Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Opini

Teroris Pasti Berlalu

Penulis : Zulham Mubarok - Editor : Redaksi

25 - Jan - 2016, 13:19

Zulham Mubarok (Lembaga Kajian Kebijakan Publik GP Ansor Kabupaten Malang)
Zulham Mubarok (Lembaga Kajian Kebijakan Publik GP Ansor Kabupaten Malang)

DISEBUT teroris bila ada yang merasa diteror. Teror menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah usaha menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau golongan. 

Teror dirasakan mereka yang mendadak direnggut paksa rasa aman dan kenyamanannya. Dalam dosis tertentu, hingga teror sukses merenggut paksa rasa aman dan kenyamanan orang lain maka pelakunya disebut teroris. 

Perdebatan seputar siapa yang meneror siapa memang tak pernah berakhir. Pada September 2004, Abdul Aziz alias Imam Samudra menerbitkan tulisan populer yang ditulis dari balik jeruji besi dengan judul ”Aku Melawan Teroris”.

Dalam buku setebal 280 halaman yang peredarannya langka di pasaran itu, Imam Samudra, salah satu dari trio bomber Bali, menegaskan siapa teroris dan siapa korban. Bagi Imam Samudra, teroris sejati adalah Amerika Serikat dan sekutunya. 

”Tangismu wahai bayi-bayi tanpa kepala…dibentur ditembok-  tembok Palestina…jeritmu wahai bayi-bayi Afghanistan…yang memanggil-manggilku tanpa lengan…dieksekusi bom-bom jahannam…milik setan Amerika dan Sekutu…saat ayah bundamu menjalani Ramadhan!
      
“Ini aku,saudaramu…ini aku,datang dengan secuil bombing…kan kubalaskan sakit hatimu…kan kubalaskan darah-darahmu…darah dengan darah…nyawa dengan nyawa…qishash!!”

Paragraf diatas adalah penggalan puisi Imam Samudra yang tertulis dalam buku “Aku Melawan Teroris” sebelum dia ditembak mati di Lapas Nusa Kambangan November 2008. 

Selain puisi tersebut, dalam buku terbitan Al-Jazeera itu, Imam Samudra dengan detail menggambarkan kenapa dia melakukan aksi bom dan perlawanan (yang diterjemahkan bebas sebagai aksi terorisme). 

Mengutip sejumlah besar ayat-ayat Al-Quran dari surat At-Taubah, Imam Samudra menyusun sebuah klarifikasi-kalau boleh dikatakan begitu- atas aksinya yang dimulai di Bali pada 12 Oktober 2002 dan seterusnya. 

Buku yang kini bertengger di rak buku saya sebagai koleksi pribadi itu tidak untuk dipinjamkan, karena sebelumnya, edisi yang bertanda tangan penulis, pernah hilang entah kemana lalu saya beli lagi dari seorang teman dan sudah tidak mungkin mendapatkan tanda tangan penulisnya karena sudah ditembak mati, semoga yang mencuri buku saya tersedak setiap sarapan

Nah, bagi Imam Samudra, bom Bali dan teror di sebagian wilayah Asia Tenggara, terutama di Indonesia, adalah reaksi. Disebut reaksi karena merupakan jawaban atas aksi teror oleh Amerika Serikat dan sekutunya bagi warga Islam dunia. 

Amerika Serikat (AS) oleh lembaga Amnesti Internasional memang dicatat sebagai negara dan bangsa pelanggar HAM terburuk selama 50 tahun terakhir. AS sekaligus tercatat dalam catatan Human Right Report 2002 sebagai pelanggar HAM terberat dunia. 

Buku Imam Samudra memperkuat dan mendasari fakta tersebut. Makin lengkap karena dibumbui kisah romansa Imam Samudra ketika berperang secara sukarela di Afganistan dan beberapa memori lain yang membentuk judul buku itu secara utuh. Yakni, dirinya sedang dalam peperangan melawan teroris: Amerika Serikat dan sekutunya.

