JATIMTIMES - "Oknum Polri untuk Membunuh Masyarakat". Kalimat itulah yang setidaknya untuk sementara waktu ini lebih layak disematkan ketimbang slogan "Polri untuk Masyarakat" sebagaimana yang digembar-gemborkan institusi seragam coklat tersebut.
Sengaja ditulis oknum karena slogan tersebut dibuat untuk menggambarkan institusi. Artinya, bisa saja masih ada polisi yang jujur dan tidak menindas bahkan membunuh masyarakat.
Baca Juga : DPD PAN Jember Kenakan Pita Hitam dan Gelar Doa Bersama Ojol
Ya, setidaknya yang terkonfirmasi dan masih terngiang-ngiang di benak masyarakat soal polisi jujur ialah statement yang disebut berasal dari pernyataan mendiang Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. "Di Indonesia ini ada tiga polisi yang jujur: Pak Hoegeng (mantan Kapolri), patung polisi, dan polisi tidur," kelakar almarhum kala itu dengan nada guyon.
Statement Gus Dur tersebut hingga kini masih bisa dengan mudah ditemui di jejak digital. Bisa saja, statement guyonan tersebut justru menjadi pernyataan serius jika mengingat bagaimana sosok beliau.
Gus Dur di masanya memang sering mengkritik lewat kalimat candaan yang sebenarnya satire dan sarkas. "Gitu saja kok repot,".
Alhasil, kalimat yang disebut merupakan pernyataan Gus Dur tersebut rasa-rasanya lebih dipedomani ketimbang slogan Polri. Masyarakat, maaf, dan mungkin saja mayoritas masyarakat ketika melihat tulisan "Polri untuk Masyarakat" kini bertanya-tanya. Siapa masyarakat yang di maksud Polri tersebut?.
Bisa jadi jawabannya ialah, maaf, pengemudi ojek online (ojol) tidak masuk pada kategori masyarakat yang di maksud institusi Polri. Kenapa?, karena, 28 Agustus 2025, seorang pengemudi ojol tewas dilindas oleh Polri -jika masih menganut jiwa solidaritas-.
Tapi jika Polri merasa keberatan menanggung kesalahan oknum, maka mereka yang melindas pengemudi ojol tersebut hanya dan atau di antara tujuh anggota Polri saja. Yakni sesuai dengan versi Polri saat awal konferensi pers yang menyebut, ada tujuh anggota polisi di dalam mobil rantis saat melindas sang ojol tersebut.
Tapi, jika melihat respon yang diberikan kepada publik, Polri bahkan melalui pucuk pimpinannya yakni Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo terang-terangan meminta maaf saat menemui keluarga ojol yang tewas dilindas anggotanya. Secara tersirat, apa yang dilakukan Kapolri menandakan jika pembunuh ojol tersebut adalah Polri, bukanlah oknum polisi.
Buktinya, setidaknya sampai saat awal diamankan, tujuh oknum polisi yang disebut Polri ada di dalam mobil rantis tidak ada yang menyampaikan permohonan maaf sebagaimana yang dilakukan sang Jenderal. Baik secara terbuka maupun pesan tertentu kepada publik atau khususnya kepada keluarga korban.
Mari kita ulas bersama secara perlahan-lahan dan tolong di koreksi jika salah. Begini, jika pengemudi ojol tidak masuk kategori yang diayomi oleh Polri sesuai slogan mereka. Lantas siapa masyarakat yang di maksud Polri?.
Di sisi lain, sampai saat ini sejumlah sumber yang berhasil dirangkum oleh penulis, belum terkonfirmasi secara rinci berapa masyarakat di Indonesia yang bekerja sebagai pengemudi ojol. Tapi secara garis besar, angka dari beberapa sumber menyebutkan jumlahnya mencapai jutaan.
Iya, ada jutaan dari total sekitar 286 juta jiwa penduduk Indonesia yang merupakan pengemudi ojol dan sementara ini tidak diayomi oleh Polri. Kenapa?, karena jelas-jelas ada yang dilindas pakai kendaraan lapis baja.
