JATIMTIMES - Pada akhir abad ke-16, Indonesia bagian barat mengalami ketegangan politik yang mengguncang dasar-dasar kekuasaan Kesultanan Mataram. Konflik ini dipicu oleh perasaan cemburu dan ambisi yang mengarah pada pemberontakan besar yang dikenal sebagai Pemberontakan Pati.
Konflik ini melibatkan dua tokoh utama: Adipati Pragola I dari Pati dan Panembahan Senopati, pendiri Kesultanan Mataram. Kisah ini bukan hanya tentang perebutan kekuasaan, tetapi juga tentang hubungan keluarga yang rumit dan pergeseran kekuasaan yang bersejarah.
Baca Juga : Hilang 5 Hari Usai Pamit Kerja, Petani Ditemukan Tewas di Perkebunan Lebakharjo
Adipati Pragola I, yang bernama lahir Wasis Jayakusuma, adalah putra Ki Panjawi atau Ki Ageng Gede Penjawi, seorang tokoh berpengaruh dalam sejarah Jawa dan penasihat penting Kesultanan Mataram. Ki Panjawi merupakan keturunan kelima Bhre Kertabhumi melalui garis ayahnya, Ki Ageng Ngerang III, sedangkan ibunya, Raden Ayu Panengah, adalah putri Sunan Kalijaga dari istri putri Aria Dikara.
Sejak kecil hingga dewasa, Ki Panjawi mendapat gemblengan ilmu agama dan pemerintahan langsung dari Sunan Kalijaga, serta bimbingan spiritual dari leluhurnya yang masih keturunan Sunan Ngadipala (Syekh Maulana Maghribi) atau Sunan Gresik.
Seperti halnya Sunan Kalijaga yang menjadi anggota Walisongo sekaligus penasihat raja di tiga generasi, Ki Panjawi juga kerap menjadi penasihat bagi sahabat dan kerabat dekatnya, seperti Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani, serta bagi menantunya yang tak lain adalah Panembahan Senopati.Putri Ki Panjawi, Putri Waskita Jawi, yang bergelar Kanjeng Ratu Mas, menjadi permaisuri pertama Panembahan Senopati dan melahirkan Raden Mas Jolang.
Wasis Jayakusuma menggantikan ayahnya sebagai Adipati Pati, memimpin sebuah wilayah strategis di pesisir utara Jawa Tengah. Kedudukan Pragola di Pati, ditambah hubungan darah dan pernikahan yang erat dengan keluarga Panembahan Senopati, memberi pengaruh besar terhadap dinamika politik dan keseimbangan kekuasaan di Kesultanan Mataram.
Pada akhir abad ke-16, Kesultanan Mataram di bawah pimpinan Panembahan Senopati mengalami momen-momen penting dalam proses ekspansi dan konsolidasi kekuasaannya. Salah satu episode yang menarik perhatian adalah penaklukan Madiun oleh Panembahan Senopati melalui pernikahan strategisnya dengan Retno Dumilah, putri Pangeran Timur, penguasa Madiun.
Pernikahan ini, meski awalnya tampak sebagai langkah cerdas dan harmonis dalam memperkuat posisi Mataram, ternyata menyimpan benih-benih konflik yang mendalam.
Retno Dumilah, yang diangkat sebagai permaisuri kedua Panembahan Senopati, memberikan dampak signifikan terhadap dinamika internal kekuasaan di Kesultanan Mataram. Sebagai seorang wanita dari latar belakang kekuasaan yang kuat, Retno Dumilah membawa serta kekuatan politik dan sosial yang tidak bisa diabaikan. Namun, kehadirannya juga mengundang ketidakpuasan dan kecemburuan dari Adipati Pragola I, seorang tokoh penting dalam struktur kekuasaan Mataram.
Adipati Pragola I merasa cemburu dan terancam oleh posisi Retno Dumilah, dan ketidakpuasannya ini lebih dari sekadar masalah pribadi. Ketidakpuasan Pragola I berakar pada kekhawatiran terhadap posisi keluarganya di bawah pemerintahan Panembahan Senopati. Adipati Pragola I memiliki kakak perempuan, Ratu Mas, yang merupakan istri pertama Panembahan Senopati. Dengan hadirnya Retno Dumilah, ada potensi ancaman terhadap kekuasaan dan status Ratu Mas serta anak-anak dari pernikahan tersebut.
