Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Hasan Ali: Syekh Siti Jenar Palsu dari Cirebon, Keturunan Prabu Siliwangi

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

24 - Mar - 2025, 12:16

Placeholder
Ilustrasi Hasan Ali sedang berdakwah, seorang bangsawan Cirebon yang mengaku sebagai Syekh Siti Jenar. (Foto: Dibuat dengan AI/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Sejarah Syekh Siti Jenar telah lama diselimuti kabut mistifikasi dan manipulasi narasi. Dalam berbagai literatur dan tradisi lisan, kisah hidupnya kerap bercampur dengan legenda dan polemik. Salah satu distorsi terbesar adalah tentang eksekusinya oleh Wali Songo di Masjid Agung Demak, yang dalam penelitian lebih lanjut ternyata keliru. 

Hukuman mati itu bukan dijatuhkan kepada Syekh Siti Jenar, melainkan kepada dua orang yang mengaku sebagai dirinya: San Ali Anshar dan Hasan Ali. Artikel ini akan menyoroti sosok Hasan Ali, salah satu dari dua tokoh tersebut, untuk mengurai benang kusut sejarah yang telah berabad-abad terselubung dalam manipulasi politik dan kepentingan ideologis.

Baca Juga : RUMAT Wujudkan Kepedulian dengan 1.000 Paket Sembako bagi Yatim & Dhuafa

Hasan Ali: Dari Raden Anggaraksa hingga Syekh Lemah Abang

Hasan Ali, sebelum dikenal dengan nama tersebut, adalah seorang bangsawan dari Pajajaran bernama Raden Anggaraksa. Ia merupakan putra dari Rsi Bungsu dan cucu dari Prabu Surawisesa, penguasa Galuh Pakuan. Sebagai keturunan bangsawan, ia tumbuh dalam lingkungan elite Sunda yang kental dengan tradisi kepercayaan Hindu-Buddha. Namun, ketika dewasa, ia memilih untuk meninggalkan kepercayaan leluhurnya dan memeluk Islam, sebuah keputusan yang menimbulkan konflik dengan ayahnya sendiri.

Penolakannya terhadap ajaran Hindu-Buddha membuatnya diusir dari istana. Ia kemudian melarikan diri ke Giri Amparan Jati, tempat di mana ia berguru kepada Syekh Datuk Kahfi dan mendapatkan nama Islamnya, Hasan Ali. Namun, perjalanan spiritualnya tidak berjalan mulus. Ketika masih dalam tahap belajar, ia diculik kembali oleh orang-orang suruhan ayahnya dan dipaksa kembali ke Pajajaran.

Setelah berulang kali melarikan diri dan berusaha mendalami Islam, Hasan Ali justru tersesat dalam pencarian spiritualnya. Ia bertemu dengan berbagai guru yang mengajarkan ajaran mistik dan ilmu sihir, sesuatu yang kemudian menjadi inti dari ajaran sesat yang ia sebarkan di kemudian hari.

Keruntuhan Kerajaan Sunda pada tahun 1579 menandai berakhirnya salah satu peradaban besar di Nusantara. Selama 909 tahun (669–1579 M), kerajaan ini berdiri kokoh, dengan Pakuan Pajajaran sebagai pusat pemerintahannya. Namun, pada akhirnya, gempuran dari luar, terutama dari Kesultanan Banten yang menjadi penerus kejayaan Islam di tanah Sunda, menyebabkan kehancuran kerajaan yang pernah berjaya ini.

Di balik runtuhnya Pajajaran, garis keturunan raja-raja Sunda masih tetap bertahan, meski mereka harus beradaptasi dengan perubahan zaman. Salah satu keturunan Prabu Siliwangi yang memiliki perjalanan hidup penuh kontroversi adalah Hasan Ali, yang sebelum dikenal dengan nama tersebut, adalah seorang bangsawan Pajajaran bernama Raden Anggaraksa.

Sebagai putra Rsi Bungsu dan cucu Prabu Surawisesa, Raden Anggaraksa lahir dalam masa-masa kritis ketika Pajajaran sedang berada di ambang kehancuran. Ia tumbuh di tengah konflik politik dan militer yang melemahkan kerajaan warisan leluhurnya. Namun, alih-alih menjadi bagian dari perlawanan terakhir Pajajaran, ia justru memilih jalan yang berbeda—jalan yang kelak menjadikannya sosok kontroversial dalam sejarah Nusantara.

