JATIMTIMES - Rara Santang dikenal juga dengan nama Syarifah Mudaim adalah sosok ibu yang berperan besar dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di wilayah Jawa Barat. Ia merupakan ibu dari Syarif Hidayatullah yang lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati.
Kisah hidupnya mulai dari kelahirannya di Kerajaan Pajajaran hingga pernikahannya dengan Sultan Hud di Mesir, membentuk fondasi kuat bagi Sunan Gunung Jati dalam menyebarkan agama Islam.
Baca Juga : Aturan Permainan Bola Basket Kursi Roda yang Diperlombakan di Paralimpiade Paris 2024
Lahir pada tahun 1427 di Kerajaan Pajajaran, Rara Santang adalah putri dari Sri Baduga Maharaja Prabu Siliwangi dan Subang Larang. Ia memiliki dua saudara laki-laki, yaitu Walangsungsang dan Kian Santang.
Sejak kecil, Rara Santang dikenal sangat dekat dengan ibunya, Subang Larang, yang merupakan seorang penganut Islam. Didikan agama yang kuat dari sang ibu membentuk kepribadian Rara Santang yang berpegang teguh pada ajaran Islam di tengah lingkungan kerajaan yang masih kental dengan kepercayaan Hindu-Buddha.
Subang Larang, ibu Rara Santang, adalah sosok yang berpengaruh dalam perkembangan keislaman di lingkungan kerajaan. Ia dikenal sebagai murid Syekh Quro dari Karawang, seorang ulama terkemuka yang membawa ajaran Islam ke wilayah Pajajaran.
Rara Santang mewarisi semangat keislaman dari ibunya, dan setelah wafatnya Subang Larang, ia bersama kakaknya, Walangsungsang memutuskan untuk meninggalkan istana. Mereka kemudian menetap di kediaman kakeknya, Ki Gedeng Tapa di Cirebon, di mana mereka melanjutkan pembelajaran agama Islam di bawah bimbingan Syekh Nurjati.
Setelah beberapa lama belajar, Rara Santang dan Walangsungsang memutuskan untuk menunaikan ibadah haji. Keberangkatan mereka ke Tanah Suci menjadi titik balik penting dalam kehidupan Rara Santang. Di sana, ia bertemu dengan Sultan Hud, seorang penguasa dari Mesir yang tengah mencari istri baru setelah kematian istrinya.
Pertemuan ini terjadi di tengah pencarian yang dilakukan oleh utusan Sultan Hud yang berkeliling mencari seorang puteri yang setara dengan mendiang istrinya. Sultan Hud sangat terkesan dengan kecantikan dan kebaikan Rara Santang, yang kemudian membuatnya memohon kepada Pangeran Cakrabuana, kakak Rara Santang, untuk menikahinya.
Namun, Rara Santang tidak langsung menerima lamaran tersebut. Ia menetapkan beberapa syarat, salah satunya adalah bahwa jika kelak mereka dikaruniai seorang putra, maka harus dikirim kembali ke tanah kelahirannya di Pajajaran untuk menyebarkan Islam. Selain itu, Rara Santang menginginkan agar janji tersebut diikrarkan di Bukit Tursina, Palestina, yang memiliki makna spiritual mendalam bagi umat Islam.
Sultan Hud menyetujui semua syarat yang diajukan Rara Santang. Pernikahan mereka dilangsungkan dengan khidmat, disaksikan oleh Pangeran Cakrabuana dan para ulama. Dari pernikahan ini, Rara Santang melahirkan dua putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah.
Dua tahun setelah kelahiran Syarif Hidayatullah, Nyi Rara Santang melahirkan putra kedua mereka, Syarif Nurullah. Namun, tak lama kemudian, Sultan Hud wafat dan digantikan oleh adiknya, Ungkajutra yang bergelar Raja Onkah.
Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, disebutkan bahwa ayah Sunan Gunung Jati, Sultan Hud, berasal dari garis keturunan Bani Hasyim yang merupakan keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Zainal Abidin bin Imam Husein, putra dari Sayyidah Fatimah binti Muhammad SAW. Nasab ini menegaskan bahwa Sunan Gunung Jati memiliki silsilah yang terhormat, menghubungkannya langsung dengan Nabi Muhammad SAW.
Nasab Sunan Gunung Jati tidak hanya menunjukkan silsilahnya yang mulia, tetapi juga memperkuat legitimasi kepemimpinannya di Cirebon. Sebagai keturunan langsung dari Nabi Muhammad SAW, beliau berhasil membangun dan mengembangkan Kerajaan Cirebon menjadi pusat penting bagi penyebaran agama Islam dan kebudayaan Islam di Jawa Barat.
Kepulangan Rara Santang ke Cirebon
Setelah wafatnya Sultan Hud, Rara Santang memutuskan untuk kembali ke Cirebon bersama anak-anaknya. Keputusan ini didorong oleh keinginannya untuk melihat tanah kelahirannya menjadi pusat penyebaran Islam, sesuai dengan janji yang pernah diikrarkan. Di Cirebon, ia mendampingi Sunan Gunung Jati dalam memimpin pemerintahan dan menyebarkan ajaran Islam.
Rara Santang menghabiskan sisa hidupnya di Cirebon, mendukung misi dakwah Sunan Gunung Jati. Ia dikenal sebagai sosok ibu yang penuh kasih dan pengabdian, baik kepada keluarganya maupun kepada agama. Keberadaannya di Cirebon memberikan kekuatan moral dan spiritual bagi Sunan Gunung Jati dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin agama dan pemerintahan.