Dalam konteks ini, Pangeran Adipati Juminah, anak dari pernikahan Panembahan Senopati dan Retno Dumilah, muncul sebagai calon pewaris tahta yang dapat mengancam posisi keluarga Adipati Pragola I. Cemburu Pragola I bukan hanya mengenai hubungan pribadi, tetapi juga terkait dengan masa depan kekuasaan dan struktur politik di Mataram. Ketidakpastian mengenai masa depan keluarga dan posisi kekuasaan Pragola I mengguncang stabilitas internal Kesultanan Mataram.
Keterpurukan Pragola I akhirnya mencapai puncaknya dengan keputusan untuk memberontak melawan Panembahan Senopati. Pemberontakan ini tidak hanya mencerminkan ketidakpuasan pribadi Pragola I, tetapi juga ketidakmampuannya untuk mengatasi ketidakpastian dan ancaman terhadap posisi keluarganya. Konflik ini menunjukkan bagaimana dinamika kekuasaan, cemburu pribadi, dan ketidakpastian politik dapat berpotongan dan memicu peristiwa-peristiwa besar dalam sejarah.
Ketegangan yang mengendap ini perlahan berubah menjadi tuntutan nyata yang akan menjadi pemicu ledakan konflik.

Ketegangan antara Pati dan Mataram semakin memuncak ketika Pragola I mengirimkan utusan, Patradita, kepada Panembahan Senopati dengan permintaan wilayah tambahan di utara Gunung Kendeng. Mataram, dalam upaya untuk meredakan ketegangan, mengabulkan sebagian dari permintaan tersebut dengan memberikan wilayah seperti Warung Blora, Grobogan, dan Jipang. Namun, Pragola I merasa ini masih belum cukup dan meminta lebih banyak lagi.
Permintaan Pragola untuk mendapatkan tombak dan batangnya merupakan uji kesetiaan yang berisiko. Panembahan Senopati, yang curiga terhadap maksud tersembunyi, hanya memberikan tombak tanpa batangnya. Langkah ini menunjukkan bahwa meskipun ada upaya untuk meredakan ketegangan, pertentangan yang lebih dalam sedang terjadi.
Pada tahun 1600, Pragola I memutuskan untuk memulai pemberontakan terbuka. Pasukan Pati yang dipimpin oleh Adipati Pragola I terdiri dari sejumlah jenderal tangguh seperti Mangunjaya, Arya Sindurraja, dan Rajamanggala. Mereka menyerbu dan menaklukkan beberapa wilayah, termasuk Warung, Blora, Grobogan, dan Jipang. Ketegangan ini mengancam kestabilan Kesultanan Mataram dan memaksa Panembahan Senopati untuk merespons dengan cepat.
Pertempuran Prambanan: Konflik Keluarga yang Memanas
Panembahan Senopati, menyadari ancaman yang mendalam dari pemberontakan Pragola I, memutuskan untuk mengirimkan Adipati Anom Mataram, Raden Mas Jolang, sebagai panglima perang untuk menghadapi pasukan Pati. Pertempuran sengit terjadi di dekat Prambanan, di mana Adipati Anom Mataram berhadapan langsung dengan pamannya, Adipati Pragola I. Pragola I, dengan kesaktiannya, berhasil memukul mundur pasukan Adipati Anom Mataram.
Pragola I sempat menolak untuk melawan langsung keponakannya sendiri. Dalam sebuah tindakan yang menunjukkan penghormatan sekaligus rasa sayang yang mendalam, ia meminta Panembahan Senopati untuk turun tangan secara pribadi menghadapi pemberontakan yang dipimpin oleh keponakannya. Namun, keponakannya, yang bersikeras melawan pamannya, tetap pada tekadnya untuk berperang.
