Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Peristiwa

Kehidupan Suku Asli Aceh Pedalaman Keturunan Raja Ubiet, Baru Tahu Indonesia Merdeka Tahun 1985

Penulis : Desi Kris - Editor : A Yahya

15 - Apr - 2021, 14:52

Keturunan Raja Ubiet (Foto: IST)
Keturunan Raja Ubiet (Foto: IST)

INDONESIATIMES - Hidup terisolir selama puluhan tahun di tengah hutan membuat keturunan Raja Ubiet tak tersentuh peradaban modern. Mereka ialah yang dulu melarikan diri dari kejaran Belanda dari Keumala-Tangse ke pedalaman pucuk Gunung Itam.

Ironisnya, mereka baru mengetahui bahwa Indonesia telah merdeka pada tahun 1985. Bahkan hingga kini masih ada di antara mereka yang tak pernah makan garam, takut turun gunung karena menganggap negeri masih dikuasai oleh Belanda. 

Lantas seperti apa kisahnya? Berawal dari sosok Raja Ubiet yang merupakan Raja Keumala-Tangse, Aceh Pidie yang membawa pengikut dan keturunannya ke Gunung Itam di gugusan Bukit Barisan di Nagan Raya. Hal itu dilakukan dengan tujuan untuk menghindari kejaran penjajah Belanda. 

Di sana mereka hidup secara tradisional mengandalkan kemurahan alam untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bahkan mereka hidup dalam peradaban yang nyaris tanpa sentuhan modernisasi.

Diketahui, saat ini ada 50 kepala keluarga yang menempati 50 rumah di hulu Sungai Krueng Tripa di pegunungan tersebut. Mereka dipimpin oleh Teuku Raja Keumala (50), keturunan langsung dari Raja Ubiet. 

Teuku Raja Keumala merupakan raja tanpa mahkota dan kursi kerajaan di wilayah yang berbatasan dengan Aceh Tengah dan Pidi Jaya itu. Saking sederhananya, Teuku Raja Keumala sering tampil berbusana hitam-hitam tanpa alas kaki dengan kepala dililit kain hitam

Warga yang dipimpinnya tak kalah tradisionalnya dan hidup alamiah di hutan rimba itu. Malahan hingga kini, ada warga di sana yang tidak makan garam, karena tidak turun gunung. 

Selain 50 rumah yang ada di pucuk Gunung Itam, komunitas turunan Raja Ubiet yang sudah menikmati perubahan alias modernisasi membuka pemukiman baru di Gunung Kong. Disebutkan jika mereka turun gunung pada tahun 80-an, semasa gubernur Ibrahim Hasan. 

Jarak tempuh dari Gunung Kong ke Pucuk Gunung Itam membutuhkan waktu selama 2 hari 2 malam dan berjalan kaki. Karena jalannya hanya setapak dan melintasi bebatuan serta hutan rimba.

Ironisnya, kehidupan warga pedalaman di Aceh ini baru mengetahui Indonesia merdeka semasa Gubernur Ibrahim Hasan atau tepatnya tahun 1985. Kala itu, Ibrahim meminta mereka untuk turun gunung.

Seusai bertemu gubernur, rumah bantuan pun diberikan kepada mereka. Oleh sebab itu sebagian komunitas keturunan Raja Ubiet, berada di Gunung Kong. 

Sebagian turunan ke-2 Raja Ubiet lainnya masih bertahan di pedalaman dan hidup apa adanya yang bersumber dari hutan. Mereka diketahui menanam makanan-makanan seperti pisang, ketela, singkong, durian, dan juga padi, untuk makan sehari-hari. 

Selain itu, para pendatang yang berkunjung ke pemukiman itu harus tetap beradaptasi dengan warga setempat. Seperti pakaian tamu harus warna hitam-hitam dan tidak boleh berpakaian yang menyerupai penjajah Belanda karena dinilai ‘kafir’.

Tidak boleh juga memakai topi dan tanpa alas kaki. Pengharusan ini, dikarenakan untuk menghormati kebiasaan mereka sejak zaman penjajahan Belanda, tempo dulu. Kebiasaan tersebut, terbawa hingga kini kecuali komunitas turunan yang tinggal di Gunung Kong.

Tak cuma itu, untuk kaum perempuan juga harus mengenakan busana serba hitam dan memakai celana panjang seperti yang dikenakan oleh Cut Nyak Din, pahlawan nasional Aceh. Hanya saja, celananya serba longgar begitu juga bajunya. 

Disebutkan jika, pakaian mereka dijahit menggunakan tangan dan benangnya yang diolah dari benang nenas. Sementara, kainnya di pesan dari pasar melalui kurir sejak zaman penjajahan.

Pada zaman dahulu Raja Ubiet tidak mau menyerah atau takluk kepada Belanda, makanya mereka sekeluarga memilih lari ke gunung. Tak sampai di situ, di perjalanan mereka tetap dikejar dan berakhir di Pucuk Gunung Itam dan sisanya ke gunung lainnya. 

Saat dikejar itulah, mereka membuang semua alas kaki, sehingga tak mudah diendus jejaknya. Begitu juga, terangnya pakaian warna warni ikut mereka tanggalkan karena dianggap memudahkan pihak Belanda menemukan mereka. 

Perlu diketahui, tingkat kewaspadaan mereka masih tetap tinggi dan berbekas hingga saat ini. Pandangan matanya lebih sering ditujukan ke bawah, namun ekor matanya kerap mengawasi. 

Seolah dalam kesiap-siagaan penuh alias penuh kecurigaan terhadap orang asing. Meski Indonesia sudah merdeka masih ada rasa ketakutan kalau-kalau Belanda kembali mengejar mereka.


Topik

Peristiwa


Bagaimana Komentarmu ?


JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Desi Kris

Editor

A Yahya