MALANGTIMES - Air mata mengalir cukup deras di atas pipi pria berusia 50 an tahun yang telah terbaring di atas kasur itu. Tak ada sepatah katapun yang keluar, yang ada hanya terdengar suara sesenggukan saja. Sesekali dia memandang ke arah sekeliling dengan tatapannya yang kosong.
Baca Juga : RSUB Layak Jadi Rumah Sakit Rujukan Covid-19
Sesekali pula ia tersenyum saat diajak mengobrol oleh orang-orang yang ada disekitarnya. Pria kurus kering itu dikenal sebagai Muhammad Bahri. Teman dan tetangganya sering memanggilnya Bahri. Sejak lima tahun terkahir, dia tak lagi bekerja atau berkativitas sendiri. Dia hanya bisa terbaring di atas kasur yang sangat kecil.
"Loh, bapake nangis. Wis ojok nangis (Sudah jangan menangis; red)," kata istri pria yang tengah terbaring di atas kasur yang hanya cukup untuk satu orang itu. Perempuan itu bernama Siti Kholifah. Dengan telaten, Kholifah menyeka air mata suaminya tersebut.
Kholifah bercerita, suaminya dulu bekerja sebagai sopir pick up. Kesehariannya ia selalu mengantarkan sayur dan buah-buahan di Pasar Induk Gadang. Tapi lima tahun lalu, suaminya tiba-tiba saja mengeluh sakit dan nyeri pada kakinya.
Dikira hanya sakit biasa, Bahri pun berobat seadanya. Sesekali ia mendatangi pengobatan alternatif. Hingga satu tahun berlangsung, sakitnya semakin parah dan kekuatan kakinya pun semakin melemah. Hingga akhirnya ia terpaksa berhenti bekerja dan tak lagi memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya.
"Awal ngeluh nyeri mbak, tapi berobat satu tahun nggak ada hasil. Lama-lama kakinya itu pincang," tambah Kholifah.
Sakit bapak dua anak itu pun semakin parah di tahun-tahun berikutnya. Pada akhirnya, bukan hanya kakinya yang tak bisa bekerja seperti biasa. Tangannya turut melemah dan tak bekerja seperti biasa. Bahkan, Bahri saat ini tak lagi bisa berbicara normal.
Dia hanya bisa mendengar orang-orang disekitarnya berbicara dan memberi sedikit respons. Karena sampai saat ini, Bahri hanya bisa terbaring lemah. Jangankan bekerja atau melakukan aktivitas seperti mandi dan makan sendiri, untuk berdiri dan duduk saja, pria berusia 50 tahun lebih itu sangat kesulitan, bahkan tak bisa.
Kholifah melanjutkan ceritanya. Dia menyampaikan jika dulu ia sempat memiliki rumah dan tinggal di Jl. Muharto Gang 7. Tapi rumah yang sudah ditempati selama 26 tahun itu kemudian dijual dan laku Rp 110 Juta. Uangnya kini sudah habis dipakai untuk berobat.
Namun sudah berobat ke beberapa tempat, suaminya tak kunjung sembuh. Saat harta benda dan rumahnya habis terjual, Kholifah pun memutuskan untuk pindah ke Rumah Susun yang disewakan Pemerintah Kota Malang.
Alasannya, ia sudah tak lagi mampu membayar uang kontrak jika harus mengontrak di sekitar rumahnya dulu. Karena harga kontrak rumah sungguh sangat mahal, dan setiap tahun terus mengalami peningkatan harga.
Berbeda dengan petakan rumah susun yang kini ia tinggali bersama suaminya yang terbaring sakit itu. Di sana, setiap bulan ia ditarik uang sewa sebesar Rp 125 ribu, kemudian ada tambahan air dan listrik. Jika dikalkulasi, secara keseluruhan uang yang dikeluarkan untuk menyewa rumah mencapai Rp 300 ribu atau bahkan Rp 325 ribu.
