JATIMTIMES - Candi Borobudur belakangan ramai diperbincangkan. Hal itu karena pemerinta merencanakan kenaikan harga tiket menjadi Rp 750 ribu.
Namun, kini rencana tersebut ditunda setelah Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan bertemu.
Berbicara soal Candi Borobudur, banyak kisah menarik di baliknya yang perlu diketahui. Salah satunya yaitu tentang kisah Pramodawardhani yang merupakan putri mahkota Wangsa Sailendra. Kala itu, Pramodawardhani menjadi permaisuri Rakai Pikatan, raja keenam Kerajaan Medang periode Jawa Tengah sekitar tahun 840.
Nama Pramodawardhani ditemukan dalam Prasasti Kayumwungan tanggal 26 Maret 824 sebagai putri Maharaja Samaratungga. Menurut prasasti tersebut, maharaja meresmikan sebuah bangunan Jinalaya bertingkat-tingkat yang sangat indah. Bangunan itu ditafsirkan sebagai Candi Borobudur.
Sementara, Prasasti Tri Tepusan tanggal 11 November 842 menyebutkan adanya tokoh bergelar Sri Kahulunan yang membebaskan pajak beberapa desa agar penduduknya ikut serta merawat Kamulan Bhumisambhara (nama asli Candi Borobudur).
Sejarawan Dr De Casparis menafsirkan istilah Sri Kahulunan dengan 'permaisuri', yaitu Pramodawardhani. Sebab, kala itu Rakai Pikatan diperkirakan sudah menjadi raja.
Pendapat lain disampaikan Drs Boechari yang menafsirkan Sri Kahulunan sebagai ibu suri. Misalnya, dalam Mahabharata, tokoh Yudhisthira memanggil ibunya, yaitu Kunti, dengan sebutan Sri Kahulunan.
Jadi, menurut versi ini, tokoh Sri Kahulunan bukanlah sosok Pramodawardhani, melainkan ibunya, yaitu istri Samaratungga.
Rakai Pikatan sendiri merupakan raja keenam Kerajaan Medang menurut Prasasti Mantyasih. Dari Prasasti Wantil, diketahui bahwa Rakai Pikatan menganut agama Hindu Siwa dan menikah dengan seorang putri beragama Buddha. Mayoritas sejarawan sepakat bahwa putri yang dimaksud adalah Pramodawardhani.
Perkawinan Pramodhawardani dengan Rakai Pikatan disebut-sebut sebagai momen bersatunya dua keluarga besar yang sebelumnya berseteru. Penyatuan dua wangsa tersebut tentu berdampak positif terhadap toleransi beragama antara pemeluk Buddha dan Hindu di Jawa kala itu.
Seperti diketahui, saat itu agama Buddha masih lebih dominan pada dekade awal abad ke-7. Salah satu buktinya adalah Candi Borobudur.
Kompleks candi besar di kawasan yang kini termasuk wilayah Kabupaten Magelang itu dibangun pada era Samaratungga. Namun, yang meresmikan Borobudur adalah putrinya, Pramodhawardani, pada tahun 824 M.
Setelah Pramodhawardani resmi bertakhta sejak 833 M, didampingi Rakai Pikatan, nuansa toleransi beragama semakin terasa. Pramodhawardani lantas mengizinkan sang suami merintis dibangunnya candi-candi Hindu di wilayah kekuasaan kerajaannya.
Sebaliknya, Rakai Pikatan pun tidak segan membantu pendirian candi-candi umat Buddha (Sukamto, Perjumpaan Antarpemeluk Agama di Nusantara, 2015: 146). Bahkan, ia menyumbang pembangunan candi-candhi Buddha, termasuk di wilayah Plaosan, dekat Prambanan.
Candi-candi di Plaosan yang diperuntukkan bagi pemeluk Buddha itu didirikan secara gotong-royong antara para penganut agama Buddha dengan orang-orang beragama Hindu. Situasi tersebut lantas menunjukkan betapa padu dan damainya pemeluk dua agama berbeda di bawah naungan Pramodhawardani sebagai ratu Mataram (Kuno) saat itu.
Kemudian, Rakai Pikatan turun takhta menjadi brahmana bergelar Sang Jatiningrat pada tahun 856. Takhta Kerajaan Medang lalu dipegang oleh putra bungsunya, yaitu Dyah Lokapala alias Rakai Kayuwangi.
Penunjukan putra bungsu sebagai maharaja ini kiranya berdasarkan jasa mengalahkan Rakai Walaing Mpu Kumbhayoni, sang pemberontak. Hal itu menyebabkan ketidakpuasan karena kelak muncul Prasasti Munggu Antan atas nama Maharaja Rakai Gurunwangi.
Sayangnya nama ini tidak terdapat dalam daftar raja di Prasasti Mantyasih. Sehingga bisa diperkirakan pada akhir pemerintahan Rakai Kayuwangi, telah terjadi perpecahan kerajaan.
Nama Rakai Gurunwangi Dyah Saladu dan Dyah Ranu kemudian ditemukan dalam Prasasti Plaosan setelah Rakai Pikatan. Hal itu terjadi karena mungkin mereka adalah anak dari Rakai Pikatan. Atau mungkin juga hubungan antara Dyah Ranu dan Dyah Saladu adalah suami istri.
Pada tahun 807 Mpu Manuku sudah menjadi pejabat, yaitu sebagai Rakai Patapan. Ia lalu turun takhta menjadi brahmana pada tahun 856. Mungkin saat itu usianya sudah di atas 70 tahun. Setelah meninggal dunia, Sang Jatiningrat dimakamkan atau didharmakan di Desa Pastika.