JATIMTIMES - Dalam lanskap panjang Perang Jawa (1825 hingga 1830), Oktober 1826 tercatat sebagai fase genting yang menguji kesatuan ideologis dan strategi kepemimpinan antara Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo. Bukan semata medan perang yang menjadi saksi ketegangan ini, tetapi juga jalan pikiran, keyakinan agama, dan politik dua tokoh besar ini yang akhirnya menorehkan arah baru dalam perjuangan.
Serangan ke Kota Solo atau Surakarta, yang dimulai pada 11 hingga mencapai puncaknya pada 15 Oktober 1826, menjadi titik balik yang menentukan dalam Perang Jawa. Serangan itu merupakan hasil paksaan ideologis dari Kiai Mojo yang menuntut konfrontasi langsung terhadap pusat kekuasaan Mangkunegaran dan Kasunanan Surakarta.
Baca Juga : 5 Rekomendasi Tempat Beli Pernak‑Pernik Agustusan di Malang, Biar Meriah dan Hemat!
Dalam catatan babadnya, Diponegoro menulis bahwa dirinya tidak berdaya menentang saran Kiai Mojo agar menyerbu Kota Solo, walaupun secara strategis ia tampak ragu. Keputusan ini menunjukkan bagaimana kekuatan moral dan religius Kiai Mojo tidak hanya mengarahkan pasukan tetapi juga mengendalikan kehendak sang pemimpin perang.
Solo kala itu merupakan kota yang sangat vital bagi Belanda dan kerajaan-kerajaan bawahan yang loyal. Keberadaan Sunan Surakarta dan pengaruh legiun Mangkunegaran menjadikan kota ini benteng terakhir menghadapi gempuran kekuatan militan rakyat Mataram. Serangan terhadap Solo, karena itu, merupakan taruhan besar.
Diponegoro dan Kkliai Mojo, yang kala itu telah mengumpulkan kekuatan lebih dari empat ribu orang, bermarkas di Sukareja dan Gawok. Dari sinilah, strategi dicanangkan: Kiai Mojo dan pasukannya dari Pajang mengambil posisi di Gawok. Sementara Pangeran Natapradja bertugas mempertahankan Baki. Tujuan akhir mereka adalah menaklukkan Solo melalui tekanan dari dua arah.
Namun medan dan moral pasukan tidak sepenuhnya siap. Pasukan Pajang di bawah pimpinan Chasan Besari mengalami kekalahan lebih awal di Baki.
Dalam laporan Jenderal Van Geen kepada pemerintah kolonial, disebutkan bahwa pada 15 Oktober 1826, ekspedisi gabungan bergerak dari Kalitan menuju Gawok. Kolonel Cochius didampingi pasukan infanteri dan kavaleri dari Sunan Pakubuwana VI dan Mangkunegara II. Mereka bergabung dengan kolone Le Bron, yang berangkat lebih pagi dan melalui rute Klaten menuju Zandzee hingga ke Gawok. Pertempuran sengit terjadi di Desa Baki dan Sukareja, yang merupakan titik konsentrasi utama pasukan Diponegoro.
Laporan resmi Van Geen menunjukkan kemenangan total di pihak Belanda. Pos-pos pertahanan musuh berhasil dipukul mundur dengan taktik pengepungan dua arah. Di tengah serangan meriam dan senapan yang mematikan, pasukan Kiai Mojo dan Diponegoro tercerai-berai. Bahkan dalam laporan itu dinyatakan bahwa Diponegoro sendiri terluka akibat tembakan meriam dan kemudian mengundurkan diri. Sejumlah pemimpin pasukan dan rakyat pengikutnya tewas.
Namun perspektif berbeda muncul dari Babad Diponegoro. Di sana digambarkan ketegangan internal yang mencuat antara Pangeran Diponegoro dan Kiai Mojo. Kiai Mojo bersikeras agar serangan dilanjutkan meski Diponegoro masih menyimpan keraguan karena tiga alasan: ia takut mengulang kutukan nenek moyangnya, masih teringat akan tangisan istri yang ditinggal, dan tidak ingin menjadi penyebab kematian sanak kerabat yang berada di Solo.
Pertempuran pada 11 dan 12 Oktober berlangsung dengan kekacauan di pihak pasukan rakyat. Di sisi barat Gawok, pasukan Suraya, Bulkiya, dan Penilih mengalami kekalahan. Di sisi utara, Chasan Besari dan pasukan Pajang tidak mampu menahan gempuran musuh. Kiai Mojo sendiri digambarkan melarikan diri dan datang menghadap Diponegoro dalam keadaan murung.
