Redenominasi Rupiah Bakal Direalisasikan Menkeu Purbaya, Ini Arti dan Dampaknya!
Reporter
Binti Nikmatur
Editor
A Yahya
08 - Nov - 2025, 05:17
JATIMTIMES - Pemerintah tengah menyiapkan langkah besar di sektor keuangan nasional. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa secara resmi memasukkan kebijakan redenominasi rupiah ke dalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan 2025–2029.
Rencana ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025, yang sudah ditandatangani langsung oleh Purbaya. Lantas, apa sebenarnya arti redenominasi dan apa dampaknya bagi masyarakat?
Baca Juga : LPG Bakal Diganti DME, Siap-Siap Kompor di Rumah Berubah! Ini Penjelasannya
Apa Itu Redenominasi Rupiah?
Redenominasi rupiah berarti penyederhanaan digit pada mata uang tanpa mengubah nilai riilnya. Dalam bahasa sederhana, nilai uang tidak berubah, hanya cara penyebutannya yang dibuat lebih singkat.
Misalnya, Rp 1.000 akan menjadi Rp 1, atau harga barang yang sebelumnya Rp 10.000 akan ditulis Rp 10 setelah redenominasi berlaku.
Melalui kebijakan ini, Purbaya berharap perekonomian nasional lebih efisien dan sistem pembayaran menjadi lebih sederhana.
Dikutip dari Renstra Kemenkeu, dijelaskan bahwa redenominasi bertujuan mendorong efisiensi ekonomi, meningkatkan daya saing nasional, menjaga stabilitas nilai rupiah, serta memperkuat kredibilitas mata uang Indonesia.
Untuk melancarkan kebijakan tersebut, Purbaya menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi).
RUU ini masuk sebagai program prioritas nasional bidang kebijakan fiskal, dan ditargetkan selesai pada 2027.
"RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) merupakan RUU luncuran yang rencananya akan diselesaikan pada tahun 2027,"
tertulis dalam dokumen Renstra Kemenkeu 2025–2029, dikutip Sabtu (8/11).
Penanggung jawab utama penyusunan RUU ini adalah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) di bawah Kementerian Keuangan.
Selain RUU Redenominasi, Kemenkeu juga tengah menyiapkan tiga RUU lainnya, yakni:
• RUU tentang Perlelangan (ditarget rampung 2026)
• RUU tentang Pengelolaan Kekayaan Negara (2026)
• RUU tentang Penilai (2025)
“Dalam rangka mencapai tujuan dan sasaran strategis Kemenkeu, diusulkan empat RUU yang menjadi bidang tugas Kemenkeu yang ditetapkan dalam program legislasi nasional jangka menengah tahun 2025–2029,” jelas dokumen tersebut.
Sebenarnya, redenominasi rupiah bukan hal baru. Rencana ini sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2020–2024, namun tak kunjung terealisasi.
Baca Juga : Semarak Puncak Honda Bikers Day 2025, Puluhan Ribu Bikers akan Kunjungi Garut
Bahkan, pada 2013, Kementerian Keuangan sempat memamerkan ilustrasi uang hasil redenominasi. Desain uangnya dibuat lebih sederhana dengan tiga angka nol dihapus. Contohnya, Rp 100.000 menjadi Rp 100, dan Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Mengutip situs resmi Bank Indonesia (BI), redenominasi dilakukan ketika kondisi ekonomi stabil dan sehat. Langkah ini bertujuan menyederhanakan penulisan nilai barang, jasa, dan uang tanpa memengaruhi daya beli masyarakat.
Menurut BI, penyederhanaan ini justru membuat sistem akuntansi, transaksi, dan pelaporan keuangan lebih efisien tanpa dampak negatif pada ekonomi.
Mantan Gubernur BI Darmin Nasution (2010–2013) bahkan pernah menegaskan bahwa redenominasi tidak akan merugikan masyarakat. “Nilai uang terhadap barang atau jasa tidak akan berubah,” kata Darmin kala itu.
Penting untuk diketahui, redenominasi berbeda dengan sanering. Mengutip definisi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), redenominasi adalah penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengubah nilai tukarnya.
Sementara sanering berarti pemotongan nilai uang, yang jelas berdampak langsung pada daya beli masyarakat. Indonesia sendiri pernah melakukan redenominasi besar-besaran pada 13 Desember 1965.
Kala itu, pemerintah menerbitkan pecahan Rp 1 baru dengan daya beli setara Rp 1.000 lama, sebagai bagian dari kebijakan moneter mendesak.
Demikian penjelasan lengkap terkait Redenominasi Rupiah dan dampaknya pada masyarakat. Jika rencana ini jadi dijalankan, masyarakat harus siap beradaptasi dengan cara baru menyebut harga dan menulis nominal.
Meski sekilas terlihat nilai uang berkurang, daya beli tetap sama. Hanya saja, uang di dompet atau angka di rekening nanti akan tampak “lebih ramping”. Semoga informasi ini membantu ya!
