Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Serba Serbi

Membongkar Silsilah Syekh Siti Jenar: Wali Dengan Nasab Mulia, Bukan Jelmaan Cacing

Penulis : Aunur Rofiq - Editor : Dede Nana

21 - Mar - 2025, 10:15

Placeholder
Situs Tri Tinggal di Dusun Centong, Desa Purworejo, Sanankulon, Blitar – petilasan tiga tokoh besar: Syekh Siti Jenar, Raden Kebo Kenaga, dan Sunan Kalijaga. (Foto: Aunur Rofiq/JatimTIMES)

JATIMTIMES - Syekh Siti Jenar, nama yang menggetarkan lintasan sejarah Islam di Nusantara, tetap menjadi sosok penuh enigma dalam historiografi Wali Songo. Sosoknya sering kali diposisikan sebagai antitesis dari para wali lain, terutama karena ajarannya yang dianggap melampaui norma-norma syariat yang berlaku di masanya. 

Tak hanya ajaran-ajarannya yang kontroversial, namun juga asal-usul dan nasabnya diselimuti berbagai versi, mulai dari kisah mistis hingga penelusuran genealogi yang bersumber dari naskah-naskah historis.

Baca Juga : Garage Day 2025: GOW Surabaya Berbagi Berkah Ramadan Bersama 4.552 Keluarga Miskin

Dalam khazanah kepercayaan masyarakat Jawa, terutama yang terekam dalam Babad Tanah Jawi dan Babad Demak, Syekh Siti Jenar dikisahkan bukan berasal dari rahim seorang ibu, melainkan dari seekor cacing yang memperoleh pencerahan ilahi setelah mendengar wejangan rahasia Sunan Bonang kepada Sunan Kalijaga di tengah samudera. Narasi ini, meski mengandung simbolisme sufistik, telah melahirkan banyak kesalahpahaman mengenai sosoknya.

Namun, bila ditelusuri melalui sumber-sumber historiografi yang lebih konkret, Syekh Siti Jenar sejatinya memiliki nasab yang jelas dan tidak dapat dilepaskan dari garis keturunan bangsawan dan ulama besar yang bermuara pada Rasulullah Muhammad SAW. Sumber utama yang mengonfirmasi silsilah ini adalah naskah Wangsakerta, sebuah manuskrip berharga dari Kesultanan Cirebon yang ditulis oleh para sejarawan istana dengan metode pencatatan yang sistematis dan ketat.

Asal-usul dan Nasab: Keturunan Mulia dari Jalur Rasulullah

Jika merujuk pada naskah Wangsakerta, Syekh Siti Jenar, yang nama aslinya adalah Syekh Datuk Abdul Jalil, lahir di Malaka sebagai putra dari Syekh Datuk Sholeh. Ia merupakan cucu dari Syekh Datuk Isa, seorang ulama besar yang berasal dari Bharata Nagari (India) dan bermigrasi ke Nusantara dalam gelombang penyebaran Islam pada abad ke-14.

Silsilahnya berujung pada jalur keturunan Sayyid, yang secara genealogi bermula dari Nabi Muhammad SAW, kemudian diteruskan melalui Fatimah az-Zahra dan Ali bin Abi Thalib, lalu Husein bin Ali, Ali Zainal Abidin, dan Ja'far Shadiq. 

Dari keturunan ini, garis nasabnya berlanjut kepada Maulana Abdul Malik dari Bharata Nagari, diikuti oleh Al-Amir Abdullah Khannuddin, kemudian Al-Amir Ahmadsyah Jalaluddin atau yang lebih dikenal sebagai Syekh Abdul Qadir al-Jilani. Selanjutnya, keturunan ini sampai pada Maulana Isa, yang juga dikenal sebagai Syekh Datuk Isa dari Malaka, kemudian berlanjut ke Syekh Datuk Sholeh, ayah dari Syekh Siti Jenar.

Dengan demikian, Syekh Siti Jenar bukanlah tokoh yang muncul secara tiba-tiba atau memiliki asal-usul mistis yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik. Ia merupakan bagian dari jaringan ulama dan bangsawan yang memiliki pengaruh besar dalam penyebaran Islam di Nusantara, terutama di wilayah Cirebon dan Demak.