Namun Kiai Mojo tetap mendesak agar serangan besar dilakukan. Diponegoro akhirnya menyetujui dengan mengutus paman-pamannya dan dua basah untuk bergerak. Pada 15 Oktober, pertempuran besar pecah. Kolone Le Bron dan Cochius memukul mundur pasukan Diponegoro dari berbagai arah. Musuh menggunakan medan sawah basah untuk memperlambat laju serangan. Pasukan Kompi Ambon dan perwira Belanda bertempur habis-habisan. Walaupun perlawanan rakyat sangat keras, keunggulan logistik dan taktik kolonial membawa kemenangan.
Pada titik ini, ideologi Islam militan yang dibawa Kiai Mojo tampak mengalami benturan dengan realitas militer. Jalan jihad yang diyakininya sebagai pendorong kemenangan justru menjerumuskan pasukan ke dalam kekalahan besar. Perbedaan pendekatan antara strategi militer Diponegoro dan idealisme teologis Kiai Mojo mulai tampak mencolok. Hal ini akhirnya menyebabkan retaknya persatuan. Dalam waktu yang tidak lama setelah peristiwa ini, Kiai Mojo memisahkan diri dan akhirnya menyerah.
Kekalahan di Gawok tidak hanya berarti kekalahan taktis. Ini adalah kekalahan spiritual. Rakyat yang sudah terseret ke dalam perlawanan atas nama agama, tanah air, dan keadilan, harus menghadapi kenyataan bahwa mereka dikalahkan oleh senjata, logistik, dan keunggulan taktik lawan. Lebih menyakitkan lagi, semangat jihad yang selama ini ditanamkan Kiai Mojo menjadi alat yang membawa kehancuran. Dalam Babad Diponegoro, tertera bahwa Kiai Mojo bahkan sempat bersembunyi ketika musuh menghujani lokasi pasukan dengan meriam.
Di akhir pertempuran, Diponegoro pun terluka. Kuda tunggangannya, Kyai Wijaya Capa, membawa sang pangeran menjauh dari medan laga. Darah di tubuhnya menjadi lambang bahwa perjuangan ini telah mencapai batas pengorbanan fisik dan spiritual. Dalam narasi babad, luka itu membawa kesadaran bahwa ideologi saja tidak cukup untuk menaklukkan kekuatan kolonial yang bersenjata lengkap dan sistematis.
Serangan ke Solo, meskipun dianggap sebagian sebagai tindakan nekat, sejatinya adalah buah dari ketegangan panjang antara kehendak taktis dan kemauan spiritual. Kiai Mojo, sebagai simbol ideologi Islam yang radikal dan utopis, membawa pengaruh besar tetapi juga risiko besar. Jalan jihad yang ia tawarkan mengabaikan kalkulasi taktis, yang justru sangat dibutuhkan dalam perang asimetris seperti Perang Jawa.
Dari titik inilah sejarah mencatat bahwa kekalahan bukan hanya datang dari meriam dan senjata api. Kekalahan juga lahir dari perpecahan internal, pertentangan ideologi, dan ketidakmampuan membaca realitas politik serta kekuatan lawan. Jalan buntu serangan Solo menjadi titik patah semangat perjuangan dan membuka babak baru dalam ketegangan antara spiritualitas dan strategi di tubuh gerakan perlawanan rakyat.
Baca Juga : KPK Ungkap Potret Buram Dunia Pendidikan: Dari Menyontek hingga Korupsi Kampus
Diponegoro terus melanjutkan perang hingga tahun 1830. Sementara Kiai Mojo akhirnya menyerah dan dibuang ke Sulawesi. Hubungan keduanya retak dan tidak pernah pulih. Apa yang dahulu menjadi kekuatan besar dalam menyatukan rakyat Mataram berubah menjadi bukti bahwa perlawanan membutuhkan lebih dari sekadar keyakinan. Ia menuntut kesatuan visi, kecermatan taktik, dan keberanian untuk menimbang ulang ideologi di ujung laras meriam.
Asal Usul, Nasab, dan Riwayat Singkat Kiai Mojo: Ulama Perlawanan dari Jantung Mataram
Di tengah riuh perlawanan rakyat Jawa terhadap kolonialisme Belanda pada paruh pertama abad ke-19, nama Kiai Mojo menonjol sebagai figur ulama karismatik, ideolog perlawanan, dan pemimpin spiritual. Lahir pada tahun 1792 di Surakarta dari pasangan Iman Abdul Ngarip dan Raden Ayu Mursilah, ia membawa warisan darah biru dan ruh keulamaan sekaligus. Ayahnya dikenal sebagai Kiai Baderan, seorang ulama besar dari lingkungan keraton, sedangkan ibunya merupakan saudara Sultan Hamengkubuwana III. Dengan demikian, Kiai Mojo adalah sepupu langsung Pangeran Diponegoro.