Ketegangan dalam keluarga semakin memuncak ketika Pragola I mengambil langkah drastis untuk mencoba menghentikan perlawanan keponakannya. Dalam sebuah insiden yang penuh kekerasan dan tragis, Adipati Pragola I memukulkan gagang tombak hingga mengenai pelipis keponakannya, menyebabkan luka berdarah. Tindakan ini mencerminkan betapa dalamnya perseteruan tersebut, serta betapa besarnya tekanan yang dihadapi oleh Pragola I dalam situasi ini.
Mengetahui bahwa anaknya terluka, Ratu Mas, istri pertama Panembahan Senopati dan kakak perempuan Adipati Pragola I, telah merelakan kemungkinan kematian adiknya. Sikap Ratu Mas ini menambah dimensi emosional dalam konflik tersebut, menunjukkan betapa kerasnya dampak personal dari ketidakstabilan politik di keluarga kerajaan.
Panembahan Senopati diam-diam menyiapkan rencana cadangan. Bersama Adipati Mandaraka, Senopati turun ke medan perang. Dengan strategi dan kekuatan yang lebih matang, Panembahan Senopati berhasil membuat pasukan Pati kacau. Banyak prajurit Pati terluka dan tewas dalam pertempuran ini, dan Pragola I sendiri terpaksa mundur.
Baca Juga : Puluhan Ton Beras Gerakan Pangan Murah Polresta Banyuwangi Ludes Diserbu Warga
Setelah kekalahan di Prambanan, Pragola I melarikan diri ke Sungai Sampang, di mana banyak prajuritnya tewas dan mayat mereka mengapung di permukaan air. Meski Panembahan Senopati terus mengejar, Pragola I menghilang tanpa jejak. Beberapa catatan sejarah menunjukkan bahwa Pragola I mundur ke wilayah pertahanannya di Gunung Pati, Semarang, dan bertahan hingga akhir hayatnya.
Kekalahan Pragola I meninggalkan jejak mendalam dalam sejarah Kesultanan Mataram. Pemberontakan ini bukan sekadar episode militer, melainkan cermin intrik dan ketegangan politik yang membelit keluarga bangsawan. Hubungan darah ternyata tak selalu menjamin kesetiaan; di balik gelar dan sumpah setia, tersimpan ambisi yang dapat memecah belah.
Dari titik inilah, arah politik Mataram berbelok menuju fase baru. Kemenangan Senopati tidak hanya menutup lembaran perang, tetapi juga menandai awal penataan ulang jalur suksesi dan struktur kekuasaan, demi memastikan tak ada lagi celah bagi pemberontakan serupa.

Usai meredam gejolak, Panembahan Senopati kembali ke Mataram sebagai pemenang. Namun, kemenangan ini meninggalkan konsekuensi besar bagi tatanan pemerintahan. Dalam upaya menjaga stabilitas, Raden Mas Jolang, keponakan Pragola I, diangkat menjadi raja kedua Mataram dengan gelar Panembahan Hanyakrawati.
Panembahan Hanyakrawati menunjukkan kemampuannya sebagai penguasa dengan melakukan berbagai pembangunan infrastruktur dan penataan kota. Ia membangun Prabayeksa dan taman Danalaya, serta mempercantik Keraton Kotagede. Kepemimpinan Hanyakrawati tidak hanya dikenal karena kekuatan politiknya tetapi juga karena kontribusinya dalam bidang arsitektur dan sastra.
Pemberontakan Pati adalah babak penting dalam sejarah Kesultanan Mataram, yang tidak hanya melibatkan pertarungan fisik tetapi juga pertarungan emosional dan politik yang mendalam. Konflik ini mengungkapkan bagaimana ambisi, cemburu, dan hubungan keluarga dapat memengaruhi jalannya sejarah.
Keberhasilan Panembahan Senopati dalam mengatasi pemberontakan dan melanjutkan kekuasaannya membuktikan kekuatan dan ketahanan Kesultanan Mataram di tengah pergolakan. Pemberontakan Pragola I dan dampaknya terhadap sejarah Mataram menunjukkan betapa pentingnya stabilitas politik dan hubungan kekeluargaan dalam menentukan nasib sebuah kerajaan.