Berdasarkan penelitian silang terhadap berbagai sumber serta analisis silsilah, ditemukan bahwa Syekh Siti Jenar merupakan keturunan ulama dari Malaka. Salah satu tokoh kunci dalam asal-usulnya adalah ayahnya, Syekh Datuk Shaleh, seorang ulama Melayu yang dekat dengan Sultan Muhammad Iskandar Syah (1414–1424 M).

Kisah asal-usul ini berawal dari pergolakan politik di Kesultanan Malaka pada akhir tahun 1424 M. Saat itu, Mudzaffar Syah (1424–1458 M) merebut kekuasaan melalui kudeta terhadap Sultan Muhammad Iskandar Syah. Kudeta ini diikuti dengan pembersihan politik terhadap orang-orang dekat Iskandar Syah, termasuk pejabat dan ulama yang setia kepadanya. 

Pada saat yang sama, terjadi konflik antara bangsawan keturunan Tamil yang dipimpin oleh Tun Ali dengan bangsawan Melayu yang dipimpin oleh Seri Wak Raja I. Tun Ali, yang merupakan saudara dari ibunda sultan, akhirnya memenangkan persaingan tersebut, menyebabkan semakin meluasnya pengaruh kelompok Tamil dalam pemerintahan.

Sebagai ulama berpengaruh yang dekat dengan Iskandar Syah, Syekh Datuk Shaleh menghadapi tiga pilihan sulit: tetap tinggal di Malaka dengan larangan berdakwah, menghadapi hukuman mati, atau meninggalkan Malaka. Ia memilih untuk pergi, awalnya menuju Palembang. Namun, karena di sana masih terdapat kelompok yang memusuhinya, ia akhirnya memutuskan untuk menetap sementara di Cirebon. Kota ini berada di bawah kekuasaan Ki Samadullah, yang bergelar Abisheka Sri Mangana, seorang adipati Cirebon yang dikenal sebagai pendukung dakwah Islam.

Ki Samadullah dikenal sebagai adipati Cirebon yang memiliki pengaruh besar dalam perkembangan Islam di Jawa bagian barat. Sekembalinya Syekh Siti Jenar dari kawasan Timur Tengah, Ki Samadullah menjadi salah satu pendukung utama dakwahnya. 

Dengan kedudukannya sebagai pemimpin lokal, ia memberikan perlindungan serta ruang bagi Syekh Siti Jenar untuk menyebarkan ajarannya di Cirebon dan sekitarnya. Dukungan ini tidak hanya dalam bentuk politik, tetapi juga mencakup fasilitas untuk berdakwah serta jaringan dengan tokoh-tokoh berpengaruh lainnya di wilayah tersebut. Peran Ki Samadullah dalam mendukung Syekh Siti Jenar mencerminkan keterlibatan elite lokal dalam proses islamisasi di Nusantara, khususnya di Jawa Barat.

Di Cirebon, Syekh Datuk Shaleh menetap selama beberapa bulan sebelum wafat. Kepergiannya dari Malaka mencerminkan dinamika politik dan sosial yang memengaruhi para ulama dan bangsawan Melayu pada masa itu. Sementara itu, diskriminasi terhadap ulama keturunan ‘Alawiyin di Malaka terus berlanjut hingga masa pemerintahan Sultan Mansyur Syah (1458–1477 M). Keberadaan Syekh Datuk Shaleh di Cirebon turut membentuk landasan bagi perkembangan dakwah Islam di Jawa bagian barat, yang kemudian dilanjutkan oleh putranya, Syekh Siti Jenar.

Syekh Siti Jenar lahir sekitar tahun 1426 M di lingkungan Pakuwuan Caruban, yang kini dikenal sebagai Cirebon.Dalam masa kanak-kanaknya, ia diasuh oleh Ki Danusela, seorang tokoh penting di wilayah Caruban, serta mendapat bimbingan dari Ki Samadullah, yang juga dikenal sebagai Pangeran Walangsungsang.

 Ki Samadullah sendiri merupakan putra Prabu Siliwangi yang memilih masuk Islam dan berperan dalam penyebaran agama di tanah Sunda dan Jawa bagian barat. Sejak kecil, Syekh Siti Jenar telah menunjukkan kecerdasan luar biasa dalam memahami ilmu agama. Ia juga berkesempatan berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang ulama besar di Cirebon, yang mengajarkan berbagai disiplin ilmu Islam. Didikan ini membentuk fondasi keilmuan Syekh Siti Jenar sebelum akhirnya ia mendalami ajaran tasawuf yang kelak menjadikannya sebagai salah satu ulama kontroversial dalam sejarah Islam di Nusantara.

