Jatim Times Network Logo
Agama Ekonomi Gaya Hukum dan Kriminalitas Kesehatan Kuliner Olahraga Opini Otomotif Pemerintahan Pendidikan Peristiwa Politik Profil Ruang Mahasiswa Ruang Sastra Selebriti Tekno Transportasi Wisata
Peristiwa

Mengenang 17 Tahun Kematian Munir yang Diracun di Udara saat Perjalanan ke Belanda

Penulis : Desi Kris - Editor : Yunan Helmy

07 - Sep - 2021, 10:41

Munir (Foto: LPM VISI)
Munir (Foto: LPM VISI)

JATIMTIMES - Hari ini, Selasa (7/9/2021) tepat 17 tahun yang lalu pembela Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib dibunuh di pesawat Garuda Indonesia tujuan Belanda, dengan nomor penerbangan GA 974. Meski pilot dan penanggung jawab Garuda Indonesia yakni Pollycarpus Budihari Priyanto dan Indra telah divonis, namun hingga kini, kasus pembunuhan Munir belum diungkap.

Padahal, diketahui temuan Tim Pencari Fakta (TPF) dan fakta persidangan menyebutkan ada dugaan keterlibatan intelijen negara dalam peristiwa tragis yang terjadi pada 7 September 2004 silam itu. Namun, anehnya, dokumen TPF itu hilang dan tidak ada di Kementerian Sekretariat Negara.

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) pun sudah menggugat keterbukaan informasi TPF hingga Mahkamah Agung, namun ditolak. Hingga akhirnya penegakan hukum tidak tuntas sampai ke akar-akarnya dalam menangani kasus pembunuhan ini. 

Hanya eksekutor dan perantara yang diproses hukum. Seperti yang diberitakan, Munir telah meninggal dalam perjalanan 12 jam dari Jakarta ke Bandara Schiphol, Belanda.

3 jam setelah pesawat Garuda Indonesia lepas landas dari Singapura, Munir mengeluh sakit dan bolak-balik ke toilet. Pilot Pantun Matondang lalu meminta awak kabin terus memonitor kondisi Munir. 

Kemudian, ia dipindahkan ke sebelah penumpang yang berprofesi sebagai dokter. Nahas, 2 jam sebelum mendarat, Munir dinyatakan meninggal dunia. 

Lalu 2 bulan setelah kematian Munir, Kepolisian Belanda mengungkap bahwa Munir tewas akibat diracuni. Hal itu diketahui setelah dokter forensik National Forensic Institute (NFI) Belanda, menemukan racun arsenik dalam jumlah yang signifikan pada tubuh Munir. 

Komposisi racunnya pun sangat besar, bahkan cukup untuk melumpuhkan seekor sapi besar. Menurut pengadilan, racun itu diberi melalui minuman jus jeruk saat Munir di pesawat.

Hal tersebut terungkap dari surat dakwaan Pollycarpus Budihari Priyanto, salah satu pilot yang bertugas membawa Munir ke Belanda. Untuk diketahui, Pollycarpus divonis 14 tahun penjara sebagai pelaku pembunuh Munir. 

Ia pun bebas murni pada 29 Agustus 2018, setelah memperoleh bebas bersyarat pada 2014. Kemudian, pada 17 Oktober 2020, Pollycarpus meninggal akibat Covid-19.

Saat Munir dibunuh, seharusnya status Pollycarpus cuti. Namun, ia justru satu pesawat dengan Munir. 

Demikian diketahui dari film dokumenter berjudul Garuda's Deadly Upgrade (2005). Film itu memperlihatkan surat tugas Nomor GA/DZ-2270/04 tertanggal 11 Agustus 2004.

Surat tugas itu ditandatangani oleh Direktur Utama Garuda Indonesia, Indra Setiawan. Karena surat itu juga, Indra pun turut menjadi terdakwa dalam kasus pembunuhan Munir dan divonis 1 tahun penjara pada 11 Februari 2008.

Dalam persidangan, Indra membantah terlibat di dalam kasus pembunuhan Munir saat itu. Namun, muncul dugaan bahwa surat tugas tersebut dibuat setelah Indra menerima surat dari Badan Intelijen Negara (BIN).

Mayjen Purn Muchdi Purwoprandjono yang saat itu menjadi Deputi V BIN turut terseret dalam perkara ini. Ia diketahui menyerahkan diri sebelum diperiksa oleh kepolisian.

Namun, di dalam persidangan pada 13 Desember 2008, Muchdi Pr akhirnya divonis bebas dari segala dakwaan. Kini diketahui, ratusan tokoh dan Komnas HAM mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk segera menuntaskan kasus pembunuhan Munir.


Topik

Peristiwa


Bagaimana Komentarmu ?


JatimTimes Media Terverifikasi Dewan Pers

UPDATE BERITA JATIM TIMES NETWORK

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari JatimTIMES.com dengan klik Langganan Google News Jatimtimes atau bisa menginstall aplikasi Malang Times News melalui Tombol Berikut :


Penulis

Desi Kris

Editor

Yunan Helmy