Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Peristiwa

Anak yang Diasingkan, Raja yang Bangkit: Kisah Lahirnya Raden Patah

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : A Yahya

18 - Jul - 2025, 09:51

Placeholder
Lukisan realis Raden Patah, raja pertama Kesultanan Demak. (Foto: created by JatimTIMES)

JATIMTIMES - Dalam hamparan zaman ketika Majapahit berada di ambang senjakala, lahirlah seorang anak dari rahim percampuran budaya, konflik istana, dan pergeseran ideologi besar: Raden Patah. Sejarah kelahirannya bukan sekadar catatan genealogi, melainkan pertarungan simbolik antara kekuasaan lama dan ideologi baru, antara raja dan rakyat, antara Hindu-Buddha dan Islam. Seperti yang dilukiskan dalam berbagai babad dan serat Jawa, kelahiran Raden Patah bukan hanya peristiwa biologis, melainkan politis dan ideologis.

Asal-Usul dan Nasab: Anak dari Perempuan Cina

Historiografi Jawa mencatat bahwa Raden Patah merupakan anak dari Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Namun, siapa yang dimaksud sebagai "Brawijaya" itu, menjadi pokok perdebatan panjang dalam tradisi literasi Jawa. Dua tokoh utama sering diidentifikasi: Prabu Kertawijaya (1447–1451 M), dan Prabu Kertabhumi (1474–1478 M). Dalam sejumlah silsilah keturunan Arya Damar—Adipati Palembang—Raden Patah disebut sebagai anak Prabu Kertawijaya, saudara Arya Damar, dan cucu dari garis kaisar Majapahit.

Baca Juga : DPRD dan Pemkab Situbondo Sepakati Perubahan KUA-PPAS 2025, Tekankan Reward Atlet

Narasi populer menyebut bahwa ibu Raden Patah adalah seorang perempuan Cina bernama Siu Ban Ci, putri dari Tan Go Hwat dan Siu Te Yo. Tan Go Hwat, yang juga dikenal sebagai Syaikh Bantong, adalah saudagar dan ulama Muslim dari Gresik. Dari garis ini, mengalirlah darah Tionghoa dan Islam ke tubuh Raden Patah. Menurut Carita Purwaka Caruban Nagari, Siu Ban Ci semula merupakan selir Prabu Brawijaya. Namun karena kecemburuan dari sang permaisuri yang berasal dari Champa, selir tersebut diasingkan ke Palembang, dan diserahkan kepada Arya Damar.

Dalam Serat Kandaning Ringgit Purwa, disebutkan bahwa Brawijaya memerintahkan Arya Damar untuk membawa istri selirnya yang sedang mengandung ke Palembang. Perintah itu berbunyi:

"Heh Damar, gawanen enggal garwa ingkang awawrat sangking Cina angsalipun, gawanen maring Palembang. Yen wis lair putranek, he Damar, sakarsanira."

Perempuan itu kemudian dibawa naik kapal bersama ibunda Arya Damar, Ni Indhang, dan para pengawal. Setelah bersalin, ia melahirkan seorang anak laki-laki yang tampan dan bercahaya: Raden Patah.

Diskriminasi Sosial dan Ideologi

Meskipun darah kerajaan mengalir dalam tubuhnya, status Raden Patah dalam sistem sosial Majapahit adalah problematik. Ibunya adalah perempuan asing, dari ras yang diklasifikasikan dalam struktur kasta Hindu sebagai kaum Mleccha, lebih rendah dari Candala dan jauh di bawah Sudra. Dalam masyarakat Jawa abad ke-15, status sebagai keturunan Cina Muslim bukan hanya berarti keterasingan sosial, tetapi juga jarak politik dari struktur istana.

Namun, justru dari keterasingan inilah tumbuh akar-akar kesadaran baru. Dalam sistem istana Hindu-Buddha yang sudah mapan, keberadaan Raden Patah adalah anomali yang revolusioner. Ia adalah simbol perubahan yang diam-diam, tumbuh dari luar pusat kekuasaan, dan kelak menjadi episentrum dari kebangkitan baru.

Pendidikan Islam dan Jaringan Ulama

Setelah menginjak usia dewasa, Raden Patah tumbuh dalam asuhan Arya Damar. Namun, menurut Serat Ringgit Purwa, ia mulai berselisih paham dengan ayah angkatnya dalam hal keagamaan. Arya Damar masih memegang ajaran Buddha, sedangkan Raden Patah condong kepada Islam:

"Arya Damar nganggeni ngelmu Buda, Raden Patah pan agama ngelmu Islam kang sayekti."

Ketidakpuasan ini membawanya untuk pergi dari Palembang. Ia melakukan perjalanan uzlah, bertapa di Gunung Sumirang bersama adiknya, Raden Kusen. Dalam proses pengembaraan itu, mereka sampai ke tepi laut dan bertemu pelaut Cina yang membawa mereka ke Jawa. Di tanah Jawa, mereka berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya. Di sinilah fondasi intelektual dan spiritual Raden Patah mulai terbangun kokoh.