Tanda-tanda kemunduran Kerajaan Sunda sudah tampak sejak pemerintahan Prabu Surawisesa (1521–1535). Putra dari Prabu Sri Baduga Maharaja (Prabu Siliwangi) ini dikenal sebagai raja yang berani dan gigih mempertahankan Pajajaran dari serangan luar. Dalam Carita Parahiyangan, ia disebut sebagai penguasa yang terlibat dalam 15 pertempuran dalam 14 tahun pemerintahannya, sebagian besar melawan kekuatan gabungan Kesultanan Demak dan Cirebon.

Sejak awal abad ke-16, dua kekuatan Islam dari pesisir utara Jawa ini secara agresif berupaya merebut wilayah Pajajaran. Fadillah Khan (Faletehan), panglima perang Demak, memimpin ekspansi ke barat dan berhasil menguasai Banten serta Sunda Kalapa (sekarang Jakarta) pada 1527.

Untuk menghadapi ancaman ini, Pajajaran mencoba membentuk aliansi dengan Portugis. Pada tahun 1522, sebuah perjanjian ditandatangani, memberikan izin bagi Portugis untuk membangun benteng di Sunda Kalapa sebagai bentuk kerja sama pertahanan. Namun, sebelum benteng itu sempat dibangun, pasukan Faletehan menyerang dan menyingkirkan pengaruh Portugis, memutus harapan Pajajaran untuk mendapatkan bantuan dari luar.

Meski demikian, Surawisesa tidak tinggal diam. Ia tetap berusaha mempertahankan sisa-sisa wilayah kekuasaannya, terutama di Pakuan dan Galuh. Namun, tekanan yang terus-menerus dari Cirebon dan Demak membuat Pajajaran semakin terdesak.

Pada tahun 1533, Surawisesa mendirikan Prasasti Batutulis di Bogor sebagai penghormatan kepada ayahnya, Prabu Siliwangi. Prasasti ini mencatat pencapaian-pencapaian besar sang raja, seolah menjadi tanda perpisahan dengan kejayaan yang mulai memudar.

Setelah Surawisesa wafat, penerusnya tidak mampu mempertahankan kestabilan kerajaan. Kemunduran semakin nyata hingga akhirnya pada tahun 1579, Pajajaran runtuh setelah serangan besar dari Kesultanan Banten.

Di tengah situasi yang penuh gejolak ini, lahirlah Raden Anggaraksa, putra dari Rsi Bungsu, seorang bangsawan Pajajaran yang memilih jalur spiritual daripada politik. Sebagai cucu Prabu Surawisesa, Anggaraksa tumbuh dengan warisan kebesaran Pajajaran yang mulai luntur di hadapan gelombang Islamisasi.

Alih-alih melanjutkan perjuangan kerajaan Sunda, Anggaraksa memilih untuk beradaptasi dengan zaman. Dalam prosesnya, ia masuk ke dalam lingkungan Islam di Kesultanan Cirebon dan kemudian dikenal dengan nama baru: Hasan Ali.

Namun, Hasan Ali tidak hanya sekadar masuk Islam. Ia mulai menyebarkan pemahaman keagamaan yang berbeda dari ajaran Islam yang umum diajarkan oleh para wali. Dipengaruhi oleh ajaran-ajaran lama Pajajaran yang sarat dengan mistisisme Hindu-Buddha, ia mencetuskan gagasan bahwa manusia dan Tuhan adalah satu, bahwa ibadah lahiriah tidak penting, serta bahwa surga dan neraka hanyalah konsep batiniah yang tidak nyata.

Pemikirannya yang menyimpang ini segera menarik perhatian para ulama dan penguasa di Cirebon serta Banten. Ajaran Hasan Ali dianggap sebagai ancaman karena dapat menggoyahkan otoritas Islam yang sedang berkembang di tanah Sunda.

Yang membuat situasi semakin rumit adalah pengakuannya sebagai Syekh Siti Jenar, atau setidaknya sebagai penerus ajaran Siti Jenar, seorang tokoh sufi kontroversial yang juga dianggap sesat oleh para ulama pada masa sebelumnya. Ajarannya dengan cepat menyebar di kalangan masyarakat, terutama di pedalaman Sunda dan Banten, memicu keresahan di kalangan elite keagamaan dan politik saat itu.

Hasan Ali dan Pemalsuan Identitas Syekh Siti Jenar

Salah satu penyebab utama kebingungan sejarah adalah kemiripan nama Hasan Ali dengan Syekh Siti Jenar yang bernama asli Hasan Ali al-Husaini. Kesamaan ini, ditambah dengan latar belakangnya yang juga berasal dari wilayah Cirebon, membuat banyak orang keliru menganggap mereka sebagai orang yang sama. Hasan Ali memanfaatkan kebingungan ini untuk mengukuhkan dirinya sebagai seorang wali suci dengan gelar Syekh Lemah Abang.

