Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Peristiwa

Keinginan Edy Mulyadi Berlindung di UU Pers Jadi Sorotan, Ini Tanggapan Dewan Pers

Penulis : Desi Kris - Editor : Heryanto

30 - Jan - 2022, 12:03

Edy Mulyadi (Foto: IST)
Edy Mulyadi (Foto: IST)

JATIMTIMES - Edy Mulyadi ingin berlindung dengan UU Pers terkait polemik 'jin buang anak'. Keinginan Edy tersebut tentu langsung mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. 

Keinginan Edy itu awalnya disampaikan oleh pengacaranya. Pihak Edy mengaku akan mengirim surat ke Dewan Pers terkait polemik kasus dugaan ujaran kebencian soal pernyataan 'tempat jin buang anak'. Edy ingin meminta perlindungan hukum ke Dewan Pers karena mengaku saat menyampaikan pendapatnya ia berkapasitas sebagai wartawan.

"Kami akan mengirim surat ke Dewan Pers minta perlindungan hukum karena bagaimanapun, Pak Edy kan waktu bicara kan sebagai wartawan. Wartawan senior diminta oleh panitia itu. Jadi antara dia pribadi dan profesinya sudah melekat," ujar pengacara Edy Mulyadi, Herman Kadir

Herman mengatakan, Edy akan menghadiri panggilan kedua pada Senin (31/1/2022) besok. Saat ini, pihaknya sedang menyusun strategi terkait panggilan kedua itu.

Sementara pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai Edy Mulyadi tidak bisa berlindung di balik UU Pers. Abdul Fickar menilai Edy Mulyadi menyampaikan pernyataan tersebut sedang tidak dalam tugas jurnalistik.

"Ini kan dia nyatakan langsung, cuma dikutip oleh pers. Jadi bukan dalam rangka dia kegiatan tugas jurnalistik. Nggak konteks diselesaikan melalui UU Pers," kata Abdul Fickar. 

Abdul Fickar menduga Edy menyelipkan istilah 'jin buang anak' sebagai candaan. Namun, candaan itu dianggap keterlaluan dan membuat ketersinggungan. Dia mengingatkan masyarakat sudah melek hukum. Menurutnya, semua orang harus berhati-hati dalam berbicara dan bertindak.

Abdul Fickar juga menyebut suatu hal bisa menjadi delik pidana apabila terdapat korban dan tindakan. Terkait laporan polisi soal ujaran Edy, dia berpendapat telah memenuhi unsur delik.

"Delik itu kalau ada perbuatan, ada korban. Ketika dia melakukan itu, kan sebenarnya dia juga tidak menyebut nama orang, tapi nama tempat. Delik pidananya sebenarnya dia tidak bisa dikualifikasi sebagai delik pidana orang per orang. Tapi karena menimbulkan respons yang tidak baik di masyarakat, maka itu menjadi ujaran kebencian," tutur Abdul Fickar.

"Ujaran kebencian itu kan nggak harus ada korban orangnya. Cuma nanti saat disidang, yang harus dibuktikan adalah 'ada atau tidak' keonaran atau keributan di tengah masyarakatnya. Dengan dia dilaporkan di mana-mana, itu kan sudah terbukti sebenarnya," sambung Abdul Fickar.

Dia pun mendukung proses hukum yang berjalan di kepolisian. Abdul Fickar menilai ujaran Edy memenuhi syarat delik ujaran kebencian.

Sedangkan, pakar forensik bahasa dari Universitas Nasional (Unas) Wahyu Wibowo menilai pernyataan itu adalah bentuk provokasi hingga penistaan. Dia menilai masyarakat di lokasi yang disebut sebagai 'tempat jin buang anak' bisa marah.

"Jadi suatu masyarakat, di mana pun itu, itu punya kaitan dengan tanah kelahirannya yang di dalam istilah budaya disebut sakti, itu sesuatu yang menguasai dia. kalau kaitan dengan negara, namanya tumpah darah," kata Wahyu.

"Ketika masyarakat tersebut dibilang tempatnya dia tempat jin buang anak, tersinggung nggak, marah nggak? Iya," sambung Wahyu. 

Sebagai pakar forensik bahasa, Wahyu mengatakan 'tempat jin buang anak' dipakai untuk menggambarkan wilayah yang sepi, terkucil, seram, sehingga orang tidak mau datang. Menurutnya, hal ini bertolak belakang dengan lokasi pemindahan IKN di Kalimantan yang disebut Edy. 