Di petakan yang tak begitu besar dan hanya memiliki satu kamar, satu ruang tamu, dan satu dapur serta kamar mandi itu, Kholifah dan suaminya yang sakit tak hanya tinggal berdua. Melainkan bersama dengan anak sulungnya juga menantunya yang kini dikarunai dua anak.
Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Kholifah dan suaminya hanya tergantung pada pendapatan menantu juga anak bungsunya yang sama-sama bekerja sebagai ojek online. Selain itu, ia juga sangat tergantung pada bantuan pemerintah.
Selama ini, ia mendapatkan Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dari pemerintah. Jika bantuan sedang lancar, setiap bulannya ia mendapat bantuan sebanyak 10 kilogram per bulan. Dalam beberapa kesempatan ia juga mendapat uluran tangan dari beberapa kalangan yang sering memberikan sembako.
Baca Juga : Pasien Pertama Covid-19 di Kota Batu Sembuh, Pesannya Jangan Lupa Bahagia
"Saya mau kerja itu nggak bisa. Beberapa bulan lalu saya itu kerja di catering mbak, tapi bapaknya marah-marah dan nangis kalau nggak ada saya. Kayak orang dianiaya, teriak-teriak di rumah. Akhirnya saya berhenti bekerja," tambahnya.
Setiap hari, dia tinggal di lantai empat gedung B Rumah Susun Pemerintah Kota Malang. Dia pun setiap hari harus berbagi tempat tidur dan makanan dengan menantu, anak sulungnya, juga, dua cucunya yang masih kecil. Sedangkan anak bungsunya saat ini menempati lantai lima gedung B di rusunawa yang sama.
Tinggal di rumah susun sungguh sangat ia syukuri. Meski terkadang ia merasa sangat kesulitan saat hendak mengantarkan suaminya berobat. Karena harus menaiki dan menuruni gedung hingga ke lantai empat. Sehingga, saat hendak berobat anak-anaknya harus bergantian menggendong ayahnya yang lemah tersebut.
"Tapi bapak berobatnya nggak rutin. Kalau kami ada uang saja kami berobat," imbuhnya.
Setelah uang hasil penjualan rumah habis, Bahri memang tak rutin menjalani pengobatan seperti sebelumnya. Sebelumnya Bahri sering melakukan terapi pengobatan hingga ke Kepanjen dan rumah sakit serta dokter di Kota Malang.
Kini, Bahri hanya diobatkan sesekali saja jika memiliki keluhan. Namun belum lama ini, Bahri kembali mendapat pengobatan dengan bantuan dari pegiat sosial, Yuning Kartikasari. Sekitar dua minggu lalu, Bahri kembali diobati oleh dokter ahli syaraf.
"Awalnya memang nggak diketahui sakitnya bapak itu apa. Tapi dua tahun terakhir dokter memvonis bapak ini kena stroke," terang Kholifah.
Pasca divonis stroke, pengobatan Bahri tetap tak rutin seperti semestinya. Karena biaya pengobatan ia nilai sangat mahal. Meski saat ini Bahri memiliki kartu BPJS Kesehatan, ternyata Kholifah ogah menggunakannya. Karena ia beberapa kali dikecewakan.
Dia menyebut, ia pernah mengajak suaminya berobat di salah satu rumah sakit di Kota Malang dengan menggunakan BPJS Kesehatan. Namun lantaran kamar habis, sang suami tak jadi diobati di rumah sakit. Melainkan harus menjalankan rawat jalan.
"Inginnya segera diobati kalau di rumah sakit. Tapi kamarnya habis, akhirnya obat jalan. Kan kami naik turun tangga ini juga kesulitan," tambah Kholifah.
Saat ini, pengobatan suaminya pun kembali diusahakan agar rutin dilakukan. Salah satunya dengan dibantu oleh para dokter sosial melalui pegiat sosial, Yuning Kartikasari.