Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Pendidikan

Krisis Efisiensi di Tengah Gelontoran Anggaran: Akademisi UB dan Bapanas Soroti 5 Sektor Kunci Selamatkan Ketahanan Pangan Nasional

Penulis : Anggara Sudiongko - Editor : A Yahya

05 - Nov - 2025, 16:15

Placeholder
Dari kiri, Direktur Pengendalian Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), Dr. Sri Nuryanti, STP, MP, Akademisi dan Saintis FP UB, Prof. Ir. Arifin Noor Sugiharto, M.Sc., Ph.D, Dekan Fakultas Pertanian UB, Prof. M. Purnomo, S.P., M.Si., Ph.D dan akademisi dari FP UB, Dr. Moch. Syamsul Hadi, SP., MP (Anggara Sudiongko/MalangTimes)

JATIMTIMES - Meskipun mendapat perhatian politik yang masif dan gelontoran anggaran yang sangat besar dari negara, bahkan melibatkan lintas sektor mulai dari kementerian hingga aparat keamanan, sektor pertanian Indonesia dinilai masih menghadapi tantangan efisiensi dan produktivitas yang mengkhawatirkan. Tanpa transformasi mendasar, investasi triliunan rupiah itu dikhawatirkan akan muspro atau sia-sia. Pakar dari Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya (FP UB) dan Badan Pangan Nasional (Bapanas) mendesak adanya evaluasi menyeluruh dan transformasi di lima sektor kunci: Ekosistem Industri Pangan, Kelembagaan Petani, Teknologi, Sumber Daya Manusia (SDM), dan Reforma Agraria Sejati.

Dekan Fakultas Pertanian UB, Prof. M. Purnomo, S.P., M.Si., Ph.D., secara lugas menyatakan bahwa meskipun isu ketahanan pangan kini menjadi prioritas strategis nasional yang selalu digaungkan Presiden dan para menteri, dan diikuti oleh pengerahan sumber daya yang masif, hasil akhirnya harus dievaluasi secara kritis.

Baca Juga : 3 Kesalahan Ini Bisa Bikin Jual Beli Rumah Tidak Sah Menurut Pakar Hukum

"Ini kan uang rakyat juga, anggaran yang cukup besar. SDM juga sedemikian besar dikerahkan. Ketika kemudian kita bandingkan dengan investasi yang besar ini, nah ini nanti harus kita evaluasi lagi, what's going on?," ujar Prof. Purnomo dalam pelaksanaan kegiatan Outlook Pembangunan Pertanian dan Ketahanan Pangan Tahun 2025, yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan Dies Natalis FP UB ke-65 dengan tema Membangun Masa Depan Hijau : Pertanian Modern, SDGs dan Kemandirian Pangan, Rabu, (6/11/2025).

Ia mengakui bahwa secara statistik, indikator produksi beberapa komoditas seperti beras dan jagung terlihat membaik dan menekan impor. Namun, jika peningkatan produksi tidak sebanding signifikan dengan besarnya investasi, maka ada sesuatu yang miss. "Brawijaya memberi sinyal bahwa harus ditata nih. Karena investasi kita besar. Jangan sampai nanti muspro," tegasnya, menekankan urgensi perombakan strategis agar semangat kedaulatan pangan tidak terhenti sia-sia.

Prof. Purnomo mengidentifikasi tiga hambatan utama yang menyebabkan investasi besar belum menghasilkan output yang optimal. Pertama, Percepatan SDM yang Missing Link. Solusi utamanya bukan sekadar pelatihan, melainkan menciptakan ekosistem industri pertanian yang memberi margin bagus (the pull factor) sehingga anak muda tertarik datang. "Ada gula kan ada semut," filosofinya. 

Kedua, Kelembagaan Petani yang Kerdil. Mayoritas pertanian di Jawa berciri lahan kecil-kecil, dan Gapoktan hingga kini gagal dikomersialkan menjadi lembaga ekonomi yang kuat. Korporasi petani, sebagai kunci efisiensi, belum memiliki contoh nasional yang masif. Ketiga, Fokus Teknologi yang Stagnan. Inovasi hanya berkutat pada bagian, seperti pupuk, pestisida, atau benih, bukan pada alsintan (alat dan mesin pertanian) terintegrasi yang mampu mendorong industrialisasi pertanian secara menyeluruh.

Prof. Purnomo juga merangkum lima poin transformatif yang harus segera didorong di level makro. Pertama, Penguatan Ekosistem Industri Pangan untuk mencegah anomali stok dan mengendalikan inflasi. Kedua, Transformasi Produksi (Efisiensi & Produktivitas) dengan memindahkan komoditas penyebab inflasi (cabai, bawang) ke greenhouse modern yang membutuhkan insentif dan regulasi dari negara. Ketiga, Transformasi Market, mengubah pasar becek yang fluktuasinya tinggi menjadi pasar yang lebih stabil harga. 

Keempat, Perubahan Perilaku Konsumsi, mendorong pengolahan produk pertanian (misalnya cabai dalam bentuk olahan) agar permintaan pasar lebih stabil, tidak hanya mengandalkan produk fresh. Dan yang paling fundamental, Reforma Agraria Sejati, yaitu melakukan devaluasi lahan petani kecil yang sudah tidak efisien, lalu menyatukannya ke dalam koperasi atau perusahaan di mana petani menjadi pemegang saham dan bekerja sebagai profesional, sehingga tercipta luasan lahan yang efisien.

Di sisi lain, Direktur Pengendalian Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas), Dr. Sri Nuryanti, STP, MP, menegaskan bahwa jika SDM dan SDA pertanian dikelola baik, 70 persen masalah ketahanan pangan selesai, sisanya tergantung pada stabilisasi harga dan logistik di hilir. Ia menyoroti dilema alih fungsi lahan yang dihadapi pemerintah. Pertumbuhan penduduk memerlukan Pangan, Papan, dan konektivitas (infrastruktur logistik). "Pemerintah mengalami dilema. Antara memenuhi pangan dan juga memenuhi papan," jelas Dr. Sri. 

Ia meyakinkan bahwa pembangunan infrastruktur, seperti jalan tol, sudah berupaya meminimalisir penggunaan lahan produktif dengan memprioritaskan pembangunan di atas lahan yang kurang produktif, menunjukkan sinergi kebijakan.

Sementara itu, Akademisi dan Saintis FP UB, Prof. Ir. Arifin Noor Sugiharto, M.Sc., Ph.D., menekankan bahwa menyempitnya lahan harus diatasi dengan integrasi multi-sektor melalui inovasi yang menyeluruh. Ini mencakup pengembangan benih yang spesifik (no size fits all), menciptakan kultur pertanian berkelanjutan, serta inovasi kelembagaan dan regulasi. Ia mencontohkan, di wilayah seperti NTT, teknologi secanggih apapun akan "mentok" jika lembaga dan kultur setempat belum dipahami. Inovasi harus meluas hingga ke kebijakan sosial yang melahirkan terobosan, termasuk pemanfaatan lahan kosong dan pengembangan metode modern seperti hidroponik.

Pihaknya juga menyoroti aspek yang sering luput: inovasi teknologi dan riset benih adaptif.
“Tidak ada benih yang bisa ditanam di semua wilayah. Harus ada riset yang sesuai kondisi lokal. Itu sebabnya inovasi harus berkelanjutan,” ujarnya.

Baca Juga : Hasil Lengkap Sidang MKD DPR: Sahroni, Eko Patrio, dan Nafa Urbach Diputus Bersalah, Sementara Adies Kadir dan Uya Kuya Bebas Pelanggaran

Menurutnya, teknologi tanpa memahami kultur petani dan kelembagaan lokal hanya akan mentok di lapangan. Karena itu, UB gencar mendorong riset dan inovasi yang lahir dari konteks sosial masyarakat, terutama di kawasan Indonesia Timur.
“Sebagus apa pun teknologi, kalau tidak cocok dengan karakter wilayah dan budaya taninya, hasilnya tetap stagnan,” kata Arifin.

Disisi lain, berbicara dalam refleksi 65 tahun perjalanan FP UB, Dr. Moch. Syamsul Hadi, SP., MP., menegaskan perlunya evaluasi mendalam terhadap arah kebijakan swasembada pangan nasional. Ia menyoroti bahwa berbagai program pemerintah yang kini digencarkan sejatinya memiliki pola yang nyaris serupa dengan inisiatif pada dekade 1970-1980-an.

“Kita ini pernah swasembada pangan tahun 1986, dan itu luar biasa,” ujarnya. “Tapi setelah itu? Tak pernah terulang lagi. Produksi justru menurun hingga hari ini, karena kita lupa memperhatikan kesehatan agroekosistem.”

Menurutnya, degradasi lahan yang terjadi di berbagai daerah menjadi bukti nyata bahwa aspek ekologi kerap diabaikan. “Kita menanam apa saja, produksinya turun. Karena tanahnya sudah lelah, agroekosistemnya rusak,” tegasnya. Ia mengingatkan agar program baru yang digelontorkan dengan dana besar tidak mengulang kesalahan masa lalu.

Syamsul mengajak para pemangku kebijakan untuk melihat persoalan pangan secara holistik, tidak hanya dari sisi teknis produksi, tetapi juga dari dimensi manusia, ekosistem, dan keberlanjutan. “Program boleh berjalan seperti itu, tapi jangan lupa manusianya disentuh, agroekosistemnya dijaga, kesuburan tanahnya dipelihara,” katanya. Ia menolak gagasan pendekatan instan berbasis input eksternal semata seperti bibit unggul impor, pupuk kimia berlebihan, atau spesies eksotis.

“Jangan sampai kita bangga pernah swasembada pangan, padahal kata pernah itu cuma sekali,” ucapnya dengan nada reflektif. “Bayangkan, dari 1986 sampai 2025, kita belum pernah lagi mencapainya. Artinya ada yang keliru dalam cara berpikir dan bertindak kita.”

Melalui Outlook Pertanian yang tengah disusun FP UB, ia berharap pesan penting ini bisa sampai kepada para pengambil keputusan: bahwa perguruan tinggi memiliki sumber daya dan gagasan kuat untuk membantu merancang kebijakan yang berkelanjutan. “FP UB sudah 65 tahun berdiri, dan kami tidak kekurangan SDM untuk memberi sumbangsih pemikiran, konsep, maupun rancangan program. Jadi, mohon libatkan perguruan tinggi. Itu pesan utama kami,” tandasnya.


Topik

Pendidikan ketahanan pangan bapanas universitas brawijaya prof purnomo



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Anggara Sudiongko

Editor

A Yahya

Pendidikan

Artikel terkait di Pendidikan