Lantas apakah sisa kategori dari jumlah penduduk lainnya di Indonesia masuk klasifikasi yang diayomi Polri sesuai slogannya. Sayangnya, belum tentu seperti itu.
Laporan terbaru dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengungkapkan, praktik kekerasan aparat justru meningkat dengan ratusan peristiwa tercatat hanya dalam kurun waktu satu tahun. Mirisnya, masyarakat sipil juga turut menjadi korban intimidasi Polri.
Merujuk pada beberapa sumber pemberitaan, dalam rentang Juni 2024 hingga Juni 2025, KontraS mencatat ada ratusan peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Angka ini menunjukkan betapa masifnya praktik kekerasan dan bahkan di antaranya merupakan kekerasan seksual yang diduga terjadi di tubuh Polri.
Rinciannya antara lain:
• 411 kasus penembakan -menjadikannya bentuk kekerasan paling dominan-;
• 81 kasus penganiayaan;
• 72 kasus penangkapan sewenang-wenang;
• 42 kasus pembubaran paksa aksi massa;
• 38 kasus penyiksaan dengan 86 korban (10 meninggal dunia, 76 luka ringan hingga berat);
• 24 kasus intimidasi;
• 9 kasus kriminalisasi;
• 7 kasus kekerasan seksual;
• 4 kasus tindakan tidak manusiawi lainnya;
KontraS juga menemukan 44 kasus salah tangkap yang menyebabkan 35 orang luka-luka dan delapan orang meninggal dunia. Selain itu, tercatat 89 pelanggaran kebebasan sipil yang menimpa beragam kelompok masyarakat. Yakni mulai dari mahasiswa, jurnalis, paramedis, petani, siswa, aktivis, hingga warga sipil biasa.
Angka yang bersumber dari KontraS tersebut ialah yang berhasil dirangkum. Bisa saja angkanya lebih dari ratusan dan bahkan ribuan hanya dalam satu tahun.
Jika meruntut kejadian sebelum-sebelumnya, Polri pernah jadi pemeran utama pada aksi bengis membinasakan ratusan masyarakat pada sebuah tragedi. Kejadiannya di Kabupaten Malang pada 1 Oktober 2022. Yakni tragedi yang terjadi di Stadion Kanjuruhan sehingga lebih dikenal dengan tragedi Kanjuruhan.
Pada tragedi itu, tercatat menewaskan 135 korban jiwa. Ratusan lainnya luka-luka. Data itu belum termasuk yang mengalami luka batin dan depresi karena kehilangan keluarganya dan sebagainya yang dirasakan hingga saat ini.
Pada saat itu, sebagian dari terdakwa adalah polisi. Namun, serangkaian penegakan hukum sempat diwarnai beragam peristiwa menggelikan. Mulai dari gas air mata yang ditembakkan polisi tertiup angin, hingga sempat adanya putusan bebas kepada dua anggota polisi yang menjadi terdakwa pada kasus tragedi Kanjuruhan tersebut.
Maklum saja, pelakunya ada yang polisi; yang menangani kasusnya adalah polisi; kemudian yang melakukan penyelidikan adalah polisi; yang menetapkan tersangka adalah polisi; dan yang melimpahkan berkas perkaranya untuk kemudian dipersidangkan ialah polisi juga.
Tapi inilah paradoks yang terjadi pada negara yang disebut oleh sebagian warganya dengan sebutan Negara Konoha atau Wakanda. Masyarakat sengaja menyebut negara ini dengan istilah fiktif karena takut dipenjara. Kalau tidak kebebasan berpendapatnya, ya fisiknya yang bakal terancam dipenjara.
Dari beragam penjelasan tersebut, lantas apakah salah jika disebut "Polri Bukan untuk Masyarakat"?. Mengingat, nyaris semua lapisan masyarakat pernah mengalami intimidasi dan mirisnya termasuk kekerasan seksual yang patut diduga dilakukan oleh anggota Polri, yang seyogianya sebagai sang penegak hukum.