Penyebaran Islam dan Gagasan Sosial-Egaliter di Lemah Abang

Sebagai ulama yang aktif dalam dakwah Islam, Syekh Siti Jenar tidak hanya mengajarkan konsep ketauhidan yang mendalam, tetapi juga memperkenalkan gagasan-gagasan sosial yang revolusioner. Ia menentang struktur sosial feodalistik yang membedakan antara kawula (rakyat jelata) dan Gusti (penguasa). Sebagai gantinya, ia memperkenalkan komunitas berbasis kesetaraan yang disebut Lemah Abang.

Di Lemah Abang, Syekh Siti Jenar membangun pedukuhan-pedukuhan dengan prinsip egalitarianisme, di mana semua individu diperlakukan sama di hadapan Tuhan tanpa memandang status sosial. Inilah yang kemudian melahirkan varian Islam Abangan, sebuah corak Islam yang lebih berorientasi pada kesetaraan sosial dibandingkan dengan ortodoksi keagamaan.

Ajaran Syekh Siti Jenar berpusat pada konsep tauhid al-wujūd, yang menekankan kemanunggalan antara Allah, Nūr Muhammad, dan Ingsun Sejati. Dalam konsep Ingsun Sejati sendiri terkandung tiga elemen utama, yaitu rūh al-idhāfi, rūh al-ḥaqq, dan al-ḥaqq, yang merepresentasikan perjalanan ruhani manusia menuju hakikat ketuhanan. Salah satu aspek utama ajarannya adalah ilmu sangkan paran, yang mengajarkan manusia untuk memahami asal-usul jati dirinya, tujuan akhir keberadaannya, serta bagaimana dan kapan proses itu terjadi. Konsep ini menuntun seseorang untuk memilih jalan kematian yang sejati sebagai proses penyatuan dengan kehidupan yang hakiki. 

Dalam kerangka spiritual ini, Syekh Siti Jenar merumuskan pemahaman tentang al-insān al-kāmil (manusia sempurna), yang diwujudkan dalam maqām Manunggaling Kawula-Gusti—sebuah puncak kesadaran mistik di mana manusia dan Tuhan menyatu dalam esensi spiritual yang tak terpisahkan. Ajaran ini menempatkan Syekh Siti Jenar sebagai salah satu pemikir sufi paling kontroversial di Nusantara, terutama karena gagasannya yang menentang norma syariat konvensional yang diajarkan oleh Wali Songo.

Berbeda dengan makam para wali lain seperti Sunan Gunung Jati atau Sunan Ampel yang memiliki lokasi pasti dan menjadi pusat ziarah, makam Syekh Siti Jenar tetap menjadi misteri besar. Terdapat beberapa versi mengenai keberadaannya, di antaranya Kompleks Pemakaman Kemlaten di Cirebon, Bukit Amparan Jati yang terletak dekat makam Syekh Datuk Kahfi, Desa Lemah Abang di Jepara, serta Mantingan di Tuban.

Menurut cerita lisan yang berkembang di kalangan pengikut tarekat Akmaliyah, makam Syekh Siti Jenar sengaja dibiarkan tanpa tanda sebagai simbol penolakan terhadap pengkultusan individu. Hal ini sejalan dengan ajaran egalitarian yang ia anut semasa hidupnya, di mana manusia tidak boleh dipuja setelah kematiannya.

Baca Juga : Amalan yang Dianjurkan Dibaca Saat Itikaf di Masjid

Kisah Syekh Siti Jenar bukanlah sekadar legenda, melainkan narasi sejarah yang kaya dengan tafsir dan perdebatan. Ia adalah bagian dari arus intelektual Islam yang tidak bisa dipahami secara hitam-putih. Ia bukan seorang pemberontak dalam arti politik, tetapi seorang sufi yang mengusung gagasan kebebasan spiritual dan kesetaraan sosial.

