MALANGTIMES – Kuasa hukum warga 5 desa di Kecamatan Dampit, Sumardhan, mengatakan, demo warga bermula dari pengelolaan tanah PT Margosuko untuk tanaman keras seperti kopi, cokelat, dan sejenisnya, dengan dasar hak guna usaha.
Baca Juga : Tiga Tenaga Kesehatan Positif Covid-19 di Kota Malang Sembuh
“Sertifikat terbit 9 Februari dan berakhir September 2015,” kata Sumardhan, beberapa menit lalu.
Dijelaskan, pada 1998, PT Margosuko malah menanami lahan tersebut dengan tanaman lunak seperti pepaya, singkong, tebu dan sejenisnya.
“Karena sudah terjadi alih fungsi tanaman, jelas sudah melanggar. Karenanya, pemerintah harus bertindak dan jika bisa lahan itu diserahkan kepada warga miskin di sekitar lahan, yang tidak memiliki lahan untuk bercocok taman,” bebernya.
Lebih lanjut, dikatakan, tanah yang diberikan kepada PT Margosuko, jelas bertentangan dengan UU Pokok Agraria pasal 28 ayat 2, yang menyatakan, hak guna usaha diberikan paling sedikit 5 hektare, maksimal 25 hektare.
“Apabila lebih, harus ada investasi modal pada negara. Hal ini tidak ada investasi, bahkan kabarnya PT Margosuko juga tidak membayar pajak,” tandasnya.
Baca Juga : Tanggap Covid-19, Fraksi PKS DPRD Kota Malang Bagikan Ratusan APD ke Petugas Medis
Tak hanya itu, beberapa pelanggaran fatal seperti menyewakan lebih dari 50 persen lahan kepada pihak ketiga, juga tidak sesuai perjanjian.
Bahkan, data yang dimilikinya menyebut, tanah milik negara itu sedang disewakan kepada warga setempat bernama Hasan, HM Tamjis Jisman dan Rifa’i.
“Jelas tanah milik negara itu disewakan oleh PT Margosuko kepada tuan takur. Rakyat melawan karena tanah hanya dikuasai tuan takur,” tegas Sumardan. (mnh)