Sengketa lapangan olah raga Poerbo Koesoemo, dengan tambahan lapangan bola volly dan bangunan mirip panggung di desa Demuk Kecamatan Pucanglaban Kabupaten Tulungagung, semakin dibuka pemerintahan desa. Kepala desa Iswari mengatakan sejak tahun 2016, melalui Pejabat Sementara (PJ) Kades Mahroji, pihak ahli waris telah memberikan persetujuan pengelolaan pada desa atas aset keluarga RM Poerbo Koesoemo.
Di antara 11 ahli waris (anak) itu telah menyetujui bahwa aset sejarah keluarga dijadikan cagar budaya dan dikelola oleh desa. "Sudah kita datangi, keturunan asli Eyang Poerbo ini, yang di Pare bernama Basuki, kemudian di Kepatihan bernama Ririn, dan yang di Kediri Bu Darman," kata Iswari, Selasa (13/10/2020).
Baca Juga : Miris, Kehidupan Pasutri Romdan-Rajemah Potret Kemiskinan di Pedesaan Banyuwangi
Dari keturunan Jayeng Kusumo, sejarahnya menurut Iswari, punya empat putra yang masing-masing juga pernah menjabat sebagai lurah (kepala desa). Empat orang itu adalah, Jayeng Wilogo, Jayeng Prawiro, Jayeng Purbokusumo dan Jayeng Sumo (Purbo Atmojo).
"Dari keturunan Eyang Purbo ini pada tahun 2005 bagi waris, itu benar sekali dan setelah itu dalam kurun waktu sejak tahun 2005 hingga tahun 2016, warisan itu tidak terurus. Nah, sejak tahun 2016 inilah kemudian ada persetujuan pihak ahli waris bahwa dan bisa di jadikan sebagai cagar budaya. Semua dokumen kita simpan, jadi yang punya kewenangan atas warisan itu ya ahli warisnya," terangnya.
Kemudian, Kepala desa membuka sejarah penting desa Demuk yang dikatakannya berdiri pada tanggal 10-10-1893.
RM Djayeng Koesoemo adalah putra Bupati Ngrowo (Tulungagung) V yaitu RM Djayaningkrat. Pada tahun1844 Djayeng Koesomo sudah menjabat sebagai wedono di Ngrowo. Kemudian pada tahun 1849 jadi wedono Srengat (kini masuk wilayah Kabupaten Blitar). Pada tahun1851 pindah lagi jadi wedono di Brebek Nganjuk.
"Pada saat pembangunan jembatan Ngujang, Djayeng Koesoemo membunuh seorang Belanda yang sangat kejam terhadap orang-orang pribumi yang bekerja sebagai kuli bangunan jembatan itu," kata Iswari.
Karena membunuh seorang Belanda, pada tahun 1883 Djayeng Kosoemo dihukum selong (dibuang) bersama 40 penderek ke hutan yang sangat wingit (angker). "Istilah saat itu, Jalma mara jalma mati sato mara sato mati (Satu datang satu mati).
karena hutan itu di huni bangsane demit (hantu)," ungkapnya.
Baca Juga : Muncul Lintang Kemukus di Langit Tulungagung, Pertanda "Pagebluk" Covid-19 Akan Berakhir?
Dikatakan Iswari, saking angkernya konon hutan itu dihuni para Jin, setan, peri perayangan elo-elo banaspati, gendruwo dan lainnya. "Karena hutanya dibabat demite (penunggu) ngamuk. Dengan kesaktian Djayeng Koesoemo dan 40 penderek tadi demit yang ngamuk itu bisa dikalahkan dan disingkirkan," ulasnya.
Asal kata De-mit Nga-muk itulah tempat itu dinamakan kemudian dinamakan dengan Demuk. "Kemudian tercatat pada tanggal 10 oktober 1893 oleh Pemerintah Hindia Belanda, tempat ini resmi diakui menjadi Desa," terang Iswari.
Hingga saat ini, tiap tangal 10 bulan 10 di tiap tahunnya, oleh pemerintah desa Demuk bersama warga masyarakat diperingati sebagai Hari Jadi Desa Demuk. "Perlu diketahui desa Demuk, adalah satu-satunya desa di Kabupaten Tulungagung yang sudah menemukan hari jadinya," terangnya.
Dalam catatan sejarah tahun 2020 ini Desa Demuk yang sudah berusia 127 tahun telah mencatatkan sejarah kepemimpinan 17 kepala desa. Di antaranya,
1.RM. Djayeng Wilogo
2.RM. Djayeng Prawiro
3.RM. Poerbo Koesoemo
4.RM. Poerbo Atmojo
5.RM. Handono
6.RM. Noto Koesomo
7.RM. Moelyadi
8.Sukirin (1955 - 1990)
9.Musidi (1990 - 2000)
10.Maryani pjs (2000-2002)
11.Slamet.R (2002-2012)
12.Mahroji pjs (2013-2014)
13.Bledug (2014-2016)
14.Mahroji Pjs (2016-2017)
15.Marni PAW (2017-2019)
16.Mahroji Pjs (2019)
17.ISWARI.S.Pd.MM (2019 - 2025)