Dari pusaran konflik itu, lahirlah babak baru yang lebih damai, ketika perhatian Mataram beralih dari medan perang menuju penguatan pemerintahan dan pembangunan di bawah penerus tahta.
Legasi Panembahan Hanyakrawati dan Warisan Kesultanan Mataram
Meski Adipati Pragola I menghadapi akhir yang penuh konflik dan kehampaan, kekhawatirannya ternyata tidak sepenuhnya menjadi kenyataan. Raden Mas Jolang, yang dikenal kemudian dengan gelar Panembahan Hanyakrawati, terangkat sebagai Raja Mataram yang kedua, menggantikan Panembahan Senopati setelah wafatnya pada tahun 1601. Keputusan untuk menjadikannya sebagai penerus tahta adalah cerminan dari posisi istimewa yang dimilikinya, sebagai putra Panembahan Senopati dari permaisuri dari Pati, daerah yang memiliki hubungan penting dengan Kesultanan Mataram.
Panembahan Hanyakrawati, meskipun berada di urutan kesepuluh dalam daftar putra-putri Senopati, memiliki keunggulan yang jelas dibandingkan saudara-saudaranya yang lain. Nama-nama seperti Raden Mas Tembaga dan Raden Mas Kedawung diangkat sebagai Adipati dan Pangeran, sementara Raden Mas Damar dan Raden Bagus baru diangkat sebagai Pangeran oleh Sultan Agung, menunjukkan kompleksitas dinamika kekuasaan dalam keluarga kerajaan.

Di awal masa pemerintahannya, Panembahan Hanyakrawati menunjukkan kepemimpinan yang tidak hanya berbasis pada kekuatan militer tetapi juga keahlian dalam arsitektur dan pembangunan infrastruktur. Pada tahun 1603, ia membangun Prabayeksa, kediaman resmi Raja Mataram. Dua tahun kemudian, Hanyakrawati meresmikan kolam Danalaya, tempat indah yang dibangun untuk seorang albino bernama Juru Taman, salah satu punakawan raja. Selain itu, pada tahun 1606, ia mempercantik Keraton Kotagede dengan pembangunan tembok dan gerbang baru, yang memberikan perlindungan dan kemegahan baru bagi kediaman kerajaan.
Pembangunan yang dilakukan oleh Hanyakrawati tidak berhenti di situ. Pada tahun 1610, ia melanjutkan proyek pembangunan di Kotagede dengan membangun lumbung dan taman di daerah Gading. Di tahun berikutnya, pada 1611, Hanyakrawati menciptakan tempat perburuan yang disebut krapyak beringan. Meski lokasi perburuan ini masih misterius hingga kini, kontribusi Hanyakrawati terhadap pembangunan infrastruktur Mataram sangat signifikan.
Tidak hanya berfokus pada fisik dan infrastruktur, Panembahan Hanyakrawati juga memberikan perhatian besar terhadap bidang sastra dan sejarah. Pada tahun 1612, ia memerintahkan penulisan Babad Demak, sebuah karya sejarah yang, meski kini hilang, menunjukkan upaya Hanyakrawati dalam melestarikan dan mencatat warisan budaya Mataram. Penulis Panjang Mas yang membantunya dalam proyek ini tidak meninggalkan jejak yang jelas, namun usaha ini tetap menjadi bagian penting dari usaha Hanyakrawati untuk memajukan kebudayaan dan sejarah kerajaan.
Dengan semua pencapaiannya, Panembahan Hanyakrawati meninggalkan warisan yang mendalam dalam sejarah Kesultanan Mataram. Pembangunan infrastruktur, perhatian terhadap seni dan sastra, serta kepemimpinan yang bijaksana, semuanya menciptakan fondasi yang kuat bagi Kesultanan Mataram untuk terus berkembang. Legasi Hanyakrawati adalah bukti nyata dari kemampuan seorang raja dalam menggabungkan aspek kekuasaan, budaya, dan pembangunan untuk membangun sebuah kerajaan yang kokoh dan berbudaya tinggi.