Mengidentifikasi asal-usulnya dengan narasi mitologis sebagai cacing yang berubah menjadi manusia jelas merupakan distorsi yang bertujuan mendiskreditkan dirinya dan ajarannya. Sebaliknya, jika merujuk pada naskah Wangsakerta, ia adalah keturunan Rasulullah yang memiliki jalur silsilah yang sah dan terhormat.

Dengan demikian, dalam menelaah sejarah Syekh Siti Jenar, kita perlu membedakan antara mitos, legenda, dan historiografi. Mitos dan legenda mungkin menarik untuk diceritakan, tetapi historiografi yang berbasis pada sumber tertulis dan genealogi yang akurat adalah fondasi utama bagi upaya memahami sejarah secara objektif.

Syekh Siti Jenar adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan panjang Islam di Nusantara. Sebagai seorang ulama, ajarannya tentang hakikat ketuhanan dan kesetaraan manusia tetap menjadi bahan refleksi yang relevan hingga masa kini.

Hasan Ali dan San Ali Anshar: Dua Tokoh Syekh Siti Jenar Palsu

Dalam sejarah Islam di Jawa, Syekh Siti Jenar dikenal sebagai tokoh tasawuf yang ajarannya sering dianggap kontroversial. Namun, banyak penyimpangan yang justru berasal dari individu lain yang mengatasnamakan dirinya. Dua sosok yang berperan besar dalam distorsi ini adalah Hasan Ali dari Cirebon dan San Ali Anshar dari Demak. Keduanya dihukum mati oleh Wali Songo karena ajaran mereka dianggap menyesatkan dan mengancam tatanan sosial-keagamaan.

Hasan Ali, yang bernama asli Raden Anggaraksa, adalah cucu Prabu Surawisesa dari Kerajaan Galuh Pakuan. Ia belajar Islam dari Syekh Datuk Kahfi dan diberi nama Hasan Ali. Namun, pengaruh ilmu mistik dan sihir membawanya pada ajaran yang menyimpang. Ia mendirikan pedukuhan di Lemah Abang, mengaku sebagai penerus Syekh Siti Jenar, dan menarik pengikut dengan praktik spiritual yang mengutamakan penguatan ego sebagai jalan menuju Tuhan.

San Ali Anshar dikenal karena ritual spiritual yang mencampurkan laki-laki dan perempuan dalam praktik zikir yang emosional, sering kali melanggar syariat. Ajarannya menimbulkan keresahan, menyebabkan Wali Songo turun tangan untuk mengakhiri pengaruhnya.

Wali Songo akhirnya menjatuhkan hukuman mati kepada Hasan Ali dan San Ali Anshar untuk menghentikan penyebaran ajaran yang dianggap menyesatkan. Hasan Ali dieksekusi di Cirebon oleh Sunan Gunung Jati, sedangkan San Ali Anshar dihukum mati di Demak oleh Sunan Kalijaga. Langkah ini diambil demi menjaga kemurnian ajaran Islam serta mencegah perpecahan di tengah masyarakat Jawa yang tengah berproses memahami Islam yang moderat dan sesuai dengan syariat.

Secara mendasar, ajaran Hasan Ali sangat berbeda dari prinsip yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Jika Syekh Siti Jenar menekankan penghapusan ego sebagai jalan menuju Tuhan, Hasan Ali justru mengajarkan penguatan ego sebagai sarana mencapai kesadaran ilahi. Perbedaan ini menjauhkan ajaran Hasan Ali dari tauhid Islam dan lebih mendekatkannya pada praktik mistisisme yang berpotensi menyesatkan para pengikutnya.

Ajaran Hasan Ali dan San Ali Anshar sempat menciptakan perpecahan sosial dan ketidakpercayaan terhadap ulama. Meski keduanya telah dihukum, pengaruh ajaran mereka masih terasa dalam beberapa tradisi mistik di Jawa.

Kisah ini menunjukkan bagaimana ajaran Syekh Siti Jenar diselewengkan oleh individu berkepentingan. Memahami sejarah ini membantu membedakan fakta dari distorsi serta menjaga kemurnian ajaran Islam di Nusantara.

Syekh Siti Jenar Wafat Secara Wajar dan Dimakamkan di Kemlaten, Cirebon

Syekh Siti Jenar, salah satu tokoh sufi yang paling kontroversial dalam sejarah Islam Jawa, ternyata tidak wafat karena eksekusi hukuman mati seperti yang sering diceritakan dalam beberapa babad dan serat. Berdasarkan sumber-sumber kritis yang jarang diungkap, Syekh Siti Jenar menghabiskan akhir hidupnya di sebuah kawasan terpencil, yaitu di selatan Dukuh Lemah Abang, Cirebon, yang kini dikenal sebagai Kemlaten. 