Ia mendirikan berbagai pedukuhan Lemah Abang di Cirebon dan sekitarnya, yang berada berdekatan dengan wilayah yang sebelumnya dibangun oleh Syekh Siti Jenar. Dengan demikian, masyarakat awam mudah tertipu dan menganggap ajaran Hasan Ali sebagai ajaran asli Syekh Siti Jenar.

Ajaran Hasan Ali berbeda secara fundamental dengan ajaran Syekh Siti Jenar. Jika Syekh Siti Jenar mengajarkan tauhid yang murni, dengan konsep wahdatul wujud dalam pengertian mistik Islam yang dalam, Hasan Ali justru mencampurkan ajaran Islam dengan unsur-unsur Hindu, Buddha, dan bahkan kepercayaan Majusi dari Persia.

Salah satu inti ajaran Hasan Ali adalah konsep keberadaan manusia yang setara dengan Tuhan. Ia mengajarkan bahwa untuk mencapai keilahian, seseorang harus menguatkan keyakinan bahwa dirinya adalah Tuhan sendiri. Ini berbeda dengan konsep tasawuf dalam Islam yang mengajarkan fana', yaitu lenyapnya ego individu dalam keesaan Allah.

Baca Juga : Kisah Sufyan Ats-Tsauri: Teladan Zuhud, Keberanian, dan Keteguhan dalam Menegakkan Kebenaran

Ia juga menyebarkan berbagai amalan dan doa yang menyimpang dari Islam, seperti Sindung Kraton, sebuah doa yang mengandung unsur Zoroastrianisme (Majusi). Doa ini menekankan bahwa ruh manusia menyatu dengan berbagai unsur alam dan makhluk gaib, termasuk jin dan setan. Berikut adalah penggalan dari doa tersebut:

"Eh, eh., eh. Ya aku sindung liwang liwung, ya aku wis ana kene, ya aku Ratu Agung, Ratu Sugih, Ratu Wasesa, Ratu Kuasa, Ratu Binatara, Ratu Sampurna. Jumeneng neng Pulo Kencana, angratoni sekehe rasa kabeh..."

Doa ini mencerminkan sinkretisme antara Islam, Hindu-Buddha, dan Majusi, yang bertentangan dengan konsep tauhid Islam yang murni. Melalui ajaran ini, Hasan Ali berhasil menarik banyak pengikut, terutama dari kalangan rakyat kecil seperti petani, tukang, pedagang kecil, dan buruh.

Vonis Hukuman Mati untuk Hasan Ali

Setelah ajaran Hasan Ali semakin menyebar dan membingungkan masyarakat, para Wali Songo melakukan berbagai upaya untuk meluruskan pemahaman umat. Alih-alih langsung menjatuhkan hukuman, mereka memilih untuk melakukan dakwah keliling, menjelaskan perbedaan antara ajaran tauhid yang benar dan ajaran sesat yang disebarkan oleh Hasan Ali.

Namun, setelah upaya penyadaran dilakukan dan masyarakat mulai memahami perbedaan ajaran tersebut, tindakan tegas pun diambil. Vonis hukuman mati dijatuhkan kepada Hasan Ali, bukan kepada Syekh Siti Jenar. Hukuman ini dijalankan di Ndalen Kanggaraksan, rumah Hasan Ali sendiri di Cirebon.

Eksekusi dilakukan oleh Sunan Gunung Jati dengan keris Kantanaga, yang dalam beberapa sumber lain disebutkan sebagai milik Sunan Kudus. Sementara itu, San Ali Anshar, orang Persia yang juga mengaku sebagai Syekh Siti Jenar, dieksekusi di Pamantingan (Mantingan) oleh Sunan Kalijaga.

Salah satu propaganda yang terus beredar hingga kini adalah bahwa eksekusi Syekh Siti Jenar dilakukan di masjid, baik di Masjid Agung Demak maupun Masjid Ciptarasa Cirebon. Ini adalah kesalahan sejarah yang disengaja oleh pihak-pihak yang ingin mendiskreditkan Islam.

Menurut pandangan Sunan Kalijaga, masjid adalah tempat ibadah, bukan tempat eksekusi atau penghukuman. Oleh karena itu, hukuman mati terhadap Hasan Ali dan San Ali Anshar dilakukan di tempat lain yang lebih sesuai untuk penegakan hukum.