Rara Santang wafat di Cirebon dan dimakamkan di Kompleks Pemakaman Sunan Gunung Jati, sebuah tempat yang hingga kini dihormati dan dikunjungi oleh banyak orang. Warisannya tidak hanya terletak pada keturunannya, yang melahirkan pemimpin besar seperti Sunan Gunung Jati, tetapi juga pada perannya dalam menyebarkan Islam di Nusantara.
Kisah hidup Rara Santang adalah kisah tentang keberanian, pengorbanan, dan cinta kepada agama. Ia berhasil menggabungkan nilai-nilai lokal dengan ajaran Islam, menciptakan sebuah warisan yang abadi dalam sejarah Islam di Indonesia. Perjuangannya, baik sebagai ibu, istri, maupun pemimpin, menjadi inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya.
Rara Santang adalah sosok ibu yang luar biasa, yang melalui didikannya, melahirkan seorang pemimpin besar seperti Sunan Gunung Jati. Kisah hidupnya yang melintasi batas-batas kerajaan, dari Pajajaran hingga Mesir, menunjukkan betapa kuatnya pengaruh keagamaan dan nilai-nilai keluarga dalam membentuk karakter seorang pemimpin.
Warisan Rara Santang bukan hanya terletak pada keturunannya, tetapi juga pada peran pentingnya dalam penyebaran Islam di Nusantara. Ia adalah simbol dari kekuatan seorang wanita dalam membentuk sejarah, sebuah teladan bagi setiap generasi. Dengan segala kiprahnya, Rara Santang telah menorehkan namanya dalam sejarah sebagai sosok yang tidak hanya berperan dalam lingkup keluarga, tetapi juga dalam perkembangan agama dan kebudayaan di Indonesia.
Peran Syarif Hidayatullah di Cirebon
Syarif Hidayatullah, putra sulung Rara Santang, kelak dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati. Ia lahir di Mesir pada tahun 1448 Masehi, dan sejak kecil sudah menunjukkan kecerdasan serta ketertarikan yang besar pada agama Islam. Setelah dewasa, sesuai dengan janji yang diikrarkan di Bukit Tursina, Sunan Gunung Jati kembali ke tanah leluhurnya di Cirebon untuk melaksanakan misi dakwah.
Sunan Gunung Jati tiba di Cirebon sekitar tahun 1470 Masehi, membawa ajaran Islam yang telah ia pelajari dari berbagai ulama di Timur Tengah. Dukungan dari Kesultanan Demak memperkuat posisinya dalam menyebarkan Islam di wilayah Jawa Barat, khususnya di Cirebon. Kepemimpinan Sunan Gunung Jati di Cirebon tidak hanya terbatas pada bidang agama, tetapi juga mencakup pemerintahan, di mana ia berhasil menggabungkan kekuatan politik dengan nilai-nilai Islam.
Pengaruh Sunan Gunung Jati dalam penyebaran Islam di Jawa Barat sangat besar. Ia dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dan karismatik, yang mampu mengajak masyarakat untuk memeluk Islam melalui pendekatan yang damai dan penuh kearifan lokal. Keberhasilan Sunan Gunung Jati tidak lepas dari pengaruh dan didikan Rara Santang, yang telah menanamkan nilai-nilai keislaman yang kuat sejak dini.
Dakwah yang dilakukan oleh Sunan Gunung Jati, bukan hanya sebatas pengajaran agama, tetapi juga melibatkan penggalangan kekuatan yang luar biasa. Dakwahnya ditandai oleh berbagai peristiwa penting, mulai dari pernikahan, pencarian ilmu, hingga peperangan yang berperan penting dalam menyebarkan Islam di Nusantara, khususnya di wilayah Cirebon.
Salah satu strategi yang digunakan oleh Sunan Gunung Jati adalah mengumpulkan para tokoh yang memiliki kesaktian, kekuatan politik, serta kekuatan bersenjata. Di antara pengikutnya yang terkenal dengan kedigdayaan adalah Ki Dipati Keling, Nyimas Gandasari (alias Nyimas Panguragan), Pangeran Karangkendal, Pangeran Panjunan, Pangeran Sukalila, dan tentu saja mertuanya sendiri, Pangeran Cakrabuwana, yang merupakan Raja Cirebon dengan gelar Sri Mangana.
Kekuatan bersenjata yang digalang oleh Sunan Gunung Jati ini terbukti efektif ketika pasukan umat Islam di Cirebon diserang oleh Raja Galuh. Dalam pertempuran ini, pasukan Cirebon berhasil meraih kemenangan besar, yang ditandai dengan takluknya Prabu Cakraningrat, Raja Galuh, oleh Pangeran Karangkendal dengan bantuan dari Raja Cirebon, Sri Mangana.
Kemenangan tersebut bukan hanya kemenangan militer, tetapi juga kemenangan dakwah Islam. Takluknya Kerajaan Galuh membuat dakwah Islam berkembang pesat di wilayah yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Raja Galuh. Kemenangan ini meruntuhkan mental pasukan Raja Galuh dan membuat banyak pejabat tinggi serta keluarga kerajaan memeluk Islam. Dampaknya meluas hingga ke rakyat di berbagai penjuru negeri, yang berbondong-bondong mengikuti jejak pemimpinnya untuk memeluk Islam.
Kisah dakwah Sunan Gunung Jati ini menunjukkan bahwa penyebaran Islam di Cirebon dan sekitarnya bukan hanya berkat kecerdasan dan kepemimpinan religius, tetapi juga melalui kekuatan strategi, aliansi politik, dan keberanian dalam menghadapi tantangan. Keberhasilan ini turut memperkuat posisi Cirebon sebagai pusat penyebaran Islam yang berpengaruh di Jawa Barat dan sekitarnya.