sangat berbeda. Banyak riwayat menggambarkannya sebagai suami yang penuh kesabaran. Suatu hari, seorang lelaki mendatangi rumah Umar dengan langkah tergesa. Ia ingin mengadu karena tak sanggup lagi menghadapi omelan istrinya. Namun begitu tiba di depan rumah sang khalifah, ia terhenti. Dari dalam, terdengar suara istri Umar yang tengah meluapkan kekesalan, bahkan lebih lantang dari keluhan istrinya sendiri. Yang mengejutkan, Umar sama sekali tak membalas. Ia diam, mendengar, dan menerima.
Baca Juga : Puasa Sunnah Bulan Rajab Baiknya Dijalankan Berapa Hari?
Lelaki itu pun mengurungkan niatnya. Beberapa waktu kemudian, ia bertemu Umar di serambi masjid dan memberanikan diri bertanya. Mengapa seorang pemimpin sebesar Umar memilih diam dan sabar? Jawaban Umar singkat, tapi menghantam kesadaran, “Wahai saudaraku, cinta adalah ketika kebahagiaan seseorang lebih engkau dahulukan daripada kebahagiaanmu sendiri.”
Umar lalu menjelaskan dengan nada yang tenang. Istrinya telah memasak untuknya, mencuci pakaiannya, mengurus keperluannya, menyusui dan merawat anak-anaknya. Jika sesekali istrinya bersikap tidak menyenangkan, baginya itu tak sebanding dengan seluruh pengorbanan yang telah diberikan. Dalam timbangan itu, tak ada ruang tersisa untuk marah.
Sikap ini selaras dengan pesan Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadis: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya, dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.” (HR. Tirmidzi). Umar, dengan segala kerasnya di ruang publik, justru menundukkan egonya di ruang rumah tangga.
Watak keras Umar memang bukan cerita baru. Ia tumbuh dari didikan ayah yang juga keras, diperkuat oleh fisik yang kokoh dan kehidupan yang jauh dari kemewahan. Apa yang disebut kikir, menurut Haekal, lebih tepat dibaca sebagai sikap hidup orang yang tak pernah benar-benar kaya. Tetapi justru dari keterbatasan dan kesadaran itulah Umar terus menempa dirinya.