Selain itu, cerita bahwa setelah eksekusi jenazah Hasan Ali berubah menjadi bangkai anjing adalah propaganda politik yang bertujuan untuk menanamkan ketakutan kepada masyarakat agar tidak mengikuti ajaran sesatnya. Hal ini juga menjadi bagian dari strategi politik Kesultanan Demak untuk membenarkan tindakan mereka dalam menumpas ajaran yang dianggap menyimpang. 

Melalui penelusuran ini, menjadi jelas bahwa Syekh Siti Jenar tidak dihukum mati oleh Wali Songo. Yang dieksekusi adalah Hasan Ali dan San Ali Anshar, dua orang yang mengaku sebagai dirinya dan menyebarkan ajaran sesat.

Sejarah sering kali ditulis oleh pihak yang berkuasa, dan dalam kasus ini, propaganda politik telah menyebabkan kaburnya fakta. Dengan meneliti ulang sumber-sumber sejarah, kita dapat mengungkap kebenaran yang selama ini tertutup oleh mitos dan manipulasi.

Syekh Siti Jenar: Wali dengan Nasab Mulia, Bukan Jelmaan Cacing

Syekh Siti Jenar, yang memiliki nama asli Syekh Datuk Abdul Jalil, berasal dari garis keturunan ulama besar dan bangsawan yang bermuara pada Rasulullah Muhammad SAW. Berdasarkan Naskah Wangsakerta, ia lahir di Malaka sebagai putra Syekh Datuk Sholeh dan cucu Syekh Datuk Isa, seorang ulama dari Bharata Nagari (India). Silsilahnya terhubung dengan Sayyid Abdul Malik dari Bharata Nagari hingga Syekh Abdul Qadir al-Jilani, menunjukkan bahwa ia bukan tokoh mistis yang muncul tiba-tiba, melainkan bagian dari jaringan ulama berpengaruh dalam penyebaran Islam di Nusantara.

Syekh Datuk Sholeh, ayahnya, terpaksa meninggalkan Malaka akibat konflik politik setelah Sultan Muhammad Iskandar Syah digulingkan pada 1424 M. Ia awalnya menetap di Palembang, tetapi karena masih menghadapi ancaman, ia berpindah ke Cirebon di bawah perlindungan Ki Samadullah (Pangeran Walangsungsang), seorang tokoh penting dalam Islamisasi di Jawa Barat.

Syekh Siti Jenar sendiri lahir sekitar 1426 M dan dibesarkan di lingkungan Pakuwuan Caruban (Cirebon). Ia diasuh oleh Ki Danusela dan dididik oleh Syekh Datuk Kahfi, yang membentuk dasar keilmuannya. Setelah dewasa, ia memperdalam tasawuf dan mengembangkan ajaran yang kemudian menjadi kontroversial.

Tidak seperti para wali lain, makam Syekh Siti Jenar masih menjadi perdebatan. Beberapa lokasi yang diklaim sebagai makamnya antara lain Kompleks Pemakaman Kemlaten (Cirebon), Bukit Amparan Jati (Cirebon), Desa Lemah Abang (Jepara), dan Mantingan (Tuban). Pengikut tarekat Akmaliyah meyakini bahwa makamnya sengaja dibiarkan tanpa tanda untuk menolak pengkultusan individu.

Banyak naskah seperti Serat Seh Siti Jenar dan Babad Tanah Jawi menyebutkan bahwa ia dieksekusi oleh Wali Songo karena ajarannya dianggap sesat. Namun, kajian kritis terhadap Serat Bayanullah menunjukkan bahwa ia justru dihormati oleh para wali. Syekh Siti Jenar menghabiskan hari-hari terakhirnya dalam pengasingan di Kemlaten, Cirebon, bersama sahabatnya seperti Nyi Mas Gandasari dan Ki Ageng Pengging.

Ketika wafat sekitar 1530 M, jenazahnya tetap dimakamkan dengan penghormatan oleh Wali Songo, menegaskan bahwa ia tetap dianggap sebagai ulama besar. Kisah eksekusi tampaknya lebih bermuatan politis, berkaitan dengan peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Demak.

Sejarah Syekh Siti Jenar perlu dikaji dengan pemisahan antara mitos dan fakta. Narasi bahwa ia berasal dari cacing adalah distorsi yang bertujuan mendiskreditkannya. Berdasarkan bukti silsilah dan sejarah, ia adalah seorang ulama sufi yang memiliki pengaruh besar dalam Islamisasi Nusantara. Kisah hidup dan wafatnya yang kontroversial mencerminkan dinamika intelektual Islam di tanah Jawa yang masih relevan hingga kini.


Topik

Serba Serbi syekh siti jenar hasan ali syekh siti jenar palsu



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana