MALANGTIMES - Momen Lebaran menjadi suatu hal yang amat ditunggu umat muslim di seluruh dunia. Aktivitas berkumpul dengan keluarga sambil menikmati jajanan atau masakan khas Hari Raya Idul Fitri tentu menjadi hal yang dinantikan pula.
Sayangnya, semua hal tersebut harus rela ditinggalkan sementara waktu bagi merka para perantau. Itu lantaran perayaan hari besar umat muslim kali ini berlangsung di tengah pandemi covid-19.
Kondisi tersebut mengharuskan aktivitas masyarakat harus dibatasi. Salah satunya untuk tidak mudik dan tidak ke luar rumah guna memutus mata rantai penyebaran virus.
Lalu, seperti apa sih pengalaman anak rantau di Kota Malang yang harus merayakan Lebaran tanpa mudik?
1. Bingung Nggak Punya Keluarga di Perantauan
Perasaan jauh dari keluarga dirasakan mahasiswa Universitas Negeri Malang (UM) asal Medan Nurul Namira Sinatupang. Ia mengaku sangat sedih, dan bingung harus seperti apa di hari Lebaran.
Banyak pertimbangan yang akhirnya membuat Nurul tidak mudik lebaran di tahun ini. Padahal, rasa kangen untuk bertemu sanak keluarga di rumah sudah sangat dinanti.
"Ini pertama saya nggak mudik. Bingung ya, saya juga nggak punya saudara di Malang," ungkapnya.
Ia tak bisa membayangkan hari pertama Lebaran harus dilalui seperti apa. Sebab, selain tidak bersama keluarga, ia juga tak bisa menikmati makanan khas Lebaran buatan ibunya dan makanan khas Medan.
"Nggak ada rencana apa-apa. Paling salat Ied dan mungkin mau ngumpul sama temann yang dari Medan. Setelah itu melakukan kegiatan seperti biasanya. Masakan dan jajanan khas juga bikin kangen," imbuhnya.
2. Nekat Mudik Harus Diasingkan
Meski hasrat ingin pulang ke kampung halaman untuk merayakan hari Lebaran bersama keluarga sangat dinantikan, perempuan berusia 21 tahun ini mengatakan ada banyak pertimbangan yang membuatnya mengurungkan niat untuk mudik.
Perjalanan untuk menuju ke kampung halamannya cukup membutuhkan waktu karena dia harus transit terlebih dahulu antara di Batam atau Jakarta. Belum lagi, masih harus menjalani pengasingan setelah sampai di Medan.
"Awalnya kepingin banget mau pulang, tapi banyak pertimbangan. Transit menurut saya kurang efektif. Semakin banyak interaksi dengan orang lain nggak cuma orang di pesawat aja. Banyak berita juga penyebaran yang cukup banyak terjadi di bandara," jelasnya.
Pertimbangan lain, karena dirinya berada di wilayah zona merah atau di wilayah yang sudah terjangkit covid-19. Sehingga Nurul khawatir, kondisinya bisa menjadi carrier (penular) bagi orang-orang di sekitarnya.
"Kalau dipertimbangkan, saya juga belum dapat dipastikan positif atau negatif. Tapi sepertinya sangat dikhawatirkan kalau saya bisa bawa virusnya buat keluarga saya. Selain itu, dengan pertimbangan lain, saya ingin segera menyelesaikan tugas akhir saya," terangnya.
3. Kangen Kumpul Bareng Keluarga dan Minta Ampau
Hal yang sama juga dirasakan mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Rahmat Iskandar Rizki. Momen Lebaran kali ini ia tak bisa mudik ke daerah asalnya, Jambi, karena covid-19.
Harapan Hari berkumpul bersama keluarga besarnya harus hilang. Apalagi ia merasa suasana rumah tak hanya sekadar tempat untuk pulang, tapi kebersamaan keluarga besar itu memiliki nilai tersendiri.
"Ya pasti suasana ngumpul bareng keluarganya (tidak ada karena tidak mudik) karena rumah itu esensinya bagi saya bukan hanya sekadar tempat untuk kembali pulang, tetapi ada saja orang yang ada di dalamnya," ujarnya.
Pria berusia 24 tahun ini mengaku, tradisi berbagi ampau Lebaran di keluarganya masih yang paling dinantikan. Di samping juga kangen dengan lontong sayur buatan ibunya.
"Jadi, biasanya abis salat Ied yang paling saya kejar itu makan lontong sayur buatan ibu. Setelah itu, main ke rumah tetangga. Sehabis ke rumah-rumah tetangga, baru deh ngumpul ke rumah nyai atau nenek. Di sana semua keluarga besar ngumpul dan yang paling di tunggu-tunggu ya minta duit THR-nya pasti. Lumayan buat tambah jajan kalau di Malang," ungkapnya.
4. Sedih Tak Bisa Memastikan Kondisi Keluarga Secara Langsung di Tengah Pandemi Covid-19
Lain halnya cerita Rizka Arisfilda Rachmadani D. Arifin, mahasiswa Psikologi UMM ini mengaku sangat sedih tak bisa merayakan lebaran di kampung halamannya di Palu.
Meski ini bukan kali pertama ia tidak mudik, pandemi Covid-19 menjadikannya lebih khawatir dengan keadaan keluarganya. Apalagi, tidak bisa memastikannya secara langsung.
"Rasanya sedih sih sebenernya karena nggak bisa ketemu orang tua, nggak bisa langsung mastiin mereka di sana baik baik apa nggak. Nggak bisa ngeliatian perkembangannya adik gimana. Tapi ya mau bagaimana lagi. Yang ngerasain hal ini bukan hanya aku aja, hampir semua orang juga," ungkapnya.
Perempuan berusia 19 tahun ini menambahkan, keadaan ini membuatnya untuk lebih bersyukur. Meski dia tidak mudik, masih tetap bisa menjalani kehidupan dan memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
"Banyak loh dari mereka di samping mikir kesehatan masing-masing dan keluarga masih ada yang harus mikirin besok makan apa, nggak ada pemasukan karena covid-19 ini. Harus selalu ingat ngeliat ke bawah biar tetap bersyukur, apalagi di bulan penuh keberkahan," terangnya.