Lokasi tersebut menjadi tempat uzlah atau pengasingan diri Syekh Siti Jenar bersama sejumlah sahabat dan kerabat terdekatnya. Syekh Siti Jenar wafat dengan cara wajar pada sekitar tahun 1530 M dan dimakamkan secara terhormat oleh para Wali Songo, sebagai penghormatan kepada sosoknya yang masih diakui sebagai seorang muslim dan ulama besar.

Dalam kajian sejarah yang lebih mendalam, tuduhan bahwa Syekh Siti Jenar dieksekusi oleh Wali Songo muncul dari naskah-naskah seperti Serat Seh Siti Jenar dan Babad Tanah Jawi. Namun, naskah-naskah tersebut kemudian mendapat koreksi signifikan dalam karya Serat Bayanullah yang ditulis oleh Ki Sosrowidjojo. Melalui karya tersebut, ajaran Syekh Siti Jenar dinyatakan tidak bertentangan dengan prinsip tauhid Islam, melainkan merupakan bentuk pemahaman makrifat yang mendalam. Tuduhan sesat atau murtad yang disematkan pada ajaran Syekh Siti Jenar lebih banyak bermuatan politis, terutama karena pengaruh kuat ajaran tasawufnya di tengah masyarakat Jawa yang saat itu mengalami peralihan kekuasaan dari Majapahit ke Kesultanan Demak.

Syekh Siti Jenar, yang dikenal dalam maqam majdzub—keadaan di mana dirinya terserap ke dalam ketuhanan—memilih untuk hidup dalam kesunyian. Bersama istri dan sahabat-sahabatnya seperti Nyi Mas Gandasari, seorang mantan panglima Keraton Cirebon yang kemudian menjadi pengikutnya, serta Ki Ageng Pengging, Syekh Siti Jenar membangun kehidupan rohani di tengah hutan bambu Kemlaten. Para Wali Songo memahami keadaan rohani Syekh Siti Jenar yang sudah melampaui dimensi kemanusiaan biasa. Ketika beliau wafat, jasadnya dimakamkan dengan perlakuan yang sesuai syariat Islam—dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan—sebagai tanda penghormatan.

Lokasi makam Syekh Siti Jenar di Kemlaten, yang dahulu dikenal sebagai tempat "Suwung" atau lokasi uzlah, masih menyimpan kesunyian yang mendalam. Kesunyian ini mencerminkan keinginan beliau untuk selalu berada dalam kedekatan dengan Allah SWT. Bahkan, dalam salah satu versi cerita, Syekh Siti Jenar diyakini wafat dalam keadaan moksa—di mana jasadnya terserap bersama ruh menuju Sang Ilahi—sebuah konsep yang melambangkan penyatuan total dengan Tuhan.

Dengan telaah sejarah yang kritis, tampak jelas bahwa wafatnya Syekh Siti Jenar bukanlah akibat eksekusi atau konflik ajaran, melainkan bagian dari perjalanan spiritual seorang sufi menuju hakikat tertinggi dalam tasawuf. Wali Songo, yang kerap disebut sebagai pihak yang menghukumnya, justru memberikan penghormatan terakhir dengan memakamkannya di tempat yang sunyi dan penuh ketenangan.

Sejarah sering kali dibentuk oleh kepentingan politik penguasa masa lalu, dan kisah Syekh Siti Jenar adalah salah satu contohnya. Penting bagi kita untuk menelusuri sumber-sumber yang lebih autentik dan kritis agar dapat memahami perjalanan hidup dan wafatnya tokoh besar seperti Syekh Siti Jenar. Pemakaman beliau di Kemlaten, Cirebon, menjadi bukti nyata bahwa Syekh Siti Jenar wafat secara wajar, bukan sebagai korban eksekusi, melainkan sebagai sufi agung yang memilih hidup dalam kesunyian rohani.


Topik

Serba Serbi syekh siti jenar silsilah syekh siti jenar wali songo



JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Indonesia Online. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Aunur Rofiq

Editor

Dede Nana