Sampai di sini, kalian tentunya paham?. Tapi jika ada yang masih memaksa bertanya siapa masyarakat yang dimaksud Polri dalam slogannya yang terpasang di semua kantor kepolisian tersebut?. Jawabannya adalah. .
Iya, bisa jadi yang paling diayomi oleh Polri adalah masyarakat yang bukan dari kalangan sipil. Mereka adalah, anggota Polri itu sendiri.
Bisa jadi demikian, karena ini masih dugaan. Tapi buktinya terpampang nyata. Saat petinggi Polri melakukan konferensi pers maupun doorstep pada awal pasca tewasnya pengemudi ojol, mereka terang-terangan menyebut akan mengusut kejadian tersebut secara transparan dan objektif.
Jika mengacu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang diakses secara online, transparan ialah tembus pandang, tidak terbatas pada orang tertentu saja; terbuka. Tapi apakah bisa disebut transparan kalau menyebut anggotanya yang ada di dalam mobil rantis saja pakai inisial?, walaupun bisa berdalih pakai asas praduga tak bersalah. Hingga pada akhirnya Polri menurut ketika para mahasiswa minta disebutkan nama terang dari tujuh oknum polisi tersebut.
Di sisi lain, dalam pernyataan resminya pasca awal kejadian, beragam petinggi Polri, diakui maupun tidak, terkesan hanya memberikan pernyataan normatif. Mulai dari pernyataan yang pada intinya menyebutkan: tujuh anggotanya telah diamankan, akan kami (Polri) lakukan pemeriksaan, hingga evaluasi atas kejadian berulang tersebut.
Sebaliknya, nyaris tidak ada pernyataan "daging" yang misalnya menyebut: "Target kami (Polri) 3x24 jam kasus meninggalnya ojol ini akan menjurus pada penetapan tersangka,". Kalau terlalu singkat, seminggu atau bila perlu sebulan kasusnya dijanjikan akan terang di usut secara tuntas.
Tapi untuk mengusut tuntas kasus yang terang benderang seperti ini, apakah iya sekelas Polri dengan segala instrumen dan fasilitas serta Sumber Daya Manusia (SDM) yang diklaim unggul itu, butuh waktu lama. Jika karena mempertimbangkan unus testis nullus testis, bapak-bapak polisi tidak perlu khawatir. Video amatir yang beredar di media sosial dan viral tersebut bisa jadi bukti, mereka yang ikut demo juga bisa jadi saksi.
Setidaknya begini saja, jika memang ingin transparan, bisakah masyarakat menyimak saja, tidak usah melihat langsung terkait proses pemeriksaan kepada tujuh oknum polisi yang ada di dalam mobil rantis tersebut. Sepertinya masyarakat juga ingin memastikan, apakah anggota Polri yang tersandung kasus hukum tersebut setidaknya akan dipecat sebagaimana karyawan atau pekerja swasta yang tidak dibayar pakai uang hasil pajak?.
Mohon maaf, para pekerja swasta jangankan tersandung kasus hukum, tidak perform dalam pekerjaannya saja bisa dipecat oleh perusahaannya. Kenapa Polri tidak demikian?. Pecat saja dulu, baru di adili.
Sebagai pertimbangan, mari diulas sesuai dengan menu kegemaran Polri. Yaitu menangani kasus No Viral, No Justice. Sebelum viral kasus ojol tewas dilindas Polri, juga pernah sangat amat viral terkait sejumlah polisi yang terlibat dalam kasus Ferdy Sambo dan jelas-jelas terbukti berperan dalam pembunuhan terhadap sesama anggota Polri.
Namun pada saat awal kasus mencuat dan viral, mereka yang terlibat tidak segera dipecat. Bahkan yang diluar akal, ada yang hingga saat ini malah naik pangkat dan jabatan. Artinya, masyarakat yang turut menyumbang pajak, uangnya sebagian disalurkan kepada mereka yang terlibat kasus pembunuhan.
Bandingkan dengan masyarakat sipil. Sebagian dari masyarakat sudah dianggap lazim ketika cari kerja, misalnya, mereka harus mengurus SKCK. Termasuk di antaranya jika ingin jadi pekerja, pegawai atau petugas negara dan sejenisnya atau apa lah itu.
