Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Sejarah

Inilah Dusun Legetang, Daerah di Indonesia yang Dihukum Allah seperti Sodom Gomorah

Penulis : Irsya Richa - Editor : Lazuardi Firdaus

29 - Aug - 2022, 08:55

Bukit dan Tugu Dusun Legetang. (Foto: Wikipedia)
Bukit dan Tugu Dusun Legetang. (Foto: Wikipedia)

JATIMTIMES - Sebuah tragedi yang melegenda di nusantara, namun masih banyak yang belum mengetahuinya. Seakan lenyap dari sejarah, kisah ini pun juga tidak pernah disinggung dalam buku sekolah. Yakni kisah suatu dusun yang penduduknya nyaris sama dengan kaum Sodom dan Gomorah.

Mendengar nama itu tentunya akan teringat mengenai kisah di zaman Nabi Luth mengenai dua kota yang hancur akibat dilaknat Allah SWT. Kedua kota tersebut hancur karena penduduknya kerap melakukan hal-hal yang dibenci oleh Allah SWT seperti mabuk-mabukan, berzina, dan berjudi.

Dalam bahasa Ibrani, Sodom berarti terbakar sementara Gomorah adalah terkubur. Memang itu yang terjadi pada kota itu, terbakar dan terkubur. Ternyata kisah nyata mengenai kota atau daerah yang hancur akibat penduduknya kerap berbuat maksiat juga terdapat di Kabupaten Banjarnegara.

Diceritakan Indra juru sejarah dalam sosial media Tik Tok @RendiN, terdapat daerah yang hilang akibat bencana tanah longsor yakni Dusun Legetang yang terletak di Desa Pekasiran, Kecamatan Batur, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.

Masyarakat di sekitar memperoleh cerita mengenai kisah tragis hilangnya Dusun Lagetang secara turun-temurun dari kakek-nenek maupun orangtuanya. Diceritakan Dusun Lagetang tersebut hilang akibat tertimbun longsor secara tiba-tiba yang terjadi pada 16 April 1955.

Cerita tersebut sampai sekarang masih terdengar di masyarakat sekitar. Bahkan, untuk mencari bekas Dusun Legetang yang hilang dalam waktu semalam sangat mudah.

Kehidupan warga Dusun Legetang saat itu, agamanya nol, kemudian akhlaknya bukan Islam. Hal tersebut karena Indonesia baru saja merdeka. Warga Dusun Legetang dulunya adalah para petani sukses dan makmur secara ekonomi.

Sehingga warga di sana tidak kekurangan secara ekonomi karena panen yang melimpah. Bahkan jika di daerah lain gagal panen namun tidak demikiannya di Dusun Legetang karena panen melimpah dengan kualitas yang baik dibanding daerah lain. Namun hal tersebut tidak menjadikan warganya bersyukur atas nikmat Allah.

Barangkali ini yang dinamakan istidraj, atau disesatkan Allah dengan cara diberi rezeki banyak. Namun warga dusun tersebut makin tenggelam dalam berbagai kemaksiatan.

Ahli maksiat perjudian di dukuh ini merajalela. Begitu pula minum minuman keras. Tiap malam mereka mengadakan pentas lengger sebuah kesenian tradisional yang dibawakan oleh penari perempuan yang sering berhubungan dengan perzinaan. Ada juga anak yang melakukan kemaksiatan bersama ibunya sendiri.

Beragam kemaksiatan sudah sedemikian parah di dusun ini. Pada suatu malam di pendapa Dusun Legetang tepatnya 16 April 1955, suara gemuruh gamelan masih bergema di seluruh penjuru desa, diiringi dengan tawa riyuh penari lengger nan genit.

Bau arak jawa, dupa, asap rokok, bersatu bersama celotehan para penonton yang mulai mabuk. Satu per satu hanyut dalam suasana nafsu berjamaah, tak peduli pria dan wanita, anak atau orang tua semua lebur berbaur dalam keriuhan libido malam itu.

Bahkan ibu dan anak atau anak dan ayah seakan tak peduli hanyut dalam hawa nafsu yang umum dilakukan tiap malam di dusun tersebut. Sehingga pada suatu malam turun hujan yang lebat dan masyarakat Legetang sedang tenggelam dalam kemaksiatan.

Jam menujukkan pukul 23.00 tiba-tiba terdengar suara dentuman sedemikian dahsyatnya. Seperti suara meteor yang jatuh menghantam bumi, gemuruh gamelan dan lenguhan riuh tiba-tiba sirna berubah menjadi sunyi.

Suara itu terdengar sampai ke dusun dan desa-desa tetangganya, namun malam itu tidak ada satu pun yang berani keluar karena suasana teramat gelap. Pagi harinya masyarakat di sekitar dukuh atau Dusun Legetang yang penasaran dengan suara yang amat keras itu pun dibuat kaget.

Mereka menyaksikan Gunung Pengamun-Amun sudah terbelah dan belahannya itu menimbun Dusun Legetang. Dusun Legetang yang tadinya berupa lembah itu bukan hanya rata dengan tanah, tetapi menjadi sebuah gundukan tanah baru menyerupai bukit. Seluruh penduduknya tewas. Gegerlah kawasan Dieng.

Seandainya Gunung Pengamun-amun sekedar longsor, maka longsoran itu hanya akan menimpa di bawahnya. Akan tetapi kejadian ini bukan longsornya gunung. Antara Dukuh Legetang dan Gunung Pengamun-amun terdapat sungai dan jurang, yang sampai sekarang masih ada. Jadi potongan gunung itu terangkat dan melewati sungai maupun jurang lalu jatuh menimpa dukuh tersebut.

Salah satu saksi hidupnya adalah Toyib (71) yang saat kejadian berusia 11 tahun. Diakui Toyib, jauh sebelum kejadian longsor tersebut dia pernah main sendiri ke dusun yang masih tetangga desa tersebut. Ketika itu, pernah main ke rumah saudaranya, almarhum Ahmad Nasir. Dalam kejadian tersebut, kelima saudaranya ikut hilang dan jasadnya tidak ditemukan karena terkubur longsoran.

Sementara itu yang hidup hanya disisakan dua orang perempuan. Mungkin disisakan dua perempuan itu untuk menjadi saksi sejarah dusun tersebut namun kini telah meninggal.


Topik

Sejarah


Bagaimana Komentarmu ?


JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Irsya Richa

Editor

Lazuardi Firdaus