Benarkah Skip Sarapan Sebabkan Lonjakan Gula Darah? Ini Kata Dokter
Reporter
Binti Nikmatur
Editor
Nurlayla Ratri
16 - Nov - 2025, 09:11
JATIMTIMES - Kebiasaan skip sarapan atau melewatkan makan pagi kembali jadi perbincangan setelah dokter dan edukator kesehatan dr. Adam Prabata membagikan hasil penelitian terbaru di akun Instagramnya, @adamprabata. Studi di Jepang tersebut mengungkap bahwa tidak sarapan dapat memicu lonjakan gula darah lebih tinggi saat makan siang, meskipun makanan yang dikonsumsi sama persis dengan mereka yang sarapan.
Penelitian yang diulas dr. Adam melibatkan 9 orang dewasa muda berusia 19–24 tahun. Semua peserta dalam kondisi sehat dan dibagi ke dua kelompok: kelompok yang tetap sarapan (tiga kali makan per hari) dan kelompok yang sengaja tidak sarapan.
Baca Juga : Kalender Jawa Minggu Pahing 16 November 2025: Hindari Bepergian ke Arah Timur Laut!
Setelah itu, para peserta menjalani pemeriksaan gula darah untuk melihat pola perubahannya sepanjang hari. Hasilnya, menurut dr. Adam, cukup mengejutkan.
“Penelitian ini menunjukkan hasil yang mengagetkan, yaitu ternyata pada kelompok orang yang tidak sarapan ditemukan peningkatan kadar gula darah yang lebih tinggi pada periode makan siang, meskipun porsi dan kalori makanan yang diberikan sama persis,” tulisnya.
Menariknya, kadar gula darah puasa pada kelompok yang tidak sarapan tidak mengalami peningkatan. dr. Adam menegaskan bahwa temuan ini bukan hal sepele.
“Kondisi hiperglikemia post-prandial (setelah makan) berhubungan erat dengan terjadinya komplikasi pembuluh darah (misalnya serangan jantung atau stroke) pada orang dengan diabetes melitus tipe 2,” jelasnya.
Dari diskusi penelitian tersebut, ada dugaan bahwa tidak sarapan dapat memicu resistensi insulin di hati serta meningkatkan produksi gula darah di liver. Akibatnya, tubuh merespons makanan berikutnya, terutama makan siang, dengan lonjakan gula darah yang lebih tajam.
“Tidak sarapan berasosiasi dengan peningkatan kadar gula darah yang lebih tinggi pada periode makan siang, sehingga dapat meningkatkan risiko gangguan respon insulin di tubuh,” tulisnya.
Menanggapi unggahan tersebut, Certified Nutrition & Health Coach, dr Dion Haryadi, turut memberikan pandangan tambahan. Ia mengingatkan bahwa penelitian yang dibahas merupakan studi observasional dan meta-analisis, sehingga tidak bisa menentukan sebab-akibat secara langsung.
“Masalah skip sarapan ini sebenernya udah sering banget dibahas dan diteliti juga. Studi yang di-highlight oleh Dr. Adam dan juga ini adalah meta-analisis dari studi observasional. Jadi peneliti hanya melihat saja kebiasaan orang-orang dan gak ngurusin pola makan mereka sama sekali,” jelasnya.
Menurut dr Dion, hasil studi memang konsisten menunjukkan bahwa orang yang sering melewatkan sarapan cenderung memiliki berat badan lebih tinggi dan risiko penyakit metabolik yang lebih besar. Namun, hal tersebut belum tentu disebabkan oleh skip sarapan itu sendiri.
“Permasalahannya adalah untuk studi observasional sulit untuk memastikan apakah memang skip sarapan yang bikin risiko penyakitnya meningkat atau emang karena orang-orang yang suka skip sarapan punya pola makan yang lebih buruk,” tegasnya.
Ia memberi contoh bahwa orang yang tidak sarapan biasanya punya pola makan berantakan, makan mengikuti mood, hingga memilih jenis makanan yang kurang bergizi.
Dalam penjelasannya, dr Dion merangkum panduan praktis yang menurutnya lebih penting daripada sekadar mempertentangkan sarapan atau tidak sarapan. “Satu, apa dan berapa banyak yang kita makan itu jauh lebih penting daripada musingin sarapan atau tidak,” ujarnya.
Baca Juga : Sering Dimakan Saat Sarapan, Ternyata 5 Kelompok Orang Ini Harus Menghindari Pisang
Ia mengatakan banyak orang yang rajin sarapan tetapi masih konsumtif terhadap gula tambahan, makan berlebih, dan kurang protein serta serat, sehingga tidak otomatis lebih sehat dari orang yang skip sarapan.
Selain itu, berdasarkan sejumlah penelitian, pola makan dengan porsi lebih besar di pagi hari dinilai lebih menguntungkan ketimbang makan banyak pada malam hari.
“Saya juga akan nyaranin kamu untuk menjatahkan lebih banyak kalori di pagi atau siang dan stop makan lebih cepat di malam hari dengan jarak kurang lebih 2–3 jam dari waktu tidurmu,” katanya.
Namun ia mengingatkan bahwa semua harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing orang. “Kalau kamu emang kerjanya di malam hari, bangunnya lebih siang, ya mau gimana? Perhatikan apa dan bagaimana dan berapa yang kamu makan,” tambahnya.
Tak hanya soal makan, ia mengingatkan pentingnya aktivitas fisik, latihan beban, tidur yang cukup, hingga manajemen stres agar kesehatan tubuh terjaga.
dr Dion juga menegaskan bahwa Intermittent Fasting (IF), termasuk metode dengan melewatkan sarapan, tetap bisa efektif bagi beberapa orang. “Yang pasti menurut saya, IF dengan skip sarapan itu masih ada tempatnya juga kok. Klien saya juga ada yang IF… dan bagus juga hasilnya,” ujarnya.
Hanya saja, IF bukan jaminan otomatis sehat. “Bukan berarti kalo udah IF maka auto sehat, gak juga. IF bukan sesuatu yang ajaib,” tegasnya.
Soal klaim IF meningkatkan autofagi, dr Dion meluruskan. “Restriksi kalori tanpa IF juga bisa naikin autofagi. Olahraga juga naikin autofagi. Kanker itu juga autofagi. Autofagi bukan sesuatu yang dikejar, itu cuma sebuah kondisi saja.” tandasnya.
Ia pun menutup dengan pesan sederhana. “MAKAN YANG BAIK YANG BERGIZI, GERAK AKTIF LATIHAN RUTIN, TIDUR CUKUP, OJOK TERLALU STRESS.”
Dengan demikian, penelitian memang menunjukkan bahwa tidak sarapan bisa memicu lonjakan gula darah lebih tinggi saat siang hari, khususnya penting diperhatikan bagi penderita diabetes. Namun, menurut para ahli, pola makan secara keseluruhan jauh lebih memengaruhi kesehatan dibanding sekadar sarapan atau skip sarapan. Jadi kamu tim sarapan atau tidak?