Kemudian apa yang dimaksud SKCK?. SKCK adalah singkatan dari Surat Keterangan Catatan Kepolisian. Iya, kepolisian. Sesuai namanya, mengurus SKCK ya harus ke kantor kepolisian.
Kalau ternyata yang mengurus tersebut memiliki catatan kriminal di kepolisian dengan beberapa ketentuan, ya tidak akan terbit SKCK dan terancam tidak lolos administrasi melamar kerja. Sedangkan Polri, mau memecat anggotanya yang jelas-jelas terlibat tindak pidana saja kadang tidak terealisasi. Ya jangan heran kalau ada polisi yang terlibat kasus Ferdy Sambo kini justru bisa naik pangkat dan ada yang dapat jabatan.
Sampai sini dipersilahkan jika ada yang mau geleng-geleng kepala dan sebagainya.
Lanjut, sebagai komparasi, Polri sepertinya tidak apple to apple jika dibandingkan dengan institusi kepolisian di negara lainnya yang tinggal telpon 911 saja segala laporan masyarakat akan langsung ditindaklanjuti. Jadi biar tidak terlalu jomplang, -meskipun ujungnya akan jomplang- bagaimana jika di komparasikan dengan sesama institusi bersenjata di Indonesia. Yakni TNI.
Seperti yang diketahui, dulunya Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian RI (Polri) sempat bergabung dalam rentang waktu yang cukup lama dalam Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau disingkat ABRI. Pembentukan organisasi angkatan perang dan kepolisian ini terjadi pada 1962.
Baca Juga : DPD PAN Jember Kenakan Pita Hitam dan Gelar Doa Bersama Ojol
Hingga akhirnya, pada era Reformasi, Polri dan TNI secara resmi dipisah. Tepatnya pada masa kepemimpinan Presiden Gus Dur yang sejatinya disebut telah mulai dirintis sejak kepemimpinan Presiden B.J. Habibie.
Pada beberapa kesempatan, TNI-Polri sejatinya juga sering menjalankan penugasan bersama. Termasuk pada pengamanan aksi demonstrasi yang baru saja viral terjadi, sebelum akhirnya Polri melindas hingga menewaskan seorang pengemudi ojol yang disebut sedang mencari nafkah tersebut.
Tapi bedanya, pada kejadian viral yang setidaknya juga beredar di media sosial baru-baru ini, sejumlah anggota TNI berseragam nampak mengacungkan jempol kepada peserta aksi dan menuai apresiasi dari warganet. Sedangkan Polri, viral karena melindas pengemudi ojol dan sukses membuat masyarakat geram. Sungguh kontras bukan?.
Pada dasarnya, tugas pokok TNI di antaranya ialah menjaga dan mempertahankan kedaulatan negara. Hal itulah yang kemudian membuat TNI sering dihadapkan dengan beberapa kasus termasuk ihwal aksi Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB).
Pada beberapa kesempatan, TNI baik melalui statement resmi maupun aksi di lapangan bahkan saat menghadapi situasi rumit, tak melulu menodongkan senjata. Bahkan saat aksi pembebasan Pilot Susi Air, Philip Mark Mehrtens yang dilakukan oleh TNI dan tentunya dengan sejumlah pihak dan institusi terkait termasuk Polri pada beberapa waktu lalu. Ketika itu, proses pembebasan sandera berlangsung dengan cara pendekatan atau negosiasi.
Hasilnya, sandera bebas dalam keadaan sehat tanpa harus mengokang senjata. Sementara Polri, menghadapi aksi peserta unjuk rasa dengan peralatan super lengkap. Padahal yang dihadapi adalah masyarakat sipil tanpa senjata seperti gas air mata hingga kendaraan super kuat berupa rantis yang digunakan Polri untuk menggilas tubuh manusia.
Sekarang begini, sementara kita letakkan profesi anda sebagai Polri dan saya sebagai penulis. Kenapa?, karena tidak ada penjelasan yang konkret saat mencoba mengakses syarat mengemudi kendaraan rantis.
Mari mengira-ngira saja, bagi kita yang terbiasa mengemudikan mobil, jangankan tubuh manusia yang lebih tinggi saat berbaring ketimbang polisi tidur. Jalan berlubang saja ketika mengemudi mobil bisa terasa goncangannya meskipun mobil dengan suspensi terbaik sekalipun.
Artinya, sebagaimana yang ada pada video viral, mobil rantis terlihat menurunkan kecepatannya sebelum akhirnya menabrak korban yang merupakan pengemudi ojol. Setelahnya, massa meminta agar pengemudi kendaraan yang dibeli dari uang masyarakat melalui pajak yang disebut mencapai nyaris Rp 1 triliun tersebut, untuk mundur.
Namun apa yang terjadi, sang pengemudi mobil rantis justru tancap gas. Alhasil, tubuh korban terlindas dua kali. Kejadian tersebut juga sepintas terlihat pada video viral yang nampak mobil rantis bergoyang saat melindas korban. Miris sekali.
Anggaplah pengemudinya tidak tahu kalau melindas pada kesempatan pertama, tapi kenapa tidak berhenti ketika mobil terasa goyang saat sekali melindas. Kenapa justru diteruskan hingga korban terlindas dua kali?, yang lagi-lagi sebagaimana yang terlihat secara sepintas pada video viral.
Sekarang coba kita pikir perlahan. Apa sebenarnya yang ditakutkan ketika berada di dalam kendaraan anti peluru?. Saya ulangi lagi, anti peluru. Iya, harusnya oknum polisi yang ada didalamnya tak perlu takut, kalian sendiri yang memutuskan membubarkan massa menggunakan mobil rantis.
Artinya, segala risiko bukankah sudah dipertimbangkan. Termasuk bagaimana jika menabrak peserta demo. Atau jangan-jangan mereka, para polisi itu bertindak dulu baru berpikir?. Ya tidak heran kalau bakal begini jadinya.
Atau mungkin, mereka sebenarnya berpikir, tapi berpikirnya rancu, begini: "Masa iya tubuh manusia ciptaan Tuhan kalah dengan kendaraan Barracuda ciptaan manusia". Sehingga mereka akhirnya tancap gas. Ujung-ujungnya, pengemudi ojol tewas, sedang mereka yang ada di dalam kendaraan taktis sehat tanpa luka sebagaimana yang nampak saat video pemeriksaan yang berlangsung baru-baru ini.
Terlepas dari pembahasan itu, ke mana arahnya kasus ini nantinya?. Kalau dari yang sudah-sudah, Polri akan menjalankan template. Yakni mulai memberikan angin surga kasusnya akan ditangani secara profesional, kemudian mencari simpati dengan mendatangi keluarga korban, kemudian memberikan bantuan dan bahkan apapun yang diperlukan oleh keluarga korban akan coba di fasilitasi Polri.
Di sisi lain, sebagian anggota Polri lainnya seolah akan mencari-cari kesalahan peserta aksi massa. Tujuannya bisa jadi untuk melegitimasi aksi anggota polisi termasuk kegemaran menembakan gas air mata bukanlah perbuatan yang salah. Dugaannya ke mana?, kalian tentunya paham!.
Sebelum kasus tewasnya seorang pengemudi ojol ini viral, Polri sering menangkap para peserta demo. Alasannya karena diduga anarkis dan menjadi provokator, hingga dituding positif pemakai narkoba dan konsumsi minuman keras (miras).
Hal itu juga terjadi pada tragedi Kanjuruhan. Ketika kasusnya meledak, Polri seolah bermain dua kaki. Satu bertugas bakal menangani kasusnya. Anggota lainnya seolah bertugas mencari apa yang bisa dijadikan kambing hitam.
Pada saat awal tragedi Kanjuruhan, Polri mengklaim menemukan botol yang mereka sebut berisi miras. Tak lama kemudian, sejumlah pihak membantah dan menyebut jika botol yang sempat disita Polri tersebut ternyata adalah berisi obat Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) untuk hewan ternak.
Kemudian, template selanjutnya adalah dalam tanda kutip "menunjuk" siapa yang bakal jadi tameng institusi. Kalau merujuk pada pernyataan resmi petinggi Polri, ada tujuh polisi yang ada di dalam kendaraan lapis baja yang menggilas pengemudi ojol. Mereka disebut masing-masing berinisial:
Kompol C, Aipda M, Bripka R, Briptu D, Bripda M, Baraka Y, dan Baraka J.
Bisa jadi beberapa di antara dari mereka bakal jadi "perisai" Polri. Tapi maaf, jika melihat pangkat masing-masing dari mereka, bisa saja semuanya bakal jadi tameng Polri. Sehingga menunjukkan Polri benar-benar komitmen objektif dan transparan dalam kasus ini.
Alhasil, bukan tidak mungkin, dia yang berpangkat Kompol sekalipun bisa jadi tersangka. Sehingga hanya Tuhan dan Polri yang tahu.
Hal itu juga sebagaimana yang dilakukan pada kasus Ferdy Sambo. Di mana, sosok yang awalnya hendak ingin dijadikan "tumbal" oleh sang Jenderal Polri kala itu ialah Richard Eliezer alias Bharada E. Tinggal nanti di simak saja pada langkah penegakan hukum selanjutnya pada kasus rantis Brimob vs ojol ini bakal seperti apa.
Apakah kembali diwarnai seperti tragedi Kanjuruhan yang sempat di vonis bebas. Sebaliknya, atau malah seperti kasus Ferdy Sambo. Dihukum, tapi setelah menjalani hukuman kembali diberdayakan di institusi Polri. Atau bisa jadi malah karena tidak menjabat di posisi "seksi" akhirnya tak segan di relakan. Semuanya di pecat dan dihukum sebagaimana mestinya demi mengharumkan citra.
Setelah template berjalan sesuai skema, tahap selanjutnya biasanya adalah "menggoreng" mereka-mereka para peserta aksi massa yang di kambing hitamkan. Praktik itu sebagaimana yang sempat terjadi pada kasus tragedi Kanjuruhan. Di mana, hukumannya bagi yang menjerat anggota polisi tergolong bisa disebut ringan. Sampai-sampai laporan model B yang diajukan keluarga korban saat itu selalu terpental.
Tahap selanjutnya adalah menunggu momentum. Kenapa?, sesuai pernyataan Gus Dur saat di undang pada salah satu stasiun televisi, beliau menyebut: "Bangsa ini penakut karena tidak mau bertindak kepada yang bersalah," tegasnya.
Sembari menunggu waktu, perlahan situasi diharapkan akan memudar. Mereka-mereka akan menunggu masyarakat lupa dan pada akhirnya memaafkannya.
Padahal jika ditelisik lebih jauh. Aksi demontrasi dipicu karena kekecewaan masyarakat yang jengah dengan rezim saat ini. Hingga akhirnya beragam lapisan masyarakat turun ke jalan dan sebagian menitipkan perjuangannya kepada mereka, para demonstran.
Termasuk pengemudi ojol bernama Affan Kurniawan yang tewas setelah dilindas kendaraan taktis Brimob. Beberapa sumber sempat menyebut, korban sejatinya tidak mengikuti aksi. Namun sedang bekerja ketika terjadi aksi yang berujung ricuh di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Jakarta pada Kamis (28/8/2025).
Bukannya yang namanya perwakilan rakyat itu mendengarkan dan berupaya merealisasikan aspirasi masyarakat. Sedangkan pada momentum belakangan ini, para anggota dewan yang terhormat sejatinya bisa bertemu dengan beragam lapisan masyarakat melalui aksi demo tanpa harus repot-repot reses.
Salah satu tuntutnya sebenarnya bisa saja cukup digambarkan pada satu kalimat sederhana yang sejatinya juga pernah digaungkan oleh lagi-lagi Gus Dur. Yakni Bubarkan DPR!.
Tapi maaf, untuk kali ini kaset lama mereka putar lagi. Sepertinya mana mau para pejabat legislatif "bubar barisan jalan" sebagaimana harapan masyarakat. Terbukti, mereka memilih work from home (WFH).
Fenomena belakangan ini itu ibaratnya seperti batang rokok. Sebagian dari para perokok pasif tak suka rokok. Penyebabnya bisa jadi karena asap yang ditimbulkan. Padahal, rokok tidak bisa disalahkan. Kenapa?, selagi tidak disulut menggunakan api melalui korek, rokok tidak akan keluar asap.
Jadi korek-lah yang berperan antagonis pada simulasi ini. Kemudian siapa yang berperan menjadi korek hingga akhirnya menyulut kemarahan masyarakat yang kemudian turun ke jalan?. Iya, kita semua sudah bisa menjawab dalam hati saat membaca tulisan ini.
Ngomong-ngomong soal rokok. Asap yang dibenci oleh sebagian para perokok pasif tersebut justru sangat digemari pemerintah. Terlebih cukainya bisa terus di naikkan. Bahkan, kini menjadi salah satu penyumbang pendapatan tertinggi bagi negara.
Sayangnya tidak hanya rokok, sekarang nyaris apapun di tarik pajak. Tapi ini tidak berlaku bagi anggota dewan maupun pegawai negeri sipil atau pejabat negara lainnya termasuk Polri yang disebut pajak pendapatannya otomatis di potong oleh negara. Sedangkan masyarakat yang kerja swasta dan memenuhi ketentuan, ya tidak ditanggung negara.
Di sisi lain, perekonomian dianggap oleh sebagian masyarakat umum justru semakin lesu. Bahkan komitmen soal lapangan pekerjaan yang dijanjikan, ternyata terkesan hanya berlaku bagi segelintir orang. Terutama yang ada pada lingkaran pemerintahan yang bahkan bisa merangkap pekerjaan di tengah masyarakat yang kelaparan karena tak kebagian kerjaan.
Hal itu lah yang kemudian memicu beragam lapisan masyarakat turun ke jalan. Menyuarakan aspirasinya. Meskipun sayangnya, harus ada korban jiwa. Ibarat lagu yang di populerkan Raisa, masyarakat saat ini Serba Salah. Diam merasakan tertindas, bersuara tetap ditindas. Ralat, bahkan terancam dilindas pakai kendaraan taktis.
Tapi kaset lama tak selamanya selalu enak di dengar. Meski template pada beberapa peristiwa yang tak jarang menuai keberhasilan, namun bisa jadi fenomena semacam ini justru bakal semakin chaos.
Akibatnya, jika tidak segera di redam dan mencoba sedikit mendengar rakyat, bukan tidak mungkin kejadian 1998 terulang. Dulu mertuanya, sekarang menimpa mantan menantunya.
Hanya sekedar mengingatkan, istilah roger tidak hanya digunakan oleh institusi tertentu saja. Namun juga digunakan oleh people power. "Roger, gedung DPR sudah dikuasai, setelah ini bergerak ke titik selanjutnya". Demikianlah lah setidaknya yang terjadi pada 1998 hingga sang digdaya 32 tahun akhirnya lengser.
Tapi ini bukan sekedar soal rezim, kembali lagi, ini soal Polri yang ibaratnya menjadi korek api dan justru semakin menyulut emosi massa. Hingga akhirnya situasi semakin mencekam terlebih usai melindas pengemudi ojol.
Kejadian ini seharusnya jadi alarm. Bendera one piece yang sempat dilarang dikibarkan di depan rumah. Kini telah bertebaran di jalan.
Pada punchline tulisan ini penulis ingin bertanya, slogan Polri untuk Masyarakat masihkah relevan??. Atau justru seperti yang sudah-sudah, mencari siapa yang mengkritisi, kemudian ketika ketahuan publik dan viral akan dijadikan Duta Polri?. Sebagaimana yang dialami aktivis sekaligus musisi Sukatani.
Sebaliknya, atau malah Polri akan wait and see karena template mereka seolah sudah terbaca. Mari saling introspeksi. Jangan memburu rakyat sendiri!.
Disusun oleh: Pers_pektif Penulis