Raden Patah bersama Raden Kusen dan Sunan Ampel

Sunan Ampel bukan hanya guru, tetapi juga pemberi legitimasi. Raden Patah menikahi Dewi Murtasimah, putri Sunan Ampel. Raden Kusen menikahi Nyai Wilis, cucu Sunan Ampel. Ikatan pernikahan ini memperkuat posisi sosial-politik Raden Patah di dalam jaringan Wali Songo dan membuka jalan menuju peran kepemimpinan yang lebih besar.

Dakwah, Pengaruh Politik, dan Konflik Kekuasaan

Kabar tentang aktivitas Raden Patah dan Raden Kusen sampai ke telinga Prabu Brawijaya. Raden Kusen diundang ke istana dan diberi jabatan Adipati Terung. Raden Patah diperintahkan membuka pedukuhan di Glagah Wangi. Namun karena penguasa lokal menolak dakwah Islam, Raden Patah mundur ke Demak dan membangun komunitas baru di sana.

Demak berkembang cepat. Ketika Raden Patah diundang menghadap raja Majapahit, ia disambut dan diberi jabatan Adipati Bintara. Dalam catatan historiografi Banten dan beberapa versi Babad, disebutkan bahwa Raden Patah kemudian menggulingkan penguasa Bintara, Lembu Sora, dan mengangkat diri sebagai penguasa. Lembu Peteng, anak Lembu Sora, diangkat menjadi anak oleh Raden Patah. Sejak saat itu, lahirlah negara Islam pertama di Jawa: Kesultanan Demak.

Raden Patah kemudian menyatukan kekuasaan Bintara dan Demak, memakai gelar panjang: Senapati Jimbun Ningrat Ngabdurrahman Panembahan Palembang Sayidin Panatagama. Sebuah gelar yang mencerminkan kekuasaan politik, garis darah bangsawan, dan otoritas spiritual.

Historiografi dan Tafsir Modern

Sumber-sumber seperti Tome Pires dalam Suma Oriental menguatkan bahwa pendiri Dinasti Demak adalah cucu seorang Muslim Tionghoa dari Gresik. Sumber-sumber lokal seperti Carita Purwaka Caruban Nagari dan Serat Ringgit Purwa juga mendukung narasi ini. Namun, perbedaan antara Babad Tanah Jawi, versi Banten, dan teks-teks kolonial memperlihatkan bahwa sejarah Raden Patah ditulis dalam berbagai kepentingan politik dan budaya.

Dalam pandangan saya sebagai penulis, babad tidak semestinya dibaca sebagai catatan historis yang literal, melainkan sebagai narasi simbolik yang memuat lapisan-lapisan makna kultural dan politik. Kisah Raden Patah, dalam konteks ini, mencerminkan sebuah transisi historis besar: dari kosmologi Hindu-Buddha menuju spiritualitas Islam, dari pola kekuasaan agraris menuju jaringan kekuatan maritim, dan dari sentralitas istana menuju kepemimpinan ulama serta pesantren.

Baca Juga : Bupati Jember Lepas Ribuan Mahasiswa KKN Kolaboratif 2025

Lahir sebagai anak yang diasingkan, tumbuh dalam diskriminasi sistem kasta, berguru kepada para ulama besar, dan akhirnya bangkit menjadi raja, kisah Raden Patah adalah narasi perubahan zaman. Ia adalah anak revolusi yang menolak tunduk pada garis warisan tetapi menciptakan warisan baru.

Sejarah kelahiran Raden Patah bukan hanya sejarah satu individu, tetapi simbol transformasi peradaban Jawa. Di tubuhnya bertemu tiga dunia: Majapahit, Tionghoa Islam, dan pesantren. Dari keterpinggiran itulah, lahir kekuasaan baru yang akan mewarnai Nusantara selama berabad-abad.

Meluruskan Sejarah: Raden Patah Tidak Pernah Menyerang Majapahit

Sejarah, sebagaimana narasi yang diturunkan lintas generasi, tidak pernah bebas dari bias dan kepentingan. Dalam konteks Jawa, satu dari sekian mitos yang mengendap dalam benak kolektif masyarakat adalah keyakinan bahwa Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, menggulingkan Majapahit melalui serangan bersenjata. Namun, penelaahan kritis atas sumber-sumber historiografis baik berupa prasasti, naskah babad, maupun catatan asing, mengungkapkan narasi yang berbeda. Majapahit tidak runtuh oleh serangan Demak, melainkan oleh konflik internal antar-elite istana.