Menjawab buku “Aku Melawan Teroris”, terbitlah buku “Mereka Adalah Teroris!; Sebuah Tinjauan Syari’at” yang ditulis oleh Al-Ustadz Luqman bin Muhammad Ba’abduh dan selanjutnya terbit pula buku karya mantan rekan seperjuangan Imam Samudra yakni Ketua Jamaah Islamiyah (JI) Mantiqi II, Nasir Abbas berjudul “Membongkar Jamaah Islamiyah; Pengalaman Mantan Anggota JI”. Masing-masing melakukan elaborasi siapa pelaku teror dan siapa korban teror.

Tiga buku itu memiliki sudut pandang yang berbeda dan menyajikan ruang berpikir yang sangat otentik dan menarik. Silahkan disimpulkan sendiri mana dari ketiga buku tersebut yang pas bagi logika dan pemahaman hati anda masing- masing. 

Bila kuantitas dan kualitas yang dijadikan dasar oleh AS sebagai negara adikuasa untuk menilai siapa teroris dan siapa yang bukan, maka harusnya mereka menengok ke kampung halamannya sendiri. 

Mengutip LA Times dan The Guardian, yang memaknai bahwa penembakan massal adalah penembakan dengan korban sedikitnya empat orang terkena peluru.

Maka, penembakan massal terjadi hampir setiap hari di Amerika Serikat. Menurut catatan Mass Shooting Tracker yang dikutip New York Times, 209 dalam 336 hari di 2015 terjadi penembakan massal. 

Jumlah penembakannya mencapai 352 kali dalam 336 hari hingga hari ini. Beberapa bahkan terjadi karena motif agama dan isu rasialis. Lalu apakah mereka tergolong teroris sehingga diperlukan intervensi asing bagi keamanan nasional Amerika Serikat? Kok rasanya tidak.

Teroris sebenarnya tidak hanya melekat pada penganut aliran Islam garis keras saja. Terorisme tidak selalu terkait dengan Islam. Misalnya, Aum Shinrikyo (Jepang), Kelompok Basque(Spanyol), Kahane Chai (Israel), Tupac Amaru (Peru). Bahkan, di AS sendiri ada jg kelompok American Militant Extremis. 

Tapi kenapa Islam disebut biang terorisme? Karena ada stigma oleh AS. Padahal sejarah membuktikan bahwa karakter psikologis terorisme dimulai dari fakta penindasan terus menerus oleh bangsa Barat secara ideologis dan sosial budaya bagi bangsa lain. 

Selain itu munculnya kesenjangan perekonomian yang dipicu intervensi asing terhadap pengelolaan sumberdaya energi dan sumber daya alam di negara-negara dunia ketiga.

Sejarah mencatat bahwa ada cukup banyak dosa-dosa Amerika Serikat secara militer yg memicu radikalisme dan membibit gerakan terorisme global. 

Diantaranya, di Jerman (1950-an) ketika CIA menyabotase dan melakukan teror melawan Jerman Timur dan memicu didirikan tembok berlin 1961. Filipina (1945-1953) militer AS menggempur Hukbalahab yang sedang melawan invasi Jepang. Hasilnya, lahir sang diktator Ferdinand Marcos. 

Guatemala (1953-1990) CIA mengkudeta Presiden Jacobo Arbenz yang menasionalisasi perusahan AS, United Fruit Company. Hasilnya, kekerasan 40 tahun dan berkepanjangan terjadi.  Iran (1953) CIA menggulingkan dan membunuh PM Mossadegh karena menasionalisasi perusahaan minyak Inggris. 

Irak (90-an) AS membombardir negara itu dengan 85 juta Kg Bom! Dalam upaya invasi dan penguasaan ladang minyak berdalih perang melawan Saddam Hussein dan senjata pemusnah massal yang akhirnya tidak terbukti keberadaannya. 

Afganistan (1972-92) CIA melatih Osama bin Laden melawan Uni Soviet. Perang 'merah' mengorbankan 1 juta orang tewas dan 3 juta orang cacat. Ya, adalah CIA yang melatih Osama bin Laden untuk melawan Rusia sebelum akhirnya memutuskan bahwa Osama adalah petinggi Al-Qaeda sehingga harus diburu dan dimusnahkan. Sang guru memburu muridnya sendiri yang telah ditempelkan embel-embel sebagai teroris.

