MALANGTIMES - Kejahatan seksual masih sering terjadi di sekitar masyarakat. Bisa dibilang, pelaku kejahatan seksual banyak dilakukan para pria.
Namun kali ini, fenomena yang sempat heboh ialah para predator seksual yang dilakukan pria-pria berkacamata. Hal itu seakan membuat pelaku seksual memiliki "kekhasan" tersendiri.
Baca Juga : Cari Mangsa lewat Media Sosial, Korban Digaet di BiroJomblo
Fenomena itu awalnya sempat viral di media sosial. Bahkan, di Twitter telah dibuat tread khusus bagi mereka predator seksual yang dilakukan oleh pria-pria berkacamata.
Sebelumnya telah diulas, ada 11 pria berkacamata yang telah melakukan kejahatan seksual. Salah satu kasus kejahatan seksual yang paling fenomenal ialah kasus WNI Reynhard Sinaga yang telah memerkosa ratusan pria di Inggris.
Akibat kejahatannya, Reynhard harus mendapat hukuman seumur hidup, minimal 30 tahun.
Lantas seperti apa jika para pria berkacamata itu bisa menjadi penjahat seksual dari sisi psikologi? Dosen psikologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim (UIN Maliki) Malang Dr Elok Halimatus Sa'diyah MSi mengatakan, kejahatan seksual bisa terjadi lantaran pelaku bisa saja pernah menjadi korban kejahatan seksual atau sering melihat tontonan pornografi melalui internet.
Di sisi lain, orang tua saat ini memang sulit mengontrol anak-anaknya yang masih kecil maupun remaja saat menggunakan internet. Sulitnya mengontrol anak-anak dalam menggunakan internet itulah yang menjadi salah satu pemicu kejahatan seksual bisa terjadi.
"Orang tua saat ini susah mengontrol anak-anak untuk menggunakan internet. Kalau ditanya, jawabnya mengerjakan tugas. Kita kan nggak pernah tahu, terlebih sekarang akses apa pun dilakukan dengan internet," ungkap Elok.
Di sisi lain, Elok juga mengatakan, seseorang yang sudah terlanjur terjerumus dalam kejahatan seksual, kuantitas dan kualitas hidupnya pun sangat buruk.
Soal kejahatan seksual lagi tren dilakukan pria berkacamata, Elok memberikan analisis dari segi gadget. "Kalau dihubungkan mengapa mereka berkacamata, mungkin karena sering melihat atau mengakses video prono lewat gadget ataupun laptop," ujar dia. Sehingga, lanjut Elok, kebanyakan mengakses video porno melalui gadget bisa berpengaruh kepada kesehatan mata.
Dia juga mengatakan pelaku seksual akan terus ketagihan ketika sudah pernah melihat hal-hal atau konten pornografi.
Di sisi lain, pelaku kejahatan seksual juga bisa datang dari korban. "Korban juga bisa menjadi pelaku. Karena stres ingin balas dendam, ingin dendamnya terbayarkan, sehingga ia menjadi pelaku kejahatan seksual," kata Elok.
Lantas apakah bisa pelaku kejahatan seksual sembuh? Menurut Elok, pelaku kejahatan bisa saja sembuh. "Bisa sembuh dengan melakukan terapi-terapi menurut ilmu psikologi dan juga terapi melalui kerohanian atau agama," ungkap dia.
Baca Juga : Tiga Pelaku Dikenal sebagai YouTuber, Siapa Paling Parah?
Elok juga mengatakan korban kejahatan seksual juga wajib disembuhkan. Sebab, para korban itulah yang justru mengalami stres berat sehingga membuat pola pikir mereka pendek. Hal itu membuat mereka berpikir untuk melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, seperti bunuh diri.
Selain itu, para korban pun perlu dilakukan terapi. Tujuannya untuk memperbaiki mental mereka agar menumbuhkan rasa kepercayaan diri.
Sementara, psikolog anak dan keluarga dari Yayasan Praktik Psikolog Indonesia Adib Setiawan SPsi MPsi menilai perilaku seksual menyimpang bisa berasal dari pola asuh orang tua yang keliru. "Biasanya perilaku seperti ini saat remaka atau masa kecil kurang kasih sayang dari orang tuanya," ujar Adib.
Selain itu, perilaku seksual menyimpang disebabkan tuntutan yang tak seimbang.
Misalnya orientasi orang tua yang hanya menuntut anak untuk mengasah kemampuan akademik tanpa memperhatikan pembelajaran mental.
Terkait hal ini, Adib menyarankan agar menghindarkan anak dari disorientasi seksual serta selalu menanamkan nilai-nilai kebaikan.
Pendapat berbeda disampaikan ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel. Reza mengatakan pelaku seperti Reynhard Sinaga bisa memperkosa begitu banyak pria lantaran memiliki karakter grooming behaviour.
Karakter tersebut jauh dari perilaku orang-orang yang dikira melakukan tindakan kriminal. Orang yang memiliki grooming behaviour ini identik penuh dengan pesona. Sosok itu jauh dari kata mengancam, bahkan bisa menawarkan kenyamanan.
"Riset menemukan, modus yang paling sering digunakan oleh pelaku kejahatan seksual adalah grooming behaviour," jelas Reza. "Perilakunya itu penuh dengan pesona. Dia menampilkan dirinya sebagai sosok yang meyakinkan, yang memberikan kenyamanan, yang tidak memberikan persoalan, menawarkan kehangatan, menghidangkan tawaran pertemanan dan seterusnya," ucap dia.