Kejatuhan Majapahit terjadi pada tahun 1478 M, saat Bhre Kertabhumi—raja yang berkedudukan di Trowulan—dilaporkan gugur dalam perebutan kekuasaan dengan Dyah Ranawijaya Girindrawardhana dari Kediri. Candrasengkala "sirna ilang kertaning bumi" (1400 Saka atau 1478 Masehi) menandai akhir dari dinasti Majapahit di pusat kekuasaan lamanya. Dalam konteks ini, Raden Patah, yang telah mendirikan basis kekuasaan Islam di Demak Bintara, justru tampil sebagai penerus kebudayaan Jawa dalam bentuk baru: Islam sebagai identitas politik dan spiritual.

Asal-usul Raden Patah sendiri menjadi diskursus historiografi yang kompleks. Sejumlah sumber menyatakan bahwa ia adalah putra Prabu Brawijaya, namun pertanyaan krusialnya adalah: Brawijaya yang mana? Jika merujuk pada Pararaton dan Prasasti Waringin Pitu, maka yang dimaksud adalah Dyah Kertawijaya (berkuasa 1447-1451), bukan Bhre Kertabhumi. Silsilah ini diperkuat oleh Carita Purwaka Caruban Nagari dan beberapa silsilah keturunan Arya Damar, yang menempatkan Dyah Kertawijaya sebagai ayah biologis Raden Patah melalui pernikahan dengan seorang perempuan dari Champa atau keturunan Tionghoa-Gresik bernama Siu Ban Ci.

Raden Patah kemudian diangkat sebagai pejabat Pecat Tandha di Bintara oleh sang ayah, dan dibina secara spiritual oleh Sunan Ampel di Surabaya. Di bawah asuhan Wali Songo, khususnya Sunan Ampel, Sunan Giri, dan Sunan Bonang, ia membentuk fondasi politik berbasis Islam yang kuat di wilayah pesisir utara Jawa. Strategi dakwah yang digunakan para wali ini bersifat asimilatif dan dialogis, bukan konfrontatif. Oleh karena itu, Islam tumbuh bukan sebagai kekuatan militer, melainkan sebagai arus budaya baru yang menyeberang melalui jaringan perdagangan, pesantren, dan pusat-pusat dakwah di pesisir.

Narasi bahwa Raden Patah menyerang Majapahit muncul dari Babad Tanah Jawi, naskah yang disusun jauh setelah peristiwa runtuhnya Majapahit. Dalam babad tersebut, terdapat kisah simbolik bahwa Demak—dengan bantuan para wali—menghancurkan Majapahit yang dianggap kafir. Namun, babad merupakan karya sastra sejarah (sastra sejarah) yang ditulis dengan tujuan legitimasi politik Mataram Islam pada abad ke-17. Mataram, yang mengklaim sebagai pewaris Majapahit, membutuhkan narasi tentang runtuhnya Majapahit oleh kekuatan Islam sebagai bentuk justifikasi ideologis.

Dalam kenyataannya, kejatuhan Majapahit justru disebabkan oleh konflik horizontal antara Bhre Kertabhumi dan Dyah Ranawijaya. Keduanya berasal dari dinasti yang sama, yaitu keturunan Rajasa, dan sama-sama berebut klaim atas takhta. Tidak ada bukti historis yang menunjukkan intervensi militer dari Demak dalam peristiwa ini. Bahkan setelah Majapahit runtuh, Demak tidak serta-merta menyerang Kediri. Sebaliknya, Demak tumbuh menjadi pusat kekuasaan Islam yang memusatkan perhatiannya pada konsolidasi wilayah dan penguatan jaringan keulamaan.

Masjid Agung Demak yang didirikan pada tahun 1479 M menjadi penanda bahwa Demak telah mapan sebagai kekuatan politik dan spiritual. Dari sana, ekspansi dakwah Islam menyebar ke Tuban, Lasem, Gresik, Cirebon, dan Sunda Kelapa. Wali Songo membangun jejaring spiritual dan sosial yang efektif, menggantikan pola patronase istana Majapahit dengan patronase pesantren.

Dalam kerangka ini, Demak tidak lahir sebagai antitesis Majapahit, melainkan sebagai transformasi kultural dan spiritual dari kebesaran Majapahit yang lama menuju era baru. Raden Patah tidak meruntuhkan Majapahit, tetapi mewarisi semangat peradaban dengan ruh yang berbeda: dari Hindu-Buddha ke Islam, dari agraris ke maritim, dari keraton ke pesantren. Meluruskan mitos sejarah ini penting agar kita tidak terjebak pada narasi yang dibentuk oleh kepentingan masa lampau.

Historiografi yang akurat harus dibangun di atas pondasi bukti yang sahih, bukan dongeng yang ditulis untuk membenarkan legitimasi kekuasaan. Dalam terang penelitian sejarah kritis, Raden Patah adalah jembatan antara dua dunia: penghabisan Majapahit dan kelahiran peradaban Islam Jawa. Ia bukan penakluk, melainkan pendiri masa depan.


Topik

Peristiwa Majapahit raden patah prabu brawijaya kisah raden patah



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

A Yahya