MALANGTIMES - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menegaskan bahwa perayaan Hari Pers Nasional (HPN) yang diselenggarakan setiap 9 Februari tidak karena bila mengacu pada peringatan hari lahir Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).
Dijelaskan dalam siaran pers AJI, Kamis (11/2/2016) bahwa gagasan HPN muncul pada Kongres Ke-16 Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Padang pada Desember 1978.
Keputusan kongres PWI pada saat itu mengusulkan kepada pemerintah untuk menetapkan tanggal 9 Februari, hari lahir PWI,
sebagai HPN.
Enam tahun berselang, tepatnya 1984, Harmoko yang sudah menjadi Menteri Penerangan mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan Nomor 2 Tahun1984. Pada peraturan tersebut menyatakan bahwa PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan--wadah tunggal--di Indonesia.
Pada tahun 1985, Presiden Soeharto mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985 yang mengesahkan 9 Februari sebagai Hari Pers Nasional. Keputusan ini merujuk pada Kongres Wartawan Indonesia yang melahirkan PWI pada 9 Februari 1946.
AJI menilai, sejak muncul SK Presiden tersebut, HPN menjadi perayaan korporatisme negara Orde Baru terhadap organisasi-organisasi kemasyarakatan.
HPN menjadi ritual rutin tahunan, sarana efektif untuk melakukan mobilisasi pers, dan menjadi ajang berkumpul serta 'berpesta' para petinggi PWI dan media massa.
Setiap HPN ada serangkaian prosesi baku, yaitu menghadap presiden atau wakil presiden dan memintanya untuk membuka acara seremoni.
Pada acara puncaknya, berbagai bentuk penghargaan diberikan kepada pejabat publik, perusahaan-perusahaan besar, dan sebagainya.
Paska Reformasi 1998, praktik HPN yang demikian masih diteruskan.
AJI mengulang pernyataan bahwa peringatan dan perayaan HPN memboroskan anggaran negara. Pun menjadi bukti pers tidak independen dari kekuasaan.
Terkuaknya kasus korupsi anggaran yang diselewengkan pejabat negara untuk perayaan HPN, hampir menjadi cerita klise.
HPN menjadi tontonan rakyat yang melihat pajak telah dibayarnya, dihambur-hamburkan. (*)