Menurut Wahyu, seharusnya pemindahan ibu kota negara ini tidak usah dipersoalkan lagi karena sudah dibahas dalam proses yang panjang dan telah disetujui pemerintah bersama DPR. Publik harusnya mendukung, bukan malah mengeluarkan pernyataan yang justru menimbulkan polemik, apalagi sampai memecah belah persatuan dan kesatuan.

Selain itu, Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (Unbraw) Aan Eko Widiarto menilai pernyataan Edy Mulyadi saat menyampaikan penolakan atas rencana pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kaltim dan mengibaratkan lokasi IKN tempat jin buang anak tidak mencerminkan nilai-nilai jurnalistik.

"Kalau saya lihat dalam hal ini, pernyataannya kan nilai-nilai jurnalistiknya belum masuk. Pertama soal pemberitaan berimbang, kalau memberitakan kan pasti dari narasumber. Ini kan sumbernya kan individu, pernyataan yang bersangkutan," kata Aan.

"Bukan misalnya kata Bapak A, Ibu B. Kalau ini aktivitas pers, tanggung jawab (atas pernyataan)-nya di narasumber. Kalau (pernyataan Edy) ini kan dasar (narasumber)-nya nggak disebutkan, sehingga itu menjadikan seperti opini pribadi," sambung Aan.

Aan mengatakan aktivitas pers harus tunduk pada Undang-undang Pers. Meskipun Edy mengaku wartawan, tak serta merta semua hal yang dilakukannya disebut aktivitas pers. Lebih lanjut, Aan menekankan tindakan insan pers harus dibedakan antara saat bertugas dengan saat bertindak di luar lingkup profesinya.

Tanggapan Dewan Pers

Menanggapi hal ini Dewan Pers mengungkapkan, pihaknya tidak bisa mengusut pernyataan menyinggung Edy Mulyadi soal Kalimantan dalam ranah hukum. Ketua Komisi Pengaduan dan Penegakan Etika Pers Dewan Pers Arif Zulkifli menyampaikan, jika Edy memang diketahui sebagai seorang jurnalis, Dewan Pers hanya memiliki kewenangan untuk memeriksa pelanggaran etika yang terjadi.

"Dewan pers tidak punya wewenang mengusut," tutur Arif. 

Namun, Arif memastikan akan melakukan pemeriksaan terhadap Edy  untuk memastikan pernyataannya yang menyinggung soal Kalimantan berada dalam konteks kerja jurnalistik atau tidak. Arif juga mempersilakan Edy untuk mengirim surat agar pernyataannya itu diusut menggunakan UU Pers.

"Dewan pers harus memeriksa kasus ini untuk dapat memastikan apakah pernyataan saudara Edy Mulyadi dilakukan dalam konteks kerja jurnalistik," kata Arif.

Edy Mulyadi Minta Maaf

Edy Mulyadi sendiri diketahui sudah  meminta maaf atas ucapannya itu. Dia mengaku pernyataan itu sebetulnya untuk menggambarkan lokasi yang jauh. Permintaan maaf itu disampaikan Edy melalui akun YouTubenya, BANG EDY CHANNEL. Dalam video klarifikasi itu, awalnya Edy menyinggung kembali pernyataannya.

"Kalimatnya gini lengkapnya, 'kita ini punya tempat bagus-mahal di Jakarta, tiba-tiba kita jual, kita pindah tempat ke tempat jin buang anak'. Kalimatnya kurang-lebih gitu, 'lalu kita pindah ke tempat jin buang anak'," kata Edy.

Edy menjelaskan maksud pernyataan tempat jin buang anak, yakni menggambarkan istilah lokasi yang jauh. Dia lantas menyebut Monas hingga BSD juga dulu disebut sebagai tempat jin buang anak.

"Di Jakarta, tempat jin buang anak itu untuk menggambarkan tempat yang jauh, jangankan Kalimantan, istilah kita--mohon maaf ya--Monas itu dulu tempat jin buang anak, BSD, Balai Serpong Damai, itu tahun 80-90-an itu tempat jin buang anak, jadi istilah biasa," ucap Edy. 

Edy menduga ada pihak yang sengaja memainkan isu yang diucapkannya itu. Bagaimanapun, dia mengakui tetap meminta maaf terkait pernyataannya.

"Tapi temen-temen, saya nggak tahu dengan motif apa segala macam ada yang berusaha memainkan isu ini. Tapi, meski demikian, saya ingin sampaikan bahwa saya minta maaf, itu benar-benar bukan masalah. Saya akan minta maaf, itu mau dianggap salah atau tidak salah, saya minta maaf," kata Edy.


Topik

Peristiwa


Bagaimana Komentarmu ?


JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Desi Kris

Editor

Heryanto