Mantan petinggi CIA, John Stockwell menyebut sudah ada 3 ribu operasi besar dan 10 ribu operasi kecil untuk destabilisasi negara lain. Operasi global CIA, menurut Stockwell, telah merenggut sekitar 6 juta nyawa. Sebagian besar dari mereka ada di negara Timur Tengah. 

Radikalisme yang terjadi kini juga makin campur aduk. Benarkah mereka berjuang demi Islam atau hanya permainan global AS dan CIA? Karena faktanya AS sangat serius mengelola isu terorisme dan penguasaan ekonomi global dan penguasaan sumber daya dan sumber energi global dengan berbagai cara. Faktanya, globalisasi ala AS ini memicu kekayaan terpusat. 

Hingga saat ini 3 org terkaya menguasai aset yang sama dengan 600 juta orang di 48 negara termiskin.

Dan masih banyak lagi dosa-dosa AS yang melahirkan perlawanan dan terorisme. Termasuk pembiaran invasi Israel di Palestina dan operasi intelijen yang memporak porandakan negara-negara timur tengah seperti Suriah yang melahirkan gerakan Negara Islam Irak dan Suriah atau lebih dikenal dengan sebutan ISIS. Ya, ISIS yang mengklaim aksi terorisme bom Sarinah di jantung ibukota Jakarta beberapa waktu lalu. 

Aksi bom bunuh diri dan tembak menembak yang terjadi di Sarinah yang diklaim sebagai serangan atas nama ISIS tersebut tidak bisa dibenarkan dengan dalih apapun. Tapi aksi Dian Juni (25), Afif alias Sunakin, Muhammad Ali (29), dan Ahmad Muhazan (25) faktanya masih terlalu lemah untuk disebut sebagai bagian dari terorisme global. Jumlah korban, skenario aksi dan pola yang dilakukan oleh mereka masih sangat amatir dan tergesa-gesa. 

Pengalaman pribadi saya ketika terlibat aktif dan melakukan penelitian mendalam dalam proses investigasi jaringan Jamaah Islamiyah (JI) Singapura-Malaysia pada 2009 silam mengatakan, mereka adalah sel non-aktif yang “dihidupkan” lagi untuk memenuhi tujuan politik dan ambisi tertentu. Apalagi, Afif dan Ali tercatat sebagai residivis perampokan Bank CIMB Niaga Medan pada 2010. 

Awam dan media memang jarang mendengar bahwa selain ditangkap dan dihukum, sebagian besar pelaku teror di republik ini juga mengikuti program deradikalisasi dan setelah proses screening ketat mereka dilepas ke masyarakat dengan sejumlah bantuan dari pemerintah untuk berwirausaha dan melebur bersama masyarakat lain. 

Sebagian memang dijadikan umpan bagi kawan mereka yang belum tertangkap, tapi sebagian juga dijadikan sebagai bom waktu yang siap diledakkan kapanpun dibutuhkan dan dirancang untuk kepentingan politik tertentu. 

Dokumen terkait keberadaan nama-nama mantan teroris yang masih dalam asuhan negara itu, disimpan rapat-rapat oleh sejumlah Kepala Densus 88 Antiteror. Saya tidak menyimpulkan apapun terkait hal ini, yang jelas, tidak ada mantan teroris yang dibiarkan lepas berkeliaran tanpa terdeteksi sahabt-sahabat di Densus 88. 

Rentetan fakta dan daftar panjang bercampur opini saya diatas makin menyulitkan untuk menemukan makna siapa teroris tulen dan apa motif terorisme yang sebenar-benarnya. 

Tapi yang harus menjadi keyakinan bersama dan pasti benar adanya adalah: teroris pasti berlalu, karena toh, bangsa Indonesia adalah bangsa pemaaf dan pelupa yang sedang oleng dihajar korupsi yang bagi saya adalah terorisme sebenar-benarnya, maka saya justru sepakat bahwa teroris sejati adalah koruptor, sehingga tembak matilah koruptor ketika terjadi tangkap tangan seperti saat Densus menggerebek teroris.(*)

Penulis: Zulham Mubarok, dari Lembaga Kajian Kebijakan Publik GP Ansor Kabupaten Malang


Topik

Opini Opini Zulham-Mubarok


Bagaimana Komentarmu ?


JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Zulham Mubarok

Editor

Redaksi