Meski berdarah bangsawan, Kiai Mojo tidak dibesarkan di lingkungan istana. Sejak awal hidupnya berakar di pesantren dan masyarakat desa. Ia belajar agama langsung dari ayahnya, dan memperdalam ilmu Islam hingga ke Makkah. Sekembalinya ke Jawa, Kiai Mojo memimpin pesantren dan menghimpun pengikut, terutama dari kalangan santri, petani, dan ulama pergerakan. Di masa ketika penyebaran Kristen mulai menjangkau kalangan elite Jawa, Kiai Mojo tampil sebagai garda depan gerakan anti-pemurtadan.
Jalinan kekerabatan dengan Diponegoro mempererat relasi personal mereka, namun persekutuan mereka dalam konteks politik dan perang bukan sekadar urusan keluarga. Kiai Mojo percaya bahwa Pangeran Diponegoro adalah sosok pemimpin yang bisa membawa tegaknya pemerintahan syariat Islam di Jawa. Keyakinan ini menjadi fondasi ideologis yang mendorong Kiai Mojo bergabung dalam Perang Jawa sejak 1825. Dalam pandangan Kiai Mojo, perlawanan terhadap Belanda bukan hanya perang politik, tetapi juga jihad spiritual.
Hubungan keduanya sempat mencapai titik rapuh ketika perbedaan pandangan politik dan ego keulamaan mencuat. Dalam catatan babad karya Pangeran Diponegoro, terlihat bahwa sang Pangeran merasa tersinggung atas sikap Kiai Mojo yang menyiratkan superioritas keulamaan keluarga Baderan atas dinasti Mataram. Puncaknya terjadi pada Oktober 1826, ketika pasukan Diponegoro menyerbu Surakarta dan mengalami kekalahan besar di Gawok. Kiai Mojo dan kelompoknya dituduh bertindak gegabah dengan memaksa serangan demi ambisi keluarga mereka. Perselisihan ideologis dan strategi ini menandai pecahnya kepercayaan antara dua pemimpin utama perlawanan.
Kiai Mojo tetap melanjutkan perjuangannya hingga 1828. Ia bahkan berinisiatif melakukan perundingan dengan Belanda tanpa mandat dari Diponegoro. Pada 25 Oktober dan 31 Oktober 1828, ia menemui perwakilan Belanda di Mlangi. Ia menyampaikan bahwa jika Diponegoro diberi wilayah kekuasaan, maka perang bisa segera diakhiri. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa bagi Kiai Mojo, keberlangsungan kekuasaan Islam lebih penting daripada loyalitas kepada figur individual.
Namun perundingan itu berubah menjadi jebakan. Pada 12 November 1828, di lereng Gunung Merapi dekat Babadan, Kiai Mojo dikepung dan ditangkap oleh pasukan Letnan Kolonel Le Bron de Vexela. Ia menyerah tanpa perlawanan bersama 400 pengikutnya. Dalam penahanan di Salatiga, ia meminta agar sebagian besar santrinya dibebaskan dan bersedia menerima nasib apa pun dari pemerintah kolonial. Permintaan itu dikabulkan, namun ia dan sejumlah tokoh penting tetap dibawa ke Batavia.
Pada 17 November 1828, Kiai Mojo resmi diasingkan ke Tondano, Minahasa. Ia menetap di Kampung Jawa, sebuah wilayah yang disiapkan pemerintah Belanda sebagai tempat pembuangan elite pemberontak dari Jawa. Di pengasingan, Kiai Mojo tidak berhenti berdakwah. Ia membangun komunitas Muslim dan menyebarkan ajaran Islam di wilayah Sulawesi Utara. Ia wafat pada 20 Desember 1849 dalam usia lima puluh tujuh tahun.
Perjalanan hidup Kiai Mojo merepresentasikan paradoks zaman. Ia adalah ulama berdarah biru, yang memilih jalan jihad melawan penguasa kolonial dan pada saat yang sama bertikai dengan bangsawan sekutunya karena perbedaan ideologis. Ia menjadi simbol bahwa dalam perang kemerdekaan, keyakinan, spiritualitas, dan cita-cita pemerintahan ilahiah seringkali berhadapan dengan realitas politik dan kepentingan kekuasaan. Dalam dirinya berpadu semangat religius, darah kerajaan, dan dendam sejarah yang diwariskan dari konflik-konflik internal Mataram dan trauma kolonialisme Belanda.
Kiai Mojo bukan sekadar pengikut Pangeran Diponegoro. Ia adalah aktor independen dalam sejarah Jawa, yang dengan caranya sendiri mencoba menegakkan keadilan Islam di tanah yang telah lama dijajah. Warisannya hidup dalam sejarah perlawanan rakyat, dalam masyarakat Tondano yang masih mengenangnya, dan dalam narasi besar tentang jihad dan kekuasaan di Nusantara.