INDONESIATIMES- Pemukiman masyarakat Tionghoa atau yang lebih dikenal dengan kawasan pecinan pasti sudah tak asing lagi di telinga. Kawasan pecinan menyebar di banyak negara di dunia termasuk Indonesia.
Lantas, apa sih sebenarnya yang menjadi alasan banyak pecinan di penjuru dunia ini? Ternyata, asal muasal hadirnya pecinan ini berangkat dari perjalanan panjang sejak ratusan tahun silam.
Kala itu, orang Tionghoa berkelana sekitar abad ke-3 dan ke-5. Dari dataran China, mayoritas pedagang mengarungi lautan menuju Asia Tenggara.
"Pecinan muncul seiring dengan diaspora para pedagang China. Diaspora China pertama bukan ke Eropa atau Amerika, tapi Asia Tenggara," kata Kepala Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia dan ahli arkeologi Profesor Agus Aris Munandar.
Lantas Agus menambahkan jika pedagang Tionghoa datang ke Nusantara yang kala itu masih diisi kerajaan Sriwijaya. Mereka lantas melakukan barter barang-barang dengan hasil penduduk pribumi.
Saat itu, etnis Tionghoa memang belum banyak yang menetap. Mereka hanya pulang-pergi dari China ke daerah di Asia Tenggara. Namun, interaksi sudah mulai terjalin.
Termasuk dengan orang India yang saat itu juga datang ke wilayah Asia Tenggara. "Mereka belajar agama Buddha dan Hindu. Tapi tujuan utama orang Tionghoa hanya berniaga. Juga belum ada di dunia, baru sampai ke Semenanjung Malaya," tutur Agus.
Barulah di masa kolonial, masyarakat Tionghoa mulai menetap di Nusantara. Pasalnya, pemerintah kolonial saat itu membutuhkan banyak buruh tenaga kasar yang murah untuk bekerja di daerah jajahan.
Mereka lalu mengimpor tenaga kerja dari China. Hingga pada 1740, orang Tionghoa melakukan pemberontakan besar-besaran di Batavia. Peristiwa ini lantas membuat banyak etnis Tionghoa terbunuh.
Untuk mencegah pemberontakan lanjutan, pemerintah kolonial lalu mengumpulkan seluruh masyarakat Tionghoa dalam suatu wilayah.
Pecinan sendiri merupakan pemukiman masyarakat Tionghoa di suatu wilayah. Kawasan ini memiliki ciri khas yakni terletak di dekat pasar karena mayoritas orang Tionghoa bekerja sebagai pedagang.
"Karakteristik utamanya adalah berada di dekat pasar. Di Banten dekat pasar, Cirebon dekat pasar yang terletak di pelabuhan," ucap Agus.
Masyarakat Tionghoa yang tinggal bersama itu lantas membuat rasa kebersamaan mereka semakin meningkat. Mereka bergotong royong untuk membuat klenteng sebagai tempat beribadah.
Selain klenteng, karakteristik lain yakni keberadaan rumah abu. Rumah abu adalah rumah untuk menitipkan abu jenazah yang sudah dibakar.
Lalu, setelah di Asia Tenggara, masyarakat Tionghoa bermigrasi ke Amerika Serikat dan Eropa setelah abad ke-19. Mereka datang ketika AS membutuhkan tenaga kerja untuk membuat rel kereta api dari pantai barat ke pantai timur.
Lantas di berbagai daerah etnis Tionghoa juga hidup bercampur dengan masyarakat setempat menciptakan akulturasi budaya baru. Mereka bahkan ada yang menikah dengan pribumi dan menghasilkan keturunan yang disebut dengan peranakan.
Menurut pengamat kebudayaan Tionghoa Johanes Herlijanto, pecinan terbentuk karena adanya kebijakan pada masa kolonial. "Secara umum, itu bagian dari kebijakan di masa kolonial. Sehingga membuat mereka berkumpul dan tetap mempertahankan budaya," kata Johanes.
Johanes juga menyebut masyarakat China menganut prinsip Guanxi, yang harus menjaga hubungan baik dengan satu sama lain, terutama keluarga. Hingga kini diketahui pecinan pun masih terus